Ini cerita tentang sepotong senja. Dan sekeping pagi.
DI suatu kota yang bernama Pamekasan.
Ya, Pamekasan, di Madura.
***
Ini kali kedua kami sekeluarga melintasi jembatan Suramadu yang membentang di antara Surabaya dan Madura.
Yang pertama, beberapa tahun yang lalu, karena keterbatasan waktu, kami hanya sempat mengunjungi Bangkalan. Mencicipi bebek yang terkenal disana, dan belanja batik Madura.
Kali kedua ini, kami berniat pergi lebih jauh ke arah Timur pulau Madura.
Persinggahan pertama kami adalah Pamekasan.
Yang kami capai pada suatu senja.
Kami tak punya tujuan tertentu, hanya ingin berjalan- jalan menikmati suasana sekitar saja.
Sore itu, kami pergi menuju pantai Jumiang. Dengan dua tujuan, yang pertama memang ingin menikmati pemandangan pantai, yang kedua, konon di sekitar pantai itu ada banyak penjual Campur Lorjuk, makanan khas Pamekasan.
Dan, ha ha, walau dibantu oleh Google Map, kami ternyata agak kesasar sedikit saat hendak mengunjungi pantai tersebut. Pasalnya, tak di semua persimpangan petunjuk arah ke pantai ada. Sementara, bolak- balik suara dari telepon genggam mengumumkan “ GPS signal lost”. Halah.
Menyesal?
Tidak.
Sama sekali tidak.
Bagaimana bisa menyesal jika kemudian saat kami agak kesasar itu pemandangan yang kami lihat sungguh menakjubkan. Sinar mentari menimpa tambak- tambak milik para petani garam. Ada kincir angin di pematang tambak yang airnya berkilau keemasan tertimpa cahaya mentari senja itu.
Memukau, sungguh memukau.
Kami sangat menikmati pemandangan tersebut.
Walaupun akibatnya, sebab kami agak berlama- lama menikmati pemandangan menakjubkan di tambak garam, saat kami tiba di pantai, senja telah berganti malam. Tak pelak, kami toh masih juga bisa menikmati keindahan disana- sini.
Maka, untuk membayar rasa penasaran atas rasa Campur Lorjuk itu, keesokan paginya kami kembali menuju arah yang sama.
Di sekitar pasar yang menuju pantai, begitu resepsionis hotel kami memberi tahu. Disana ada banyak yang menjual Campur Lorjuk.
Menjelang pasar, ada warung kecil yang memasang tulisan “campur lorjuk”. Kami berhenti disana. Tapi pemilik warung mengatakan, hari itu tak ada campur lorjuk tersedia.
“ Lorjuk-nya yang tak ada, “ katanya, “ Dimana- mana juga tidak ada. Sedang tidak musim. “
Hmmm.
Lorjuk ( atau lurjuk , demikian ejaannya di tempat lain), merupakan sejenis kerang yang bentuknya memanjang. Selama ini aku biasa membelinya dalam bentuk kering, dan biasanya kucampurkan ke dalam sayur lodeh.
Bahwa ternyata lorjuk itu bisa dimasak dalam bentuk lain selain dicampurkan ke dalam lodeh, tak kuketahui sebelumnya.
Lalu, sebab dia sejenis kerang- kerangan, kupahami bahwa bisa jadi ada saat- saat dimana pasokan lorjuk dari para nelayan menipis. Wah, pikirku, sayang sekali jika justru saat aku sedang ingin mencicipi Campur Lorjuk ketika berada di Pamekasan itu bertepatan dengan saat lorjuk sedang langka.
Walau menurunkan harapan, kami tak putus asa.
Perjalanan menuju pasar tetap kami lanjutkan. Dan kemudian, disana, kami temukan lagi sebuah tanda yang menunjukkan bahwa sekitar 100 meter membelok dari arah tanda tersebut, ada penjual Campur Lorjuk.
Dan…
Kami beruntung kali itu.
Warungnya kami ketemukan, dan Campur Lorjuknya tersedia.
Aha !
Dengan penasaran, kunanti seperti apa makanan yang akan terhidang di depan kami sekeluarga.
Lalu ketika pesananan kami tiba, kuamati dengan seksama.
Terendam dalam kuah adalah potongan- potongan ketupat, soun, toge pendek, remasan kerupuk berbahan dasar tepung beras yang lalu di bagian atasnya bertabur lorjuk dan potongan bawang daun.
Rasanya enak, bisa diterima lidah.Walaupun, ha ha, jumlah lorjuk yang terhidang di piring lebih sedikit dari yang kubayangkan.
Tadinya kupikir lorjuknya akan berlimpah, tapi ternyata tidak. Jumlah lorjuknya tak terlalu banyak.
Tapi kupahami, ini sesuai dengan harga jualnya.
Campur lorjuk yang kami makan pagi itu, harga seporsinya Rp. 6.500,- . Kutahu bahwa lorjuk tidak murah. Lorjuk kering yang biasa kubeli dalam kemasan seberat satu setengah ons saja harganya lebih dari lima puluh ribu rupiah. Maka jika seporsi campur lorjuk seharga enam ribu lima ratus rupiah jumlah lorjuknya ‘sekedarnya’ dan tak sebanyak yang kubayangkan, hal itu wajar adanya.
***
Demikian juga pagi itu. Saat menyantap Campur Lorjuk hangat di Pamekasan, rasa syukur itu membanjir lagi. Alhamdulillah. Betapa baik Dia Sang Maha Cinta, mengijinkan kami menikmati kebersamaan dan memberi rejeki untuk kami dapat menikmati hidangan nikmat di pagi hari itu…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H