Seorang ibu berbicara dari hati ke hati kepada putrinya yang telah tumbuh menjadi gadis remaja,“Anakku! Ibu telah memilihkan kehidupan yang bahagia untukmu, jauh sebelum kau lahir ke dunia ini.”
Gadis manis itu heran, “Bagaimana caranya, Bu?
Bukankah aku belum hadir di dunia waktu itu ?”
“Caranya dengan mencarikanmu ayah yang saleh. Dialah yang membawa kebahagiaan bagi keluarga kita, termasuk dirimu,” ujar si ibu. “Ibu ingin kebahagiaan itu berlangsung sepanjang hayatmu, di dunia dan akhirat,” sambungnya.
“Beritahu aku caranya, Bu?”
“Pilihlah calon suami yang akan memberi kebahagiaan dalam hidupmu,” tegas si ibu. ‘Agama membolehkanmu memilih suami yang tampan. Kau bisa senang punya pasangan yang enak dipandang. Tapi……..”
“Kenapa? Memang kenapa dengan suami tampan?” tanya putrinya.
“Jika kesenanganmu tergantung pada ketampanannya, kau akan terpuruk saat ketampanannya itu lenyap. Kau pun bisa makan hati jika ketampanannya itu membuatnya merendahkan dirimu dan mempermainkanmu.”
Ibu yang lembut itu melanjutkan, “Agama kita mengizinkan kau memilih suami yang kaya. Kau akan senang hidup berkecukupan bahkan berkelebihan. Tapi…”
“Apa masalahnya punya suami kaya, bu ?”
“Jika kesenanganmu itu terletak pada harta, kau akan sengsara tatkala harta itu lenyap. Kau akan menderita karena dibayangi rasa takut miskin. Padahal kaya miskin dapat terjadi pada siapa saja dan kapan saja, karena kehidupan ini terus berputar.”
Si ibu kembali berbicara, “Agama mengizinkan kau memilih suami yang keturunan bangsawan, populer, atau berdarah ningrat. Kau akan senang ikut terangkat martabat bersamanya. Kau akan ikut disanjung dipuja berkat punya suami macam itu. Tapi………”
“Kenapa dengan suami keturunan bangsawan dan ningrat, Bu?”