Macetnya tak terkira.
Namun karena sudah mempersiapkan diri, kemacetan malam itu itu bisa dilalui dengan kelapangan hati. Kunikmati saja detik demi detik merayapnya bus kami malam itu, tanpa pernah bertanya “berapa jauh lagi”, atau “berapa lama lagi" perjalanan kami menuju Muzdalifah.
Sabar itu tak mudah. Ikhlas, pasrah, juga tak mudah.
Dalam kehidupan sehari- hari dimana kita selalu tergesa, ingin bergerak cepat, mencapai sesuatu dengan instan atau segera, akan sulit sekali menikmati kemacetan seperti malam itu.
Tapi Alhamdulillah.. kemacetan menuju Muzdalifah malam itu sungguh sama sekali tak terasa mengganggu, walau dari beberapa kali pengumuman yang diberikan di dalam bus, kupahami bahwa kemacetan luar biasa malam itu ternyata di luar dugaan. Waktu tempuh kami tak sesuai dengan apa yang direncanakan. Kami mencapai Muzdalifah lebih lambat dari apa yang semula dijadwalkan..
***
Tak hanya macet, namun juga ternyata ada beberapa ruas jalan menuju Masjidil Haram yang ditutup. Pagi itu, kami harus berputar beberapa kali mencari jalan untuk mencapai Masjidil Haram. Itupun akhirnya, kami harus turun di tempat yang agak jauh dari tempat yang semula direncanakan.
Thawaf ifadah dan sai yang kami lakukan di Masjidil Haram pagi itu, sebab waktu tempuh ke dan dari Muzdalifah yang diluar perhitungan, dimulai lebih lambat dari apa yang terjadwal.
Dan inilah yang terjadi. Ada hikmah dan keindahan dibalik kemacetan dan keterlambatan yang kami temui malam dan pagi itu.