Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tinggal di Luar Negeri atau di Indonesia, Mana yang Lebih Baik?

9 Januari 2016   12:05 Diperbarui: 9 Januari 2016   15:10 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada tempat sempurna di dunia, maka, syukurilah apa yang ada…

PAGI ini aku membaca tulisan seorang kawan lama. Tulisan yang secara berkala dia bagikan di group perkawanan kami. Tulisan- tulisannya bagus, mencerahkan, ada pada kedalaman dan ketinggian yang tepat.

Aku selalu menikmati apa yang dituliskannya. Hal- hal yang konon menurutnya sendiri sebetulnya ditulis untuk kalangan terbatas, terutama untuk anak- anaknya yang kini berusia belasan tahun. Dia ingin menyampaikan pemikiran, opini, kenangan, melalui tulisan kepada anak- anaknya.

Tulisan yang dibagikannya pagi ini merupakan perenungannya setelah belum lama ini berlibur ke Indonesia.

Kawan ini suami istri berasal dari Indonesia, kini tinggal di Amerika bersama anak- anak mereka.

Dalam kunjungannya ke Indonesia, dia melihat kemacetan di jalan dan mengamati bahwa harga tanah dan rumah di kota- kota besar di Indonesia saat ini sangat tinggi. Dia mengatakan bahwa rumah dan tanah dengan luas yang sama di kota- kota besar di Indonesia harganya bisa sampai 10 kali lipat harga di negara bagian di Amerika dimana mereka tinggal.

Padahal mereka saja, dengan standar gaji dari pekerjaan profesional mereka di Amerika, untuk melunasi rumah yang mereka tinggali di sana, perlu mencicil bertahun- tahun. Lalu jika harga rumah di kota besar di Indonesia 10 kali lipat besarnya, dengan standar gaji di Indonesia, tentu kesulitan untuk bisa memperolehnya menjadi jauh lebih besar lagi.

Dalam tulisannya dia mengatakan pada anak- anaknya untuk jangan lupa mensyukuri apa yang mereka tiap hari nikmati di lingkungan rumah mereka di Amerika saat ini
.
Jalan- jalan yang luas, ruang terbuka, tanaman, udara, langit biru, kehidupan alam liar dan tidak adanya kemacetan di sekitar tempat tinggal mereka saat ini harus disyukuri.

Dia mengatakan pada anak- anaknya " I don't want you to take for granted " terhadap hal- hal tersebut. Sebab di bagian lain di dunia, termasuk di kota asalnya di Indonesia, apa yang mereka nikmati sekarang sehari- hari di Amerika, tak bisa diperoleh lagi.

***

Apa yang ditulis temanku dan aku baca tadi pagi, mengingatkanku pada tulisan yang ditayangkan oleh Pak Tjiptadinata di Kompasiana beberapa hari yang lalu.

Tentang kesempatan kerja di Australia.

Dimana disana anak- anak sekolah, sampai senior citizen, bisa mendapatkan kesempatan kerja, dengan gaji yang jika dikurs ke Rupiah, akan menggambarkan angka- angka yang sangat menggiurkan.

Bisa diduga, di kolom komentar ada banyak yang menulis harapannya untuk bisa bekerja dan tinggal di Australia.

***

Aku tidak mempertanyakan atau menentang apa yang dikatakan oleh kawan lamaku yang kini tinggal di Amerika, maupun apa yang dituliskan oleh pak Tjip mengenai kesempatan kerja serta jumlah gaji di Australia yang jika di-kurs ke Rupiah akan menjadi besar dan menggiurkan itu. Juga bahwa kesempatan itu ada bagi rentang usia yang sangat besar. Dari remaja hingga senior citizen. Artinya, jika bersedia untuk rajin dan bersusah payah, kesempatan bisa diraih.

Aku percaya pada apa yang dituliskan temanku dan juga tulisan pak Tjip di Kompasiana. Bahwa ada banyak hal yang bisa diperoleh di Amerika, maupun di Australia, yang sulit diperoleh di Indonesia.

Namun, sebaliknya, sebenarnya juga ada hal- hal yang bisa diperoleh di Indonesia, yang tidak bisa diperoleh di negara- negara lain, termasuk di Amerika maupun di Australia.

Dan inilah sebabnya kenapa pembuka tulisanku ini adalah kita perlu menyadari bahwa tak ada tempat sempurna di dunia ini. Maka, kitalah yang harus pandai mensyukuri apa yang ada.

***

Aku ingin bercerita sedikit, tentang percakapan yang pernah kulakukan dengan suamiku dulu.

Ketika itu krisis moneter sedang melanda Indonesia.

Situasi ekonomi gonjang- ganjing. Ada banyak orang di sekitar kami yang mengalami pemutusan hubungan kerja.

Kami masih beruntung. Tak mengalami PHK, kami tetap memiliki pekerjaan dan penghasilan. Walau sebab harga- harga naik tinggi, kami juga harus mengencangkan ikat pinggang.

Harga bahan pokok meroket. Padahal kami memiliki anak balita yang harus dicukupi kebutuhan gizinya.

Maka kami benar- benar harus berhati- hati mengelola kondisi finansial kami.

Aku juga ingat bahwa selain kebutuhan pokok, saat itu suku bunga melambung tinggi sampai pada level yang tak terbayangkan.

Ini adalah bagian yang paling mempengaruhi situasi finansial kami. Kami baru menikah beberapa tahun saat itu, dan sedang mencicil rumah mungil kami yang pertama.

Naiknya suku bunga menyebabkan kami terbelalak. Angka cicilan yang kami harus bayar ke bank menjadi berkali- kali lipat dari angka yang kami harus bayar setiap bulan sebelumnya ketika suku bunga belum naik gila- gilaan. Sementara itu, jika dilihat, walau angka tiap bulan yang kami bayar melambung sangat tinggi, jumlah itu tidak mengurangi pokok pinjaman. Sebab ya itu, jumlah tinggi yang kami bayar itu asal muasalnya dari suku bunga yang tingginya luar biasa.

Maka, keputusan diambil.

Kami mengambil cara yang mungkin agak ‘terbalik’ dengan kebanyakan orang pada situasi seperti itu. Ada banyak orang yang datang ke bank untuk merubah masa pinjaman menjadi lebih panjang, agar jumlah yang dibayar setiap bulan menjadi sama dengan yang sebelumnya (ketika bunga belum naik).

Kami berdua, setelah berhitung, justru memutuskan untuk datang ke bank meminta agar jangka waktu kredit rumah kami dipangkas sampai kurang dari setengah jangka waktu yang direncanakan sebelumnya.

Jumlah yang kami bayar per bulan memang menjadi naik signifikan, tapi paling sedikit, dengan diperpendeknya jangka waktu pinjaman, yang kami bayar porsi terbesarnya adalah pinjaman pokoknya. Bukan bunga. Ini mengurangi rasa ‘sakit hati’ saat membayar kredit rumah tiap bulan pada kondisi suku bunga pinjaman sedang tidak masuk akal seperti itu.

***

Kemudian, di periode tersebut, dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil itu, aku mulai melihat cukup banyak kawan- kawanku pindah bekerja ke luar negeri. Baik atas usaha sendiri, maupun ditransfer pindah ke luar negeri oleh perusahaan ke kantor cabang lain di luar negeri.

Hmmm..

Lalu aku mulai memikirkan satu hal: mengapa tidak mengambil momentum itu untuk juga pindah bekerja ke luar negeri?

Suamiku, lulus S-2 dari salah satu universitas di Australia.

Aku sendiri, selama itu bekerja di perusahaan multinasional.

Di atas kertas, kami akan bisa memperoleh pekerjaan yang baik juga jika kami pergi ke luar negeri.

“ Dan anak- anak bisa mendapatkan pendidikan yang baik, nanti, “ kataku. “ Ayo kita pergi beberapa tahun, nanti kembali ke Indonesia lagi setelah itu… “

Ha ha.

Aku ingat, aku dengan gembira dan semangat mengatakan hal tersebut pada suamiku. Juga mengobrolkan hal yang sama pada ayahku (yang dulu pernah tinggal di Jerman). Juga pada adikku yang saat itu sedang tinggal di Inggris untuk menyelesaikan Post Doctoral programnya.

Saat kukatakan hal tersebut pada mereka, tadinya aku akan mengira mereka akan mengangguk segera dan menyetujui apa yang aku katakan.

Dan dengan tercengang, kudapati bahwa ternyata, bukan itu yang terjadi.

Mereka bertiga: suami, ayah dan adikku yang pendapatnya selalu kuhargai, sepakat tentang satu hal. Dengan cara mereka sendiri- sendiri, mereka mengatakan hal yang sama: “ Ngapain? Enakan juga di Indonesia.. “

Nah, lho…

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun