Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ini Bukan Semata tentang Mobil, Ini Soal Falsafah Hidup

24 Januari 2016   13:07 Diperbarui: 25 Januari 2016   08:24 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“ Jangan lupa, nyetir itu bukan buat gaya- gayaan.. “

BELAKANGAN ini, kalimat semacam itu sering terdengar di rumah kami.

Gara-garanya, sebab anak tengahku baru saja berulang tahun ke 17. Artinya, dia sudah bisa mendapatkan SIM, sudah boleh belajar menyetir mobil.

Aku dan suamiku memang sudah sepakat sejak dulu, anak-anak perlu memiliki keterampilan menyetir, tapi mereka hanya boleh diajari hal tersebut jika batas usia minimum sudah tercapai. Tidak boleh lebih muda dari itu.

Sebab ya itu, menyetir itu bukan buat gaya-gayaan.

Di balik banyak hal positif jika seseorang memiliki keterampilan menyetir, ada tanggung jawab di baliknya. Ada urusan pengambilan keputusan, kemampuan meredam emosi, kesabaran, yang harus ada.

Maka itu sebabnya, beribu kali kalimat “ Ingat ya, nyetir itu bukan untuk gaya-gayaan.. “ kukatakan pada anak tengah kami itu.

Hal yang ingin disampaikan ada dua, yakni agar dia tetap berhati-hati dan bertanggung jawab saat dia sedang menyetir mobil, dan yang kedua, ya itu.. aku ingin anak lelakiku ini juga memiliki falsafah bahwa urusan menyetir, dan tentang mobil apa yang dikendarainya, bukanlah urusan gaya-gayaan.

Falsafah yang aku ingin dia miliki, bukan hanya saat ini, tapi terus kelak hingga dia dewasa nanti. Saat dia, Insya Allah, sudah bekerja dan memiliki penghasilan sendiri.

Menurut aku, hal ini penting. Sebab aku tak ingin anak (-anak)-ku menilai dan mempersepsikan dirinya sendiri pada hal-hal yang sifatnya benda, materi.

Mobil salah satunya.

Aku ingin, mereka memandang mobil semata sebagai alat transportasi. Alat bantu belaka. Bukan dipandang sebagai sesuatu yang berhubungan dengan nilai atau harga diri mereka.

Hal-hal yang berhubungan dengan nilai dan harga diri mereka, kuharapkan, berasal dari hal-hal yang lebih dalam dan esensial, bukan urusan-urusan kulit semacam mobil apa yang dikendarai atau dimiliki…

***

Bicara soal mobil dan falsafah hidup, aku ingat saat anak lelaki tengahku ini masuk SMP dulu.

Anak tengah ( yang kini sudah menjadi mahasiswa fakultas teknik di sebuah perguruan tinggi negeri) itu sempat membuat kami deg-degan di masa kanak-kanaknya dulu.

Sebab dia sering mogok sekolah. Hal yang terjadi sebab kemampuan intelegensi dan sosialnya saat itu agak njomplang.

Intelegensinya tinggi, dia sangat kritis dan juga sensitif, tapi kemampuan sosial yang dia miliki belum cukup baik untuk membuat dia bisa menyikapinya dengan baik.

Dia sering merasa ada ketidak adilan di sekolah, juga sering kesal sebab guru-guru bicara satu arah, sementara dia merasa seharusnya murid-murid juga lebih didengarkan pendapatnya. Di SD, anak tengahku ini masuk kelas akselerasi, tapi ya itu.. kebiasaan mogok sekolahnya terus berlangsung.

Kami tentu saja tak ingin hal ini berulang saat dia duduk di bangku SMP. Jadi kami coba mencari sekolah yang cocok dengan kondisinya saat itu.

Kami mencari sekolah yang lebih memperhatikan dan menerima keunikan anak sebagai individu. Sekolah yang memberikan ruang bagi keberagaman pendapat. Yang lebih terbuka terhadap perbedaan tahap perkembangan masing-masing anak.

Sekolah semacam itu kami temukan. Kami ajak anak kami kesana untuk melihat-lihat dan bahkan sejak pertama kali kami kesana, dia langsung menyukai suasananya.

To make the story short, baik kami orang tua maupun dia sendiri, sepakat bahwa dia akan masuk ke sekolah tersebut saat SMP.

Tapi…

Ada ‘sedikit’ masalah.

Sekolah itu sekolah mahal.

Kami, aku dan ayahnya, mau tidak mau, memperhitungkan dampak pergaulan anak kami di sekolah tersebut nanti.

Tidak, bukan karena anak-anaknya bandel. Sama sekali bukan. Anak-anak di sekolah itu santun sebab pendidikan karakter juga dipentingkan di sekolah.

Namun, ada satu hal yang tak bisa dihindari. Sebab sekolah tersebut mahal, baik uang pangkal maupun uang bulanannya, maka dengan sendirinya anak-anak yang bersekolah di situ terseleksi dari kondisi ekonomi orang tuanya. Hanya anak dari orang tua yang memiliki kemampuan ekonomi tertentu yang akan sanggup membayar biaya sebesar itu.

Ada kekhawatiran kami bahwa anak kami lalu nanti ‘take for granted’, menganggap standar normal pergaulannya adalah pergaulan yang agak ‘borju’ atau mahal, yang sungguh tak kami kehendaki.

Kami bersedia membayar biaya sekolahnya, sebab saat itu kami anggap itu diperlukan untuk perkembangan kepribadian dan kelangsungan pendidikan anak kami, tapi kami ingin anak kami tetap tumbuh menjadi anak yang sederhana. Anak yang bisa survive dalam kehidupan yang ‘biasa-biasa saja’.

Kami juga ingin anak kami itu paham, bahwa selain kehidupan berkelimpahan dan kemudahan materi yang akan dia lihat dari keseharian kawan-kawannya di sekolah itu, dia juga tahu, bahwa ada banyak orang lain, baik anak-anak, remaja, orang tua yang tidak seperti itu kondisi ekonominya.

Dan keputusanpun diambil.

Aku dan ayahnya sepakat, walau dia bersekolah di sekolah mahal, kami akan meminta anak kami ini pulang dan pergi sekolah naik angkot.

Dengan cara ini, kami berharap dia terbuka wawasan dan pandangannya. Dengan sehari-hari naik angkot, dia akan bisa melihat anak-anak sekolah lain yang uang sakunya mepet.

Dia juga akan bisa mendengar percakapan para orang tua tentang harga-harga yang naik terus atau juga kadang pusing mencari tambahan uang untuk keperluan mendesak dalam jumlah yang sebetulnya tak besar (aku sendiri pernah mendengar percakapan dua orang dewasa yang bingung mencari tambahan uang yang sebetulnya jumlahnya tak seberapa, Rp. 20.000,- saja, di angkot).

Hal-hal semacam itu, hanya akan dia pahami jika dia melihatnya sendiri.

Untuk membuatnya paham, kami terangkan padanya tujuan kami memintanya melakukan itu.

Kami juga, tentu saja, sejak awal sudah menyadari, bahwa memintanya untuk pulang pergi naik angkot akan membuat anak kami ‘berbeda’ dengan anak-anak lain di sekolahnya. Maka, ada satu hal lain lagi yang kami ajarkan pada dia, bahwa naik angkot ketika teman-teman lain naik mobil itu sama sekali bukan hal yang memalukan.

Kami ajarkan bahwa itu sama sekali tak mengurangi derajat maupun harga dirinya.

Kami percaya, kemampuan untuk mengambil sikap yang berbeda dengan kebanyakan orang di sekitarnya jika memang diperlukan, akan sangat berguna bagi perkembangan kepribadiannya.

***

Prediksi kami benar.

Sekolah dimana anak kami bersekolah saat SMP itu terdiri dari SD, SMP dan SMA. Dan menurut apa yang kami dengar, dari begitu banyak murid di semua tingkatan sekolah itu.. hanya ada 3 murid yang biasa naik angkot.

Dua orang anak SMA, dan satu orang anak SMP, ya anak tengah kami itu. Ha ha.

Benar! Dia menjadi satu-satunya murid di SMP-nya yang naik angkot pulang dan pergi ke sekolah ketika itu. Dan sungguh, kami senang sekali bahwa sama sekali tak pernah terdengar keluhan dari dirinya tentang hal tersebut.

Ah, kami lega.

Senang sebab satu lagi falsafah dasar tentang cara hidup sederhana dan tak berlebihan ternyata bisa diserap dan dijalankan dengan baik oleh cah lanang anak tengah kami itu. Lega sebab bahkan dalam usia pubertas, saat ABG dimana 'menjadi berbeda dengan teman-teman' kadang-kadang merupakan suatu hal sulit dan tak tertanggungkan bagi mereka, anakku bisa melakukannya.

Kami sungguh berharap, apa yang kami ajarkan dan latihkan pada dirinya, akan berguna dan menjadi fondasi yang kokoh dalam perkembangan kepribadiannya selanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun