Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Ambil Apa yang Bukan Menjadi Hak Kita

28 Agustus 2017   13:20 Diperbarui: 29 Agustus 2017   15:30 2158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum lama ini, aku menghadiri orasi ilmiah Guru Besar yang disampaikan oleh adikku..

ADIKKU, baru saja dipromosikan menjadi seorang profesor, Guru Besar, di sebuah perguruan tinggi. Kami sekeluarga, tentu saja bangga dan bahagia karenanya. Bagaimanapun, menjadi Guru Besar, apalagi adikku meraihnya pada usia yang relatif muda dibanding para Guru Besar lain, , merupakan suatu pencapaian yang signifikan dari sebuah perjuangan panjang.

Saat menyaksikannya berdiri di podium menyampaikan orasinya, memori di kepalaku berputar. Menayangkan beragam ingatan tentang banyak langkah perjuangan itu. Termasuk, satu hal yang akan kuceritakan ini. Kisah di balik layar tentang dana beasiswa..

***

Pagi itu, pesawat telepon di atas meja kerjaku di kantor berdering. Ketika kuangkat, terdengar suara adikku.

Aku senang sekali, tentu saja, menerima telepon itu, walau dengan segera juga terpikir olehku, ada apa, pasti ini tentang sesuatu yang sangat penting. 

Adikku saat itu sedang tinggal di Inggris, melanjutkan sekolah ke jenjang Doktoral. Di tahun- tahun tersebut, teknologi belum semaju sekarang. Biaya telepon internasional antar negara, mahal sekali. Jadi pasti ada hal penting yang hendak dia bicarakan sampai dia meneleponku begitu, ke kantor pada jam kerja pula.

Dan benar begitu rupanya.

Jadi begini..

Saat proses penelitian tesis Magister yang dilakukan oleh adikku, ada dua buku rujukan utama yang digunakannya, ditulis oleh, salah satunya, Profesor di sebuah universitas di Inggris. Kemudian, setelah dirundingkan dengan para pembimbing S2nya, di kemudian hari adikku  berangkat ke Inggris untuk menuntut ilmu tingkat Doktorat di bawah bimbingan penulis buku yang bukunya dia gunakan sebagai rujukan di tingkat Magister tersebut. 

Mimpi adikku untuk dapat bertemu dan belajar dari profesor yang sebelumnya hanya dia kenal melalui text book import yang dibaca dan dipelajari adikku di tanah air itu akhirnya terwujud.

Nah, lalu, dalam perjalanan karirnya sang Profesor itu sendiri,saat adikku sedang berada dalam bimbingannya, Profesor tersebut sempat pindah dari satu universitas ke universitas lain. Adikku, untuk kelangsungan penelitiannya, memutuskan untuk mengikuti kepindahan sang profesor ke universitas lain yang terletak di kota yang berbeda di Inggris itu. Terkait hal tersebut, adikku mengurus administrasi untuk kepindahannya, termasuk juga melaporkan kepindahannya ke lembaga pemberi beasiswanya di tanah air.

Dan inilah rupanya hal yang hendak dia bicarakan denganku..

***

Pelaporan ke lembaga pemberi beasiswa di tanah air tentang kepindahan adikku dari universitas yang awal ke universitas baru sebetulnya sifatnya pemberitahuan. Tak ada permintaan yang mengikuti pemberitahuan itu. Seluruh kredit dan hasil kerja/penelitian yang sudah dicapai adikku di universitas sebelumnya bisa ditransfer ke universitas yang baru. Begitupun dengan biaya yang sudah dibayarkan ke universitas awal, akan bisa ditransfer antar kedua universitas tersebut. Maka tak ada biaya tambahan dibutuhkan.

Tapi rupanya ada salah paham di pihak lembaga pemberi beasiswa, karena setelah menerima pemberitahuan dari adikku, lembaga tersebut mengirimkan dana sejumlah  biaya kuliah setahun ke rekening adikku. Tampaknya mereka mengira bahwa dengan kepindahannya ke universitas lain, adikku akan harus membayar biaya kuliah lagi untuk tahun tersebut di universitas yang baru. Padahal sebetulnya tidak begitu.

Ketika adikku mendapati ada dana masuk ke rekeningnya, dia lalu menghubungi bendahara di lembaga pemberi beasiswanya. Mengatakan bahwa pengiriman dana itu tak diperlukan, dan adikku menanyakan kemana dia harus mengembalikan dana tersebut.

Namun, jawaban yang diperoleh dari bendahara lembaga itu diluar dugaan. Bendahara tersebut mengusulkan pada adikku untuk tak perlu mengembalikan dana yang sudah diterimanya itu. Menurut sang bendahara,  tak ada proses maupun rekening standar untuk menerima kembali uang beasiswa yang telah dikirimkan. Bendahara tersebut malah mengusulkan pada adikku untuk membagi dua saja uang biaya kuliah setahun itu secara pribadi. Separuh untuk sang bendahara, separuh untuk adikku. 

Usulan 'tahu sama tahu' yang oleh sang bendahara dianggap sama- sama menguntungkan. Baik bendahara tersebut dan adikku tak repot mengurus proses pengembalian yang tak ada standarnya, dan juga masing- masing akan mendapat sejumlah dana yang jumlahnya cukup besar yang bisa digunakan secara pribadi.

Jawaban itu menggundahkan hati adikku. Dia tidak setuju atas usulan itu, tapi ketika itu juga tak menemukan jalan keluar sebab tak memiliki informasi kemana uang itu bisa dikembalikan secara resmi ke lembaga pemberi beasiswa.

Maka adikku kemudian meneleponku untuk berdiskusi.

Reaksi spontanku seusai mendengar ceritanya adalah, " Wah, jangan mau. Gimana mempertanggung jawabkannya nanti.. "

" Ya itu, " kata adikku, " Aku juga tidak setuju. Tapi gimana caranya, ya. Selama ini uang beasiswa kan diurus oleh bendahara ini. Sementara dia tidak kasih informasi bagaimana cara mengembalikan uangnya. Malah bilang tidak usah lapor dan bagi dua saja itu. "

Setelah kupikirkan sejenak, kuusulkan hal ini pada adikku, " Kalau gitu, tulis surat saja. Bikin surat tertulis pada lembaga itu, kasih tau tentang diterimanya uang kuliah setahun yang sebetulnya tidak diperlukan itu dan tanyakan bagaimana cara mengembalikannya. Minta mereka menjawab resmi surat tersebut. Lihat saja nanti bagaimana jawaban mereka. Jangan lalukan persetujuan di bawah meja apapun dengan bendaharanya.. "

Adikku menyepakati usulku.

Dia melakukan hal tersebut. Menyurati lembaga pemberi beasiswa, yang kemudian memberikan jawaban resmi pada adikku. Lembaga pemberi beasiswa tersebut mengatakan dana untuk uang kuliah yang sudah diterima itu tak perlu dikirimkan kembali,tapi akan dicatat di lembaga tersebut sebagai biaya kuliah adikku tahun berikutnya. Dengan begitu di tahun berikutnya, adikku tak akan menerima lagi uang untuk biaya kuliah, namun hanya akan menerima uang untuk biaya hidup dan akomodasi saja.

Jalan keluar yang baik. Adikku setuju atas jalan keluar tersebut. Aku yang kemudian dikabari, juga menyetujui hal itu.

***

Dan begitulah. Jalan hidup kadang memang tak terduga.

Di tahun dimana adikku pindah ke universitas baru mengikuti profesor pembimbingnya itu, tahun dimana dia meneleponku itu, kondisi moneter sedang stabil. Lembaga pemberi beasiswanya juga kondisinya stabil dan dana yang mereka miliki berlimpah.

Tak ada yang mengira bahwa hanya berbilang bulan setelah itu, kondisi moneter di banyak negara, termasuk di tanah air, akan gonjang ganjing dengan amat sangat. Kurs tukar mata uang termasuk satu hal yang terkena dampak sangat besar ketika itu.

Tak ada yang mengira bahwa pada akhirnya, hasil diskusi aku dan adikku untuk tetap berusaha berpegang pada cara yang baik dan kami pandang benar ternyata akan menjadi hal besar, sangat besar, yang membuat adikku tak harus putus kuliah.

Keputusan untuk menolak usulan 'tahu sama tahu' sang bendahara lembaga untuk membagi dua secara pribadi uang yang diterimanya, kemudian tetap melaporkan dan menerima keputusan resmi dari lembaga pemberi beasiswa bahwa dana itu dicatat sebagai beasiswa yang dibayar di muka untuk uang kuliahnya di tahun berikut menyelamatkan kelangsungan pendidikan adikku.

Uang itu menjadi sangat berguna, sebab di tahun berikutnya, secara serentak lembaga pemberi beasiswa itu menghentikan pemberian beasiswanya sebab krisis moneter dan naiknya kurs nilai tukar mata uang membuat mereka tak lagi mampu memberika beasiswa pada para mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di luar negeri.

Dengan telah tersedianya dana untuk biaya kuliahnya untuk satu tahun ke depan, adikku masih bisa melanjutkan pendidikannya. Walau, dia tetap harus berjuang mencari jalan keluar bagaimana caranya untuk bisa menutupi biaya hidupnya karena dana yang ada hanya bisa untuk membayar kuliahnya, sementara beasiswa untuk biaya hidupnya itu belum, dan memang tak akan diterimanya sebab ada penghentian beasiswa secara serentak itu..

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun