Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memotivasi Anak itu Harus Tepat Porsi dan Waktunya

19 Desember 2015   17:49 Diperbarui: 19 Desember 2015   18:39 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kali ini, cerita tentang anak sulungku.

ANAK perempuan berambut ikal yang saat kecil agak pemalu.

Aku masih ingat, ada banyak saat ketika dia TK, dia akan berdiri saja di lorong depan kelas ketika teman- temannya berlarian kesana- kemari. Sampai nanti jika suatu saat ada anak yang lebih ‘pemberani’ dan ‘heboh’ menggandeng tangannya untuk bergabung, dia akan ikut bergabung.

Dia sudah besar sekarang. Sudah jadi mahasiswa fakultas teknik di sebuah perguruan tinggi ternama. Sudah mulai merancang- rancang tugas akhirnya. Kuliahnya Alhamdulillah lancar, dengan IPK yang hingga saat ini akan memungkinkannya lulus cum laude (semoga.. ).

Masih juga mungil, dan pembawaannya tenang, tapi dia tak lagi pemalu. Dia berkembang menjadi anak perempuan yang gigih dan tahu apa yang dia mau.

Di sela- sela waktu kuliahnya, ada saja saat- saat dimana aku menerima pesan pendek darinya dengan isi serupa ini “ Bu, ada pertukaran mahasiswa, aku mau daftar ya ? “

Kali lain, “ Ada seminar internasional, aku dipanggil wawancara. Doain ya bu.. “

“ Ada young leadership program di luar negeri, aku ikut seleksi.. “

Dan macam- macam lagi.

Dari semua program yang dia mendaftar itu, hasilnya beragam.

Ada yang dia dapatkan, hingga bisa berangkat dengan rombongan pertukaran mahasiswa itu.

Ada yang dia sudah masuk 10 besar seleksi nasional untuk suatu international young leader program, dan yang akan diberangkatkan 4 orang. Setelah proses seleksi, ternyata dia ada di.. urutan ke 5. Ha ha. Dia dihubungi untuk bersiap- siap sebab dia masuk daftar cadangan, jika salah satu dari 4 orang itu batal berangkat, dialah yang akan berangkat.

Ada juga yang tak terpilih..

Kompetisinya dan persaingannya juga macam- macam levelnya. Ada yang seleksinya tingkat nasional, lalu nanti bergabung dengan rombongan lain dari negara lain. Ada yang sejak awal, seleksinya sudah seleksi internasional, tak lagi merupakan perwakilan negara, dia sudah bersaing langsung di level global.

Aku dan ayahnya sih senang- senang saja dia begitu. Itu kan keinginannya sendiri. Dan kami lihat dia tak terbeban. Menulis makalah yang biasanya menjadi syarat untuk mendaftar, juga dia lakukan dengan santai disela- sela waktu luangnya. Kadang-kadang topik yang diminta berhubungan dengan jurusan yang dia pelajari di Perguruan Tinggi saat ini. Adakalanya, nggak ada hubungannya sama sekali.

Kami juga senang akan hal itu. Itu menunjukkan bahwa wawasannya cukup luas untuk bisa menulis sesuatu yang berbeda dengan bidang keilmuan formal yang dia sedang pelajari.

Plus, ini juga penting: dia menerima keberhasilan maupun kegagalannya saat mendaftarkan diri dalam program- program semacam itu juga dengan sikap yang ‘biasa- biasa saja’. Tidak berlebihan senang atau kecewanya jika berhasil atau gagal.

Bagi kami, ini penting sekali…

***

Kami ini, bukan orang tua yang begitu ambisiusnya mengikutkan anak- anak untuk berlomba.

Saat mereka kecil, jika ada lomba ini dan itu di sekolahnya atau di luar sekolah yang kami tahu, kami akan beritahu anak (-anak) kami dan tawarkan apakah mereka ingin ikut. Jika ingin, ya kami daftar dan antarkan. Jika tak mau, tidak apa- apa.

Kami selalu menyadari, mendidik anak itu marathon, bukan sprint. Bagi kami, mendidik anak untuk memiliki mental juara, lebih penting daripada sekedar menjadikannya juara instan.

Sudah banyak kami dengar cerita, juga kami lihat di depan mata, anak- anak yang orang tuanya begitu berambisi agar anaknya menjadi juara, kepribadiannya menjadi rapuh.

Ada kakak kelas anak kami yang juara olimpiade ini, dan itu, dapat medali emas ini dan itu, tapi ketika di bangku SD sering menjerit- jerit di kelas dan tak punya teman. Pada usia SMA-nya, yang kami dengar, dia sudah dua kali berusaha untuk bunuh diri.

Ada anak lain yang juga dipaksa orang tuanya untuk jadi juara, sampai tidak boleh main dan tidak pernah dibelikan mainan sama sekali, mengutil mainan mobil- mobilan yang sebetulnya harganya tak mahal di rumah temannya.

Ada banyak lagi hal- hal semacam itu yang kami lihat. Dan tak kami inginkan terjadi pada anak- anak kami.

Maka ketika suatu hari si sulung ini ‘mengumumkan’ pada kami orang tuanya “ Aku nggak mau ikut olimpiade lagi. Ibu dan bapak nggak apa- apa kan kalau aku nggak mau? “ kami juga mengatakan, tidak apa- apa.

Anakku ini pernah mencoba ikut olimpiade. Ketika dia masih duduk di kelas 4 SD, dan diminta bergabung dengan kakak- kakak kelasnya di kelas 5 untuk dipersiapkan mengikuti olimpiade mewakili sekolahnya. Dan anakku malah ada di barisan anak- anak yang sampai seleksi kesekian masih bertahan, ketika kakak- kakak kelasnya sudah banyak yang berguguran.

Tapi dia tak menikmati prosesnya, rupanya. Maka setelah pengalaman itu, dia tak pernah lagi mau mengikuti program- program olimpiade. Satu dua kali saat dia SMP dan SMA, dia diminta mewakili sekolah untuk lomba, dia akan mau jika itu jenisnya lomba yang ‘sekali itu saja’, tapi bukan olimpiade.

Dan ya itu, kami biarkan saja dia memilih sesuai keinginannya sendiri..

***

Lalu, apakah kami benar- benar 'membiarkan' dan tidak pernah sama sekali memberikan motivasi padanya ?

Oh, tentu saja kami berikan. Tapi sifatnya percakapan ringan saja.

Dan sejujurnya, adakalanya kami juga melakukan kesalahan saat memberikan motivasi itu. Ha ha.

Ini salah satu contohnya..

Suatu hari, saat si sulung berusia sekitar enam tahun, seperti biasa di sela- sela menemani dia dan adiknya bermain, kami mengajaknya mengobrol.

Ketika itu, suamiku berkata padanya, “ Ayo mbak, belajar yang rajin ya.. Kalau belajarnya rajin, nanti kalau sudah besar bisa dapat beasiswa, sekolah di luar negeri nggak usah bayar. Sama seperti yangkung, seperti Bapak, seperti oom.. “

Anakku menjawab apa yang dikatakan ayahnya dengan kalimat ini, “ Nanti Bapak dan ibu ikut ke luar negerinya? “

Kami tertawa, “ Ya enggak, nanti mbak ke luar negeri ya sendiri aja. “

Lalu katanya, “ Jadi kalau aku sekolah ke luar negeri itu, Bapak dan ibu dimana? “

Ayahnya menjawab, “ Ya disini, Bapak dan ibu di rumah aja.. “

Dia menegaskan sekali lagi, “ Aku perginya sendirian aja? “

Bapaknya dengan tenang mengangguk, “ Iya. Sendirian aja. Bapak dulu juga waktu sekolah keluar negeri, mbah kung dan mbahti nggak ikut, Bapak sendirian. “

Daaannnn…

Alih- alih tertarik, gadis mungil berusia enam tahun itu malah menangis. Katanya, “Kalau gitu aku nggak mau sekolah ke luar negeri. Aku mau disini aja, dengan Bapak dan Ibu.. “

Hah !

Aku dan ayahnya berpandangan, tak paham mulanya, kenapa dia menangis?

Tapi kami lalu sadar, dimana korsletnya.

Gimana sih, ngomong sama anak umur 6 tahun, koq nyuruh pergi ke luar negeri, yang jauuuhhh, sendirian. Nggak ditemenin. Ya wajarlah kalau dia malah menangis .

Ha ha ha. Ini namanya bapak dan ibunya yang error, mau memotivasi tapi salah waktu… ha ha…

p.s. written for my daughter, with love – always proud of you, nduk…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun