Ini kepingan cerita tentang perempuan tiga generasi..
YANG di banyak tahun bahu membahu mengarungi hidup, baik dalam kondisi ideal maupun tidak ideal.
Yang bergandeng tangan untuk mewujudkan mimpi- mimpi. Salah satunya, mimpi agar perempuan termuda di generasi ketiga dalam cerita ini – putri sulungku -- bisa meraih cita- citanya, untuk menempuh pendidikan pasca sarjana di luar negeri.
Ini catatan pribadi. Yang kubagikan sebagai bentuk rasa syukur dan bahagia. Dengan harapan, siapa tahu satu atau dua orang yang membacanya, bisa mengambil manfaat dan mendapat inspirasi.
Jikapun ternyata tidak cukup untuk bisa menginspirasi, semoga tetap bisa dinikmati sebagai sebuah cerita..
***
Dua hari yang lalu, sedikit setelah maghrib, berita itu datang.
Putriku mengabarkan padaku bahwa setelah mengikuti serangkaian seleksi selama beberapa bulan belakangan ini, di akhirnya dinyatakan lolos seleksi dan berhak untuk mendapatkan beasiswa untuk mengambil Master Degree di luar negeri.
Air mataku serentak bercucuran mendengar berita itu.Â
Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah.
Putriku, ketika mengirimkan pesan tersebut padaku, sedang berada di luar kota untuk tugas kantor. Aku tahu, setelah menghubungiku, dia akan juga menghubungi yangti -- neneknya, ibuku -- untuk mengabarkan hal yang sama. Tapi aku tak sabar lagi menanti. Maka sedetik setelah mendapatkan kabar itu, kutekan tombol telepon, menghubungi ibuku, mengabarkan berita gembira itu.
Ibuku menyambut berita tersebut dengan ucapan Alhamdulillah, dan beberapa kata lain, yang jelas terdengar, diucapkan dari tenggorokan yang tercekat dan tergenang air mata.
Ah, kami ini, para perempuan, memang begitu. Kami senang sekali saat itu. Senaangggg sekali, dan bagi kami, bukan hanya tawa, tapi air matapun bisa mewakili rasa senang dan bahagia yang melimpah itu.
***
Ibuku, memegang peranan penting dalam proses pertumbuhan putri sulungku.
Aku melahirkan putriku di kota kelahiranku, kota yang berbeda dengan kota dimana aku dan suamiku tinggal setelah kami menikah. Sepulang dari Rumah Sakit, aku menghabiskan masa cuti hamilku di rumah ibu. Dan ibu, tentu saja, turun tangan membantu merawat bayi mungil yang baru lahir itu. Mengajariku memandikan bayi, menjemurnya, dan banyak urusan lain.
Bantuan yang ternyata tak berhenti sampai disitu saja tapi mesti berlanjut. Karena ternyata, bayi mungil itu over sensitive terhadap imunisasi pertamanya, imunisasi BCG, sehingga setelah diimunisasi lalu mesti minum obat agak lama untuk meredam reaksi tubuhnya terhadap imunisasi tersebut.
Kami berkonsultasi ke dokter, apakah reaksi over sensitive itu hanya akan terjadi pada imunisasi BCG tersebut atau juga pada imunisasi yang lain.
Pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh sang dokter. Tak bisa ditentukan apakah tubuh putri kami itu akan juga bereaksi berlebihan pada imunisasi- imunisasi lain berikutnya, atau itu hanya akan terjadi pada imunisasi BCG tersebut.
Maka, ada perundingan yang dilakukan ketika masa cuti hamilku habis dan aku harus kembali bekerja di kota lain. Demi keamanan bayi, kami putuskan untuk menitipkan bayi mungil tersebut pada orang tuaku. Agar tetap bisa dipantau oleh dokter anak yang sama yang merawatnya sejak lahir itu, hingga nanti memperoleh beragam imunisasi sampai usia sekitar satu tahun.
Keputusan ini juga diambil sebab sebagai keluarga muda yang baru berumah tangga, kami belum memiliki banyak kenalan, tidak pula memiliki saudara, di dekat rumah tempat tinggal kami. Kota tempat kami tinggal itu, juga kota yang baru bagi kami, jadi kami belum punya informasi tentang dokter anak yang terpercaya, dan informasi- informasi lain yang dibutuhkan.
Jadi begitulah, tiga bulan setelah melahirkan, aku kembali ke rumah dimana aku dan suamiku tinggal, kembali bekerja ke kantor, sementara bayiku tinggal bersama kakek neneknya.
Hal yang tentu saja, menimbulkan konsekwensi, terutama urusan Air Susu Ibu (ASI).
Dengan kondisi tak ideal dimana ibu dan bayi terpisah ratusan kilometer itu, aku bersikeras untuk tetap memberikan ASI.
Caranya?
Ya ditampung.
Dan percayalah, memberikan ASI langsung pada bayi saat kita bisa mendekapnya, bisa mengobrol dan tertawa- tawa dengannya, itu menyenangkan, membahagiakan. Tapi menampung ASI, itu cerita lain. Ada rasa nyeri yang terasa. Apalagi entah kenapa, saat menampung ASI itu, beragam jenis pompa yang kucoba tak berhasil membuat ASI mengalir. Satu- satunya yang bisa, hanya jika itu dilakukan manual dengan tangan.
Jadi, selain nyeri, waktu yang dibutuhkan juga lumayan banyak, mengeluarkan ASI dengan cara manual itu.
Kuterima saja kondisi tersebut sebagai konsekwensi sebuah pilihan.
Freezer di kulkas rumah kami dikosongkan. Tak diisi apapun yang lain selain botol- botol berisi ASI beku yang kuberi nomor dan tanggal. Lalu, dua hari sekali, asisten rumah tangga kami pulang pergi naik bus ke kota dimana ibuku dan bayiku berada, membawa termos es berisi berbotol- botol ASI beku dan es batu untuk mempertahankan suhu tetap dingin selama perjalanan.
Lalu nanti, ibuku yang akan menerima botol- botol ASI itu, memindahkan ke freezer di rumah ibu, dan nanti, mencairkan ASI beku tersebut sesuai kebutuhan, untuk diberikan kepada putriku.
Disamping mengirimkan ASI, aku sendiri juga memiliki jadwal pulang ke rumah ibu, agar bisa tetap menyusui bayiku secara langsung. Ada satu hari di tengah minggu, sekitar hari Selasa atau Rabu, dimana pulang kantor aku langsung menuju stasiun kereta, menempuh perjalanan selama beberapa jam, untuk menemui bayiku, memberinya ASI semalaman, dan subuh keesokan harinya, kembali naik kereta api menuju kota dimana kantorku berada. Langsung ke kantor dari stasiun.
Lalu di akhir minggu, pada Jumat malam, aku dan suamiku menempuh rute yang sama. Naik kereta api, menemui bayi kami. Kembali Senin subuh, langsung ke kantor.
Hal tersebut kami jalani selama berbulan- bulan.
Alhamdulillah, walau dibesarkan dengan ASI beku serupa itu, bayi kami tumbuh sehat. ASIku sendiri mengalir deras, hingga walau berjauhan begitu, bayi kami bisa mendapatkan ASI tanpa tambahan susu formula sama sekali hingga usianya menginjak 7 bulan.
Cukup aman. Sebab dia sudah mulai mendapatkan makanan selain ASI pada usia 4 bulan ( iya, saat itu, kampanye ASI ekslusif meliputi waktu 4 bulan. Bayi- bayi sudah mulai diberi makan di usia 4 bulan, bukan 6 bulan seperti saat ini), jadi masih terus mendapat ASI tanpa susu formula sampai 7 bulan dalam kondisi tidak ideal dimana ibu dan bayi terpisah tempat tinggal itu, sudah membuatku cukup bersyukur.
Putriku masih terus mendapat ASI sampai usia 11 bulan. Pada usia 8 bulan, Â dia mulai menggeleng- gelengkan kepala jika ditawari minum ASI. Bisa jadi ini memang terpicu kondisi tak ideal dimana dia kadang minum dari botol, atau sendok, atau dapat ASI langsung dari aku, dan menyebabkan kondisi bingung puting yang membuatnya akhirnya memilih mana yang lebih nyaman baginya. Hal yang tak terjadi dengan adik- adiknya yang sebab tinggal sepenuhnya denganku, terus mendapat ASI hingga usia 2 tahun.
Aku tetap berusaha, memberikan ASI langsung, walau dia menggeleng- geleng itu, dan terus menampung ASI hingga sulungku berusia 11 bulan. Lalu setelah itu berhenti.Â
Aku agak sedih, menghentikan pemberian ASI di usia bayi 11 bulan itu. Tapi sekali lagi, kuterima saja kondisi itu. Tak apa. Telah kuupayakan apa yang bisa kuupayakan sampai saat itu. Sudah, tak apa, yang penting dia tetap sehat..
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H