SEBENTAR lagi puncak musim haji tahun ini tiba. Dan dua kata itu, Mina dan Arafah begitu sering muncul dan terdengar saat membaca atau mendengarkan berita- berita.
Mina.. Arafah..
Dan kenangan itu berputar kembali.
Dua tahun yang lalu, kami ada disana. Aku dan suamiku, merupakan dua dari jutaan jamaah haji yang berada di Tanah Suci ketika itu.
Kami memulai rangkaian ibadah haji kami dengan pendaratan di Madinah. Setelah beberapa hari di Madinah, beribadah di Masjid Nabawi, dimana makam Rasulullah berada, kami kemudian melakukan perjalanan darat ke Mekah.
Sabar, ikhlas, nrimo.. itu pesan- pesan yang secara berulang diberikan baik oleh orang- orang di sekitar kami maupun oleh para ustadz saat manasik haji.
Sabar, ikhlas, nrimo. Hal yang mudah dikatakan tapi sejujurnya tak semudah itu ketika melaksanakan.
Sabar itu termasuk ketika ada penghalang yang tak terduga yang timbul.
Seperti aku yang tadinya sehat- sehat saja menjelang keberangkatan, tiba- tiba gelisah tak bisa tidur dan badan terasa nyeri saat penerbangan ke Madinah. Hal yang mulanya kupikir muncul karena kesenangan dan kecemasan luar biasa yang hadir saat kami memulai perjalanan ibadah haji itu.
Tapi ternyata bukan. Aku memang sakit betulan. Sakit fisik.
Itu terasa ketika badanku terasa lemas di hari- hari pertama di Madinah. Saking lemasnya, aku biasa berangkat mepet dengan waktu shalat agar tak menanti terlalu lama. Akibatnya, bisa diduga, jika sudah mepet begitu, tak bisa lagi masuk ke dalam Masjid Nabawi yang sudah penuh sesak. Maka aku shalat di halaman masjid saja.
Satu dua hari setelah itu, aku bahkan lalu bukan hanya shalat di halaman tapi harus shalat di dalam kamar hotel. Sebab aku demam sampai menggigil.
Ya ampun.
Dari mulanya sekedar mengkonsumsi obat yang dibawa dari tanah air, sampai akhirnya suamiku meminta bantuan dokter yang ada dalam rombongan kami untuk memeriksa dan memberikan obat padaku.
Alhamdulillah, aku berangsur pulih. Masih agak lemas tapi membaik. Bahkan di hari terakhir berada di Madinah, menjelang keberangkatan kami ke Mekah, aku sudah bisa berangkat sendiri pagi- pagi ke Raudhah. Dan kembali, atas kemurahan yang diberikan Dia Sang Maha Cinta, kunjungan ke Raudhah itu sungguh dimudahkan. Aku bisa masuk dengan cepat ke sana, hampir tanpa mengantri, dan juga mendapat kelapangan tempat di dalam Raudhah.
Bukan hanya itu, pertolongan bahkan datang ketika aku sedang shalat di dalam. Orang- orang yang tak kukenal, menjagaiku – ada yang bahkan membuat badannya menjadi benteng bagiku – menjaga agar aku tak terganggu atau tertabrak orang lain saat aku sedang shalat itu.
Luar biasa, pengalaman yang sungguh luar biasa. Yang kuyakin tak akan terjadi jika bukan sebab pertolongan yang diberikan oleh Dia yang Maha Mengatur segalanya…
***
Haaa.. serius?
Itu reaksi spontan yang muncul di kepalaku saat pertama kali mendengar pengumuman tersebut ketika kami masih berada di tanah air.
Memangnya berapa jauh apartemen transit itu dari Masjidil Haram, pikirku bandel ketika itu. Masa’ sih nggak bisa ke Masjidil Haram ?
Itu pikiranku saat masih di tanah air.
Lalu ketika sudah berada di Mekah, pikiran lain muncul. Ah, pikirku, barangkali bisa diatur dengan ikut bus yang rutenya melewati pondokan jamaah haji reguler. Bus itu berhenti di sebuah terminal tak jauh dari Masjidil Haram. Jadi jalan kakinya tak banyak.
Aih. Itu pikiran- pikiran bandel yang pada akhirnya toh tak kulaksanakan juga, sebab akhirnya kutemukan fakta bahwa informasi yang kami terima sebelumnya itu akurat. Akan sulit mencapai Masjidil Haram pada beberapa hari menjelang puncak haji, dan waktu tersebut lebih baik digunakan untuk mempersiapkan diri menjelang waktu kami berangkat ke Mina dan Arafah saja.
Menyimpan energi dan menjaga kesehatan menjelang puncak haji. Itu yang terpenting.
***
Walau sehari- hari kami tak membutuhkan alat transporasi, kami pernah mencoba bus yang disediakan gratis oleh pemerintah bagi para jamaah haji Indonesia, sebab bersamaan dengan saat kami naik haji, salah satu adik suamiku beserta istrinya juga sedang beribadah haji. Kami sempat mengunjungi tempat mereka menginap. Letaknya tak begitu jauh juga dari Masjidil Haram, dan tersedia bus yang berkeliling dari dan menuju Masjidil Haram dari area pondokan haji itu.
Dari situlah pemikiranku tentang kemungkinan Masjidil Haram tetap bisa kami kunjungi menjeang puncak haji muncul. Â Jika taxi atau kendaraan lain tak bisa mencapai Masjidil Haram, pikirku, mungkin kami bisa naik kendaraan sampai ke pondokan adik ipar kami dan dilanjutkan dengan naik bus dari situ ke terminal di Masjidil Haram.
Yang terjadi..
Oalaaahhh…
Ternyata, menjelang puncak haji itu, bukan hanya kendaraan mobil, taxi dan semacamnya yang tidak bisa masuk ke dekat Masjidil Haram, tapi bus gratis yang biasa wira wiri mengangkut jamaah itu juga tak beroperasi.
Hal ini akhirnya menjadi bahan pembicaraan sambil kami tersenyum- senyum antara aku serta adik iparku. Karena, ketika aku tadinya berpikir akan menggunakan bus yang biasa digunakan adik iparku, mereka yang sudah lebih dulu tahu bahwa bus tak akan beroperasi malah sempat berpikir bahwa pada hari- hari itu mereka akan ikut beristirahat di kamar hotel kami saja sepanjang harinya, agar bisa mencapai Masjidil Haram dengan mudah pada periode tanpa bus itu.
Begitu tahu bahwa pada hari- hari tersebut kami sudah akan pindah dari hotel ke apartemen transit yang berada di tengah- tengah di antara Masjidil Haram dengan Mina, tersenyumlah kami bersama- sama. Menyadari bahwa rencana- rencana kami itu tak akan bisa dijalankan.
Aku menggunakan kata ‘maksimalkan’ di sini, bukan ‘puas- puaskan’ seperti kata- kata yang digunakan saat pertama kali informasi itu disampaikan saat manasik haji, sebab sejujurnya, rasanya kerinduan untuk kembali lagi dan lagi ke Masjidil Haram itu terus ada. Maka ‘puas’ bukanlah kata yang sesuai untuk ini.
Betapapun, dengan segala keterbatasan baik waktu maupun jarak, serta kendala transportasi yang ada, tetap, kusyukuri kesempatan yang ada itu. Kusyukuri keindahan, kenikmatan, rahmat yang kami terima saat itu…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H