Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bisakah Sekolah Membentuk Karakter Anak ?

27 September 2016   23:43 Diperbarui: 28 September 2016   00:03 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: www.mpmschoolsupplies.com

Suatu hari di balik panggung pertunjukan kesenian sebuah sekolah..

ANAK bungsuku masih kelas 3 SD ketika itu. Dia belum lama pindah ke sekolah baru saat itu.

Situasi di sekolah lamanya tidak lagi kondusif. Ada beberapa kejadian yang membuat kami sebagai orang tua merasa perlu meninjau ulang keputusan kami untuk menyekolahkan putra kami disana.

Kami menemukan beberapa kejadian dan tindakan dari para penyelenggara sekolah lama si bungsu pada periode tersebut yang menerjang nilai- nilai tentang integritas dan membuat kami kehilangan kepercayaan sampai kemudian berpikir bahwa lebih baik kami memindahkan putra kami ke sekolah lain saja.

Lalu, suatu hari kami tanyakan pada putra kami apakah dia mau jika kami pindahkan dia ke sekolah lain. Dan, si bungsu ternyata menjawab pertanyaan kami dengan tegas dan jelas, “ Mau. Aku sebetulnya sudah lama ingin pindah sekolah… “

Duh. Rupanya ketidak beresan dalam pengelolaan sekolah tersebut memang sudah berdampak pada murid- murid. Ada kenyamanan dan rasa aman yang tercerabut yang bahkan murid belia yang duduk di kelas 2 SD saja sudah bisa merasakan.

Maka, begitulah, akhirnya kami pindahkan si bungsu ke sekolah lain saat dia naik ke kelas 3 SD.

***

Sekolah si bungsu yang baru adalah sekolah yang memang dalam visi dan misinya sudah selalu mengatakan bahwa sekolah itu bukan hanya bertujuan untuk mengajarkan hal- hal yang bersifat akademik saja pada anak- anak, tapi juga akan memberikan porsi besar dalam pembangunan karakter anak.

Ini sekolah yang memiliki faham bahwa pendidikan adalah hak setiap anak. Maka mereka tak pernah menyelenggarakan testing berdasarkan kemampuan akademik anak sebagai dasar seleksinya. Selama masih ada tempat, mereka akan menerima anak yang didaftarkan.

Sekolah itu juga merupakan sekolah inklusi yang menerima anak- anak berkebutuhan khusus untuk bersekolah bersama anak- anak lain. Ada dua kursi disediakan di setiap kelas untuk anak berkebutuhan khusus.

Model sekolah inklusi seperti ini pada akhirnya membuat anak- anak lain yang tak berkebutuhan khusus memiliki pemahaman, empati dan keterbukaan sikap pada teman- teman mereka yang karena kebutuhan khususnya itu sehari- harinya menunjukkan sikap yang agak berbeda dengan teman- teman lain. itu.

Keterbukaan, empati serta sikap untuk menerima perbedaan dalam pergaulan sehari- hari baik pada teman yang berkebutuhan khusus maupun yang tidak dibangun dalam situasi keseharian di sekolah.

***

Kembali pada cerita di belakang panggung pertunjukan kesenian yang malam itu akan digelar oleh sekolah baru si bungsu..

Putra bungsu kami juga akan mengambil bagian dalam pertunjukan musik tersebut.

Mengingat dia adalah murid baru di sekolah itu, saat mengantarnya, kuikuti dia sampai ke belakang panggung. Mengantisipasi jika ada kecanggungan atau hal- hal yang membutuhkan bantuan.

Ternyata…

Yang kusaksikan adalah, kecanggungan itu tidak ada.

Sebab begitu anakku tiba, beberapa temannya menghampiri dia dan mengajak anakku bergabung dengan kawan- kawan yang lain. Memberitahukan padanya ini dan itu. Anakku dengan segera tampak nyaman dan lalu bergabung dengan teman- temannya.

Aku lega. Tapi walau begitu, aku tetap memilih untuk berada di ruangan di belakang panggung itu. Selain untuk melihat situasi, juga karena tertarik untuk melihat beberapa anak yang sedang berlatih untuk pentas hari itu.

Pertunjukan seni itu sendiri melibatkan murid- murid dari SD sampai SMA.

Lalu, setelah beberapa waktu aku berada disana, diantara keriuhan suara beragam alat musik yang sedang dimainkan di balik panggung itu, tiba- tiba saja terdengar suara tangis. Rupanya, ada seorang anak perempuan murid SD yang tanpa sebab yang jelas menangis. Tiba- tiba begitu saja dia terisak- isak.

Kulihat saat itu, beberapa murid SMA yang sedang duduk melingkar menoleh memperhatikan anak SD yang menangis itu. Lalu salah satu dari mereka bangkit menghampiri dan berkata, “ Dik, sini dik, duduk di sini. “

Lalu setelah anak SD itu turut duduk di lingkaran, mereka mengajaknya mengobrol sambil menawarkan makanan dan minuman. Melihat sikap mereka yang akrab pada anak SD tersebut, aku duga, murid SD itu merupakan adik salah satu dari murid- murid SMA tersebut.

Dan..

Dugaanku ternyata salah.

Sebab setelah anak tersebut reda tangisnya, salah seorang dari murid SMA itu bertanya pada murid SD tersebut, “ Dik, namanya siapa, kelas berapa ? “

Wah. Ya ampun. Jadi murid- murid SMA itu bahkan tak mengenal anak yang menangis itu. Nama dan kelasnya saja tak tahu. Tapi sedemikian terbukanya mereka, juga karena sikap empati yang terlatih, walau tak mengenalnya, saat anak tersebut menangis, mereka begitu saja merangkul anak tersebut tanpa banyak bertanya.

***

Sikap yang ditunjukkan murid- murid SMA di belakang panggung itu mengingatkan aku kembali pada hari- hari pertama si bungsu pindah ke sekolah tersebut.

Sepulang sekolah, aku dan ayahnya bertanya pada si bungsu, apa yang dia lakukan pada jam istirahat di sekolah  hari itu.

Si bungsu menjawab dengan senang, “ Aku main bola. “

“ Oh, main bola? Dengan siapa, “ tanya kami.

“ Dengan anak- anak SMP, “ katanya.

Hmm.. main bola dengan anak- anak SMP?

“ Ada berapa banyak anak SD-nya yang ikut main bola tadi, “ tanyaku.

“ Aku sendiri, “ katanya.

“ Jadi semua yang lain murid SMP ? “ tanyaku menegaskan.

“ Iya, “ jawab anakku.

Wow.

Aku betul- betul takjub.

Di sekolah lama si bungsu, anak dari suatu tingkatan justru tak boleh bermain dengan anak dari tingkatan lain. Sekolah itu terdiri dari TK hingga SMA, berada di kompleks sekolah yang sama, tapi ada aturan yang ketat bahwa murid SD hanya boleh bermain di lapangan SD dengan sesama murid SD, begitu pula dengan tingkatan yang lain. Murid SMP bermain di halaman SMP dengan sesamanya. Tak boleh misalnya anak SD main di halaman SMP atau SMA dengan kakak- kakak tingkatnya, begitu juga sebaliknya.

Di sekolahnya yang baru, anak- anak justru dibiarkan bergaul dengan murid lain dari tingkatan yang berbeda. Karakter keterbukaan dan empati jelas terlihat ketika pada hari- hari pertamanya bersekolah di sana, murid- murid SMP di sekolah tersebut mengajak anak bungsuku yang duduk di kelas 3 SD untuk bermain bola bersama.

Kubayangkan, anak- anak SMP itu kan sudah remaja. Tinggi dan besar badannyapun beda jauh dengan murid kelas 3 SD. Dan walau main bolanya sekedar untuk melewatkan jam istirahat, tapi gaya main bola murid SMP jelas akan berbeda dengan gaya main bola anak kelas 3 SD. Bisa jadi, adanya anak yang jauh lebih kecil dari mereka yang turut bermain membuat mereka harus melambatkan tempo permainan. 

Tapi itulah memang justru aku rasa tujuannya. Itu mengapa sekolah tersebut justru tak membuat sekat dan membebaskan murid-murid untuk bermain dan bergaul dengan murid lain dari tingkatan yang berbeda- beda. Sebab dengan begitu, kembali mereka mengajarkan pada anak- anak untuk bisa memahami dan menerima perbedaan dan melatih rasa empati. 

Aku mencatat dua peristiwa yang kuceritakan di atas tentang apa yang terjadi di balik panggung pentas kesenian dan di lapangan bola sekolah itu di dalam hatiku. Kedua peristiwa itu secara sederhana dan nyata sudah menunjukkan contoh tentang pendidikan karakter yang dibentuk oleh sekolah itu dalam tindakan dan pergaulan sehari- hari di sekolah…

p.s. Tulisan terkait : Full Day School, Bukan Semata Tentang Jumlah Jam di Sekolah

( bersambung lagi, yaaa... )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun