Sudah banyak kami dengar cerita, juga kami lihat di depan mata, anak- anak yang orang tuanya begitu berambisi agar anaknya menjadi juara, kepribadiannya menjadi rapuh.
Ada kakak kelas anak kami yang juara olimpiade ini, dan itu, dapat medali emas ini dan itu, tapi ketika di bangku SD sering menjerit- jerit di kelas dan tak punya teman. Pada usia SMA-nya, yang kami dengar, dia sudah dua kali berusaha untuk bunuh diri.
Ada anak lain yang juga dipaksa orang tuanya untuk jadi juara, sampai tidak boleh main dan tidak pernah dibelikan mainan sama sekali, mengutil mainan mobil- mobilan yang sebetulnya harganya tak mahal di rumah temannya.
Ada banyak lagi hal- hal semacam itu yang kami lihat. Dan tak kami inginkan terjadi pada anak- anak kami.
Maka ketika suatu hari si sulung ini ‘mengumumkan’ pada kami orang tuanya “ Aku nggak mau ikut olimpiade lagi. Ibu dan bapak nggak apa- apa kan kalau aku nggak mau? “ kami juga mengatakan, tidak apa- apa.
Anakku ini pernah mencoba ikut olimpiade. Ketika dia masih duduk di kelas 4 SD, dan diminta bergabung dengan kakak- kakak kelasnya di kelas 5 untuk dipersiapkan mengikuti olimpiade mewakili sekolahnya. Dan anakku malah ada di barisan anak- anak yang sampai seleksi kesekian masih bertahan, ketika kakak- kakak kelasnya sudah banyak yang berguguran.
Tapi dia tak menikmati prosesnya, rupanya. Maka setelah pengalaman itu, dia tak pernah lagi mau mengikuti program- program olimpiade. Satu dua kali saat dia SMP dan SMA, dia diminta mewakili sekolah untuk lomba, dia akan mau jika itu jenisnya lomba yang ‘sekali itu saja’, tapi bukan olimpiade.
Dan ya itu, kami biarkan saja dia memilih sesuai keinginannya sendiri..
***
Lalu, apakah kami benar- benar 'membiarkan' dan tidak pernah sama sekali memberikan motivasi padanya ?
Oh, tentu saja kami berikan. Tapi sifatnya percakapan ringan saja.