Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Shalat Idul Adha di Masjidil Haram

14 September 2016   11:06 Diperbarui: 14 September 2016   14:49 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Shalat Idul Adha di Masjidil Haram…

ANDAIKAN itu  bisa itu terjadi, pikirku, betapa itu akan menjadi kenangan indah, yang mungkin hanya akan bisa terjadi sekali seumur hidup.

9 Dzulhijah 1435 H, dua tahun yang lalu. Aku dan suamiku berada di Arafah pada puncak musim haji.  Lalu pada malam harinya, selepas maghrib, kami bersiap- siap meninggalkan Arafah, menuju Muzdalifah.

Pernahkah kita membayangkan ketika jutaan orang bergerak dari satu tempat ke tempat lain yang sama?

Itulah yang terjadi saat itu.

Di malam tersebut, jutaan orang bergerak dari Arafah menuju sebuah area terbuka yang berada di antara Mekah dan Mina. Muzdalifah. Salah satu yang harus dilakukan dalam rangkaian ibadah haji adalah singgah dan bermalam di area seluas 12,25 kilometer persegi ini.

Maka bisa dibayangkan seperti apa kepadatan yang terjadi.

Kupahami dari pengumuman yang diberikan saat kami masih berada di Arafah bahwa kami akan naik bus menuju Muzdalifah, kemudian pagi- pagi buta keesokan harinya menuju Masjidil Haram untuk melakukan thawaf ifadah dan sai.

“ Segera setelah selesai thawaf ifadah dan sai, kita akan langsung menuju Mina kembali, “ begitu pengumuman yang disampaikan kepada kami.

Rencana untuk menyegerakan kami menuju Mina setelah melakukan thawaf ifadah dan sai adalah sebab hari itu akan ada pembatasan dalam pengaturan lalu lintas ke Mina. Diharapkan dengan bersegeranya kami bergerak kembali ke Mina, bus rombongan kami masih diijinkan masuk melalui terowongan Mina sehingga kami bisa diantarkan sampai tepat di depan tenda kami di Mina.

“ Maka, kita tak akan sempat Shalat Idul Adha di Masjidil Haram, sebab sebelum waktu itu kita sudah akan bergerak menuju Mina, “  lanjut bunyi pengumuman yang diberikan.

Oh. Tidak akan shalat Ied di Masjidil Haram?

Aku pernah memiliki keinginan itu di dalam hati. Betapa akan menyenangkannya jika bisa Shalat Idul Adha di Masjidil Haram. Hal tersebut sungguh akan menjadi kenangan indah. Namun jika begitu jadwalnya seperti yang diumumkan, berarti  tak akan pernah terjadi aku memiliki pengalaman untuk pernah melakukan Shalat Idul Adha di Masjidil Haram, sekali dalam hidupku.

Tapi baiklah, tak apa, pikirku. Tak apa jika keinginan itu tidak tercapai.

Kusadari  juga bahwa menjalankan shalat Idul Adha di Masjidil Haram tidak termasuk dalam hal yang harus dilakukan dalam rangkaian ibadah haji. Jadi kendati itu tak dilakukan, tak mengapa.

Kuhapus harapanku. Dan kunikmati saja perjalanan kami dari Arafah ke Muzdalifah.

Yang luar biasa macetnya…

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
***

Pengalaman menjalankan ibadah haji dengan nyata menunjukkan satu hal. Yakni apakah kita kecewa atau gembira tentang suatu hal akan sangat tergantung pada apa yang kita sendiri siapkan secara mental.

Kemacetan, misalnya. Merupakan hal yang sehari- hari kutemui. Dalam perjalanan menuju kantor dan pulang kantor ke rumah, kemacetan rutin kualami. Dan seperti kebanyakan orang, aku sering mengeluh dalam hati, “ Aduh.. macet bangettt.. jam berapa sampainya kalau macet begini? “

Tapi ketika menjalankan ibadah haji, kupersiapkan mentalku akan kemacetan yang akan kami hadapi. Kemacetan perjalanan dari Madinah menuju Mekah. Kemacetan perjalanan ke Mina. Ke Arafah. Dan lalu.. kemacetan yang amat sangat ke Muzdalifah.

Ya, kemacetannya luar biasa. Perjalanan dari Madinah ke Mekah, lalu dari apartemen transit ke tenda di Mina, masih tak seberapa dibandingkan kemacetan perjalanan dari Arafah ke Muzdalifah. Pada kedua saat sebelumnya, pergerakan jamaah haji masih terpencar baik hari, jam dan titik awal perjalanannya. Tapi di malam hari tanggal 9 Dzulhijjah itu, titik awal dan titik tujuan jutaan orang itu sama. Dari Arafah ke Muzdalifah.

Macetnya tak terkira.

Namun karena sudah mempersiapkan diri, kemacetan malam itu itu bisa dilalui dengan kelapangan hati. Kunikmati saja detik demi detik merayapnya bus kami malam itu, tanpa pernah bertanya “berapa jauh lagi”, atau “berapa lama lagi" perjalanan kami menuju Muzdalifah.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Sabar, ikhlas, pasrah. Kuingat- ingat terus kata- kata yang sudah berulangkali kudengar dan dipesankan pada kami menjelang keberangkatan kami untuk beribadah haji.

Sabar itu tak mudah. Ikhlas, pasrah, juga tak mudah.

Dalam kehidupan sehari- hari dimana kita selalu tergesa, ingin bergerak cepat, mencapai sesuatu dengan instan atau segera, akan sulit sekali menikmati kemacetan seperti malam itu.

Tapi Alhamdulillah.. kemacetan menuju Muzdalifah malam itu sungguh sama sekali tak terasa mengganggu, walau dari beberapa kali pengumuman yang diberikan di dalam bus, kupahami bahwa kemacetan luar biasa malam itu ternyata di luar dugaan. Waktu tempuh kami tak sesuai dengan apa yang direncanakan. Kami mencapai Muzdalifah lebih lambat dari apa yang semula dijadwalkan..

***

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Bukan hanya saat menuju Muzdalifah, tapi perjalanan dari Muzdalifah menuju ke Masjidil Haram, tak kurang macetnya

Tak hanya macet, namun juga ternyata ada beberapa ruas jalan menuju Masjidil Haram yang ditutup. Pagi itu, kami harus berputar beberapa kali mencari jalan untuk mencapai Masjidil Haram. Itupun akhirnya, kami harus turun di tempat yang agak jauh dari tempat yang semula direncanakan.

Thawaf ifadah dan sai yang kami lakukan di Masjidil Haram pagi itu, sebab waktu tempuh ke dan dari Muzdalifah yang diluar perhitungan, dimulai lebih lambat dari apa yang terjadwal.

Dan inilah yang terjadi. Ada hikmah dan keindahan dibalik kemacetan dan keterlambatan yang kami temui malam dan pagi itu.

Tadinya, menurut rencana semula, kami sudah akan meninggalkan Masjidil Haram sebelum shalat Idul Adha dimulai. Tapi kenyataannya, karena perjalanan ke dan dari Muzdalifah ternyata memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan, kami memulai dan menyelesaikan thawaf ifadah dan sai lebih lambat dari waktu yang direncanakan.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Dan…

Justru karena lebih lambat itulah, akhirnya justru kami ada disana ketika shalat Idul Adha di Masjidil Haram diselenggarakan.  Shalat Ied hari itu dimulai hanya berselang beberapa menit setelah thawaf ifadah dan sai selesai kami lakukan

Manusia merencanakan, Dia Yang Kuasa juga yang menentukan.

Ketika kami tadinya justru tak menjadwalkan. Ketika aku sendiri sudah menepis keinginan untuk pernah melaksanakan shalat Idul Adha di Masjidil Haram, Allah Yang Maha Baik justru memberikan kesempatan itu.

10 Dzulhijjah 1435 H. Kuangkat tanganku ketika imam membacakan takbir, memulai shalat.

Allahu Akbar.

Hari itu, kulaksanakan Shalat Idul Adha disana. Di Masjidil Haram...

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun