Reni Anggraini merupakan lulusan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus Alumni Rumah Kepemimpinan Regional Yogyakarta Putri Angkatan 8.
Besar dari keluarga yang berprofesi sebagai petani di pedalaman Aceh Timur, membuatnya banyak belajar di alam. Keluarganya menjadi korban perang di Aceh yang menyebabkan ia beserta keluarga sangat terpukul sebab kehilangan banyak hal.
Bahkan sempat pindah ke Langkat untuk bangun kembali kehidupannya, dimana Reni memulai aktivitas dengan beternak dan bertani.
Mengabdi Sebagai Relawan
Memasuki perkuliahan di Yogyakarta, Reni mulai aktif menjadi relawan di komunitas dan organisasi.
Pernah menjadi volunter Yayasan Lentera, membuatnya sering mendatangi RS. Sardjito untuk membawakan obat-obatan dan menemani keluarga dengan pasien anak penyakit langka.
"Ruangan paling dingin yang pernah saya masuki adalah bangsal kanker anak, di sana banyak anak dengan selang di sekujur tubuhnya. Ibu-ibu mereka menjaga dengan tatapan sendu. Saya berjalan mengantarkan selimut, hati saya berdarah-darah" ungkap Reni mengenang masa lalunya.
Banyak Menangis
Selain di Yayasan Lentera, Reni aktif menjadi relawan di Rumah Zakaf Infaq Sodaqoh UGM (RZIS) untuk menyalurkan bantuan sembako dan bantuan biaya hidup kepada tunanetra, tunadaksa, tunarungu, difabel, dan keluarga prasejahtera.
Reni banyak menangis saat menyaksikan banyak ketidakadilan di masyarakat. Terutama ketika ia mengunjungi panti sosial, rumah mualaf, dan terlibat dalam diskusi-diskusi mengenai dunia kemanusiaan.
Mengulik Sisi Kemanusiaan
Terlepas dari kegiatannya di lapangan, Reni sempat membuat perjalanan dengan misi mengulik sisi lain kemanusiaan di suatu daerah. Dirinya pernah bertemu perkumpulan TKI di Malaysia yang tinggal di perkampungan kumuh.
Di sana saudara sebangsanya sering dipandang “rendah” oleh bangsa lain. Ia juga melakukan solo traveling ke beberapa kota untuk menyambangi satu persatu belahan bumi khatulistiwa dan melihat realitas masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Haru Warga Melihat Air Mengalir
Kini Reni bergabung dengan NGO di bidang kemanusiaan sebagai personil tim program terutama di pedalaman Gunung Kidul. Di wilayah tersebut ia kerap menemukan warga yang sepuh dan hidup sebatang kara bahkan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup hariannya.
Potret desa tanpa sumber air yang bersih membuat sebagian besar warganya menderita stunting, cacat fisik, dan sakit ginjal. Pada musim kemarau, ia bersama tim pernah melakukan dropping air ke daerah yang terdampak kekeringan. Tak disangka, ia bertemu seorang ibu yang menangis haru ketika melihat air mengalir di daerahnya.
Hidup itu Meaningful dan Impactful
Sebagai alumni Rumah Kepemimpinan, ada banyak kisah yang kembali mengingatkannya pada idealisme semasa dibina. Bahwa hidup itu meaningful dan impactful. Manusia memikul misi liberasi, humanisasi, dan transendensi.
Reni mengaku Rumah Kepemimpinan telah membentuk dirinya untuk terus bermanfaat meskipun jauh dari sorot kamera, jauh dari capaian prestasi. Namun baginya, prestasi adalah ketenangan hati untuk hanya mengabdi pada Illahi Rabbi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI