Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pendidikan yang Membuat Seseorang Menjadi Sombong itu Pendidikan yang Gagal

26 Juni 2018   09:44 Diperbarui: 27 Juni 2018   15:48 4524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Weekend kemarin, aku membaca satire lucu- lucuan di twitter tentang tingkah polah kemlinthi anak- anak yang memperoleh beasiswa ke luar negeri (dari sebuah lembaga beasiswa yang sangat terkenal di negeri ini).

Tentang bagaimana gegar budaya terjadi dan anak-anak itu lalu 'gaya banget deh' kalo pulang kesini kesannya segala yang terjadi di Indonesia jadi semua salah. Juga tentang bagaimana mereka kadang agak kurang sensitif saat membagikan tentang hal-hal yang mereka jalani ketika kuliah di luar negeri itu dan sikap-sikap tersebut lalu dijadikan sindiran lucu-nggak lucu di twitter.

Aku mulanya membaca hal tersebut sebagai hiburan sembari senyum- senyum saja. Sebab kusadari bahwa apa yang disindirkan itu memang banyak terjadi, namun tak semua orang juga bersikap seperti itu.

Tapi kemudian, kudapati sebuah twitter balasan dari seseorang yang merupakan penerima beasiswa tersebut. Intinya, dia mengatakan bahwa sindiran- sindiran yang bertaburan itu "stupid and jealous" dan setelah beberapa kalimat lain, dia mengatakan begini: " Wanna get a scholarship and go abroad like us? Be smart, period."

Wow.

Aku tercengang.

Anak ini sombong. Sombong sekali.

Dan reaksiku yang tadinya membaca kalimat-kalimat di twitter tersebut sembari nyengir-nyengir lucu berubah menjadi... marah dan sebal.

***

Be smart, katanya?

Dengan segera kuketikkan nama penulis komentar itu di google dan oh.. hmmm..

Aku sebetulnya tidak terlalu suka mengatakan ini. Atau paling sedikit, penilaian serupa ini bukan hal yang biasanya kukatakan secara terbuka. Tapi sejujurnya, inilah pendapatku tentang anak sombong ini: dia mungkin sebetulnya juga tidak sehebat itu.

Track record dimana dia kuliah S1 sebelum akhirnya kuliah S2 di luar negeri, tidak terlalu mengesankan dimataku. Dia sepertinya 'lumayan' doang. Tidak sebegitu hebatnya, tapi bisa jadi, anak itu memang pintar bicara -- hal yang bisa menjadi modal saat wawancara.

Lalu, dia yang mungkin sebenarnya tidak hebat- hebat amat itu, kemudian jadi belagu setelah dapat beasiswa untuk sekolah S2 di luar negeri, yang uangnya, notabene, adalah uang seluruh rakyat negeri ini, termasuk orang-orang yang secara formal tidak (memiliki kesempatan untuk) berpendidikan tinggi.

Waduh. Betulan deh, anak ini sombong dan tidak sensitif.

Tidak tahukah dia, bahwa ada banyak orang di negeri ini yang tidak berpendidikan tinggi, dan/atau lulus dari pendidikan lokal (bukan sekolah di luar negeri), yang sebetulnya juga cerdas, bahkan bisa jadi lebih cerdas dari dirinya?

***

Aku pro pada pendidikan tinggi. Aku pro pada pemikiran bahwa anak- anak negeri ini akan bisa maju jika wawasannya terbuka, dan memiliki pengalaman internasional. Aku senang bahwa ada lembaga beasiswa yang lalu bisa mengirimkan anak- anak bangsa kuliah ke luar negeri.

Termasuk pada anak-anakku sendiri, kutanamkan cita-cita untuk sekolah setinggi yang mereka dapat capai dan juga untuk bisa 'melihat dunia'. Aku percaya itu akan membawa manfaat.

Tapi, sombong, sungguh tidak termasuk pada kualitas yang kuharapkan terjadi setelah anak-anak itu berpendidikan tinggi, dan melihat dunia.

***

Bahwa ada standar tertentu untuk para penerima beasiswa, itu betul.

Namun merasa paling smart, dan sombong karena pernah menerima beasiswa untuk kuliah di luar negeri? Itu sih mesti dikeplak kepalanya! Hehehe.

Ada yang namanya kesempatan. Ada yang namanya keberuntungan. Anak sombong yang merasa smart itu rupanya tidak cukup smart untuk menyadari hal ini.

***

Aku berulang kali menceritakan, baik di blog maupun di status- status Facebook, tentang anak-anak miskin yang mesti berjuang untuk bisa kuliah di perguruan tinggi dengan beasiswa Bidikmisi.

Anak-anak miskin sangat cerdas yang orangtuanya kurang mampu, dengan beragam kisah di baliknya. Yang sampai tak bisa makan beberapa hari sebab uang beasiswanya terlambat turun, yang nilainya bahkan sempat merosot sebab dia tak punya uang untuk membeli bahan-bahan untuk membuat tugasnya, dan sebagainya.

Anak kemlinthi sombong penerima beasiswa S2 keluar negeri yang alih-alih introspeksi malah menuduh orang lain yang tak seberuntung dirinya itu "stupid and jealous" serta bilang " Be smart, period. " itu menyelesaikan S1-nya di sebuah universitas swasta di dalam negeri. Kemungkinan besar, berasal dari keluarga cukup berada yang membuatnya tak perlu merasakan kekurangan uang dan kelaparan selama masa kuliahnya.

Dan entahlah, apakah anak sombong itu tahu, bahwa ada banyak orang yang mungkin sebetulnya jauh lebih cerdas darinya, harus berjuang untuk bisa kuliah di perguruan tinggi, lalu setelah lulus tak punya pilihan: seingin apapun mereka meraih pendidikan yang lebih tinggi lagi, mereka harus realistis untuk memilih jalan segera bekerja begitu lulus kuliah. 

Lalu apakah dalam perjalanannya kelak mereka anak-anak yang sebetulnya sangat cerdas itu juga akan bisa bersekolah lagi atau terus harus bekerja, ya belum tahu juga, sebab mereka harus menjadi tulang punggung keluarga.

Jadi patutkah seseorang yang bisa kuliah lebih tinggi, memperoleh beasiswa pascasarjana ke luar negeri, merasa lebih cerdas dari mereka yang tidak?

***
Mari kuceritakan satu hal.

Suatu hari, lebih dari setahun yang lalu.

Hari itu, hari wisuda di perguruan tinggi dimana anak sulungku kuliah.

Hari yang sama, kebetulan, si bungsu di rumah kami berulang tahun. Dan kami merencanakan makan malam keluarga.

Makan malam ulang tahun yang digabungkan dengan syukuran wisuda.

Siapa yang wisuda? Si sulung?

Bukan. Bukan si sulung.

Tapi sahabatnya.

Iya, malam itu, ada sahabat putri sulung kami yang kami ajak bergabung makan malam dengan keluarga kami. Dia hadir bersama ibunya, yang datang dari luar kota, untuk menghadiri wisuda sang anak pada pagi harinya.

Sahabat putri sulungku itu, penerima beasiswa Bidikmisi. Gadis tangguh yang pada suatu hari dimasa kuliah mereka pernah menyebabkan putri sulungku membuat 'emergency call' padaku: " Ibu, temanku sudah puasa beberapa hari karena tidak punya uang. Beasiswanya terlambat turun sudah beberapa bulan. Dia susah sekali saat ini. Ibu dan Bapak bisa bantu?"

Benar, gadis tangguh sahabat putriku itu pernah harus menahan lapar sebab tak punya uang untuk makan.

Putri sulung kami sendiri, malam itu malah tak hadir dalam makan malam keluarga yang juga dihadiri sahabatnya yang baru wisuda itu. Sebab, putri kami ketika itu sedang berada di tempat yang jauh. Dia mendapatkan beasiswa dari sebuah lembaga internasional untuk kuliah dua semester di Inggris.

Putriku sudah lulus sidang tugas akhir saat itu. Sidang yang dijalaninya pada hari yang sama dengan sahabatnya penerima beasiswa Bidikmisi yang diceritakan di atas. Tapi seusai sidang tugas akhir, mereka lalu memilih jalur yang berbeda: putriku menambahkan dua semester ekstra di perguruan tinggi di Inggris pada masa belajarnya, untuk menempuh mata kuliah- mata kuliah tambahan yang saling melengkapi dengan apa yang pernah diperolehnya di perguruan tingginya di dalam negeri sini. 

Sahabatnya, yang aku yakin, kalau bicara kecerdasan, juga setara dengan putri sulung kami, memilih jalan lain: menyegerakan lulus kuliah dan wisuda. Sebab beasiswa Bidikmisi-nya hanya diberikan untuk 8 semester saja.

Dia harus menyegerakan lulus, tidak punya opsi serupa putriku yang sejak beberapa waktu sebelumnya memang sudah bicara pada kami orang tuanya: " Aku boleh kan, lulusnya lebih dari 8 semester? Aku mau ikut program exhange dulu dua semester ke luar negeri.."

Putri kami punya pilihan, sahabatnya tidak. 

Putri kami kini memegang dua ijazah Bachelor of Engineering. Satu dari perguruan tinggi negeri di tanah air, satu dari universitasnya di Inggris. Kami semua mensyukuri hal itu. Tapi apakah hal tersebut, misalnya, bisa membuat putriku bisa mengatakan bahwa dia lebih cerdas dari sahabatnya? Rasanya tidak.

Apa yang terjadi adalah jalan yang berbeda dari dua sahabat yang kecerdasannya sebetulnya setara. Hanya yang satu bisa memiliki pilihan yang lebih luas, yang satu ruang memilihnya lebih sempit.

***

Malam itu, diantara makan malam kami, sahabat putriku berkata "Saya sebetulnya juga ingin kuliah lagi, cari pengalaman sekolah ke luar negeri, seperti (sahabatnya itu menyebutkan nama putri kami),"

Aku mengangguk. Memahami keinginan itu. Tapi juga sangat paham ketika ibu sahabat putriku itu berkomentar begini, "Kalaupun dia (sahabat putriku) ingin sekolah lagi, ya mesti tunggu dulu. Dia harus segera bekerja. Ada adiknya yang juga ingin kuliah dan perlu biaya. Kalau dia sudah kerja, biar dia yang biayai adiknya. Kami sendiri tak akan mampu membiayai, Bapaknya penarik becak, tidak sanggup menyekolahkan anak ke perguruan tinggi..."

Dan begitulah yang terjadi. Bahkan sebelum hari wisudanya itupun, sahabat anak kami itu sudah mulai mencari pekerjaan. Dan sudah diterima. Beberapa hari setelah wisuda itu, dia sudah akan mulai bekerja. Dia masih terus bekerja sekarang. 

Entah kapan akan bisa melanjutkan kuliahnya. Atau bahkan, entah apakah dia suatu saat akan bisa melanjutkan kuliahnya atau pendidikan tertinggi yang akan dicapainya berhenti pada tingkatan S1.

Putri kami, juga bekerja saat ini. Tapi dia masih bisa lebih leluasa buat terus memupuk cita-citanya untuk bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Hal yang kami dukung sebagai orang tua. Hal yang kupinta agar Dia yang Pengasih kabulkan.

Aku tetap pro pada kesempatan untuk kuliah ke tingkatan yang lebih tinggi. Aku tetap pro pada kesempatan membuka wawasan dengan memiliki kesempatan bersekolah di luar negeri. Tapi sungguh, tak kuharapkan anak-anak yang memiliki kesempatan untuk memperoleh beasiswa dan kuliah di luar negeri lalu menjadi sombong. Menjadi tak sensitif. Merasa dirinya paling pintar, paling hebat.

Bukan itu yang kuharapkan terjadi.

Sebab jika itu terjadi, alih-alih keberhasilan, itu namanya kegagalan besar. Jika pendidikan membuat seseorang jadi sombong, bukannya makin rendah hati, itu jelas pendidikan yang gagal...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun