“ Ya, jawabku. Belajarlah yang rajin biar bisa jadi Doktor. “
“ Aku nanti sekolahnya di luar negeri ya, Bu.. “
“ Ya, “ aku kembali mengangguk. “ Belajar yang rajin ya Nduk. Nanti cari beasiswa. Sekolah di luar negeri itu mahal, Bapak dan ibu mungkin tidak mampu membiayai kalau harus bayar sendiri.. “
Dan si Nduk cah ayu itu membuktikan tekadnya. Gadis mungil ini memang gigih dan tekadnya kuat. Dia tak banyak bicara, tapi hasil yang diraihnya mencerminkan usaha kerasnya. Nilai- nilai di sekolahnya cemerlang. Selulus SMA, dia diterima di Perguruan Tinggi Negeri ternama yang terkenal sangat sulit ditembus tanpa harus mengikuti testing sebab nilai- nilai cemerlangnya.
Di Perguruan Tinggi, bukan hanya kemampuan akademiknya yang berkembang, tapi soft skill-nya juga.
Tetap berpenampilan manis dan sederhana, dia aktif di banyak kegiatan organisasi. Seiring dengan nilai akademiknya yang tetap cemerlang, dia menyelingi masa kuliahnya dengan mendapatkan kesempatan mengikuti pertukaran mahasiswa, mengikuti seminar dan lomba- lomba internasional di luar negeri – gratis. Hal- hal itu diperolehnya atas upayanya sendiri melalui karya tulis dan serangkaian wawancara seleksi yang diikutinya.
Dia teguh dengan cita- citanya,  “ Aku mau sekolah sampai Doktor. “
Dan dalam percakapan serupa itu, ada satu hal yang senantiasa kukatakan padanya, “ Ya. Sekolahlah setinggi yang kau mau, Nduk, tapi nanti, pulanglah ke Indonesia, ya. Kembali dan bangunlah negeri ini. Indonesia perlu orang- orang pintar yang berwawasan luas untuk memajukan negeri.. “
***
Ada butiran bakso, daging, tahu dan sayur- mayur dalam kuah yang menggelegak di hadapan kami berdua. Kami duduk berhadapan. Ini beberapa minggu sebelum keberangkatan untuk masa tinggal yang cukup lama di luar negerinya. Aku menanyakan rencananya. “ Nanti jadi mau internship dulu disana setelah selesai kuliah ini ? “