Hotel transit...
KUTATAP lembaran kertas di tanganku. Lembaran voucher kamar hotel. Dan selembar lagi, voucher makan gratis. Serta catatan, jatah free 5 minutes call.
Hmmm.
Kuperhatikan nama- nama restaurant kemana aku bisa menggunakan voucher makan gratis itu. Lumayan mengundang sebetulnya, dan menjanjikan hidangan yang enak.
Tapi, perutku masih terasa penuh.
Pesawatku baru saja mendarat di airport Changi, Singapore ketika itu. Rencana aslinya sih, aku hanya akan transit satu jam saja di airport tersebut. Namun, aku ternyata ketinggalan connecting flight ke Jakarta.
Ada keterlambatan keberangkatan pesawat di airport di Filipina, negara darimana aku sebelumnya terbang untuk menuju ke Singapore, sehingga saat aku tiba di Singapore, pesawat terakhir ke Jakarta sudah berangkat. Maka, tak ada pilihan lain, malam itu, aku akan harus menginap di Singapore untuk kemudian terbang dengan pesawat pertama ke Jakarta keesokan paginya.
Dan karena itulah, kuterima voucher kamar gratis di hotel transit di airport untuk jangka waktu delapan jam (begitu yang tertulis di voucher itu) beserta voucher makan malam dan hubungan telepon gratis selama lima menit. Sebab aku ketinggalan pesawat itu.
Sebenarnya, sudah kuduga bahwa ini akan terjadi. Saat hendak berangkat ke Singapore dari Filipina, pesawatku delay sekitar satu setengah jam lebih. Sementara waktu transitku di Singapore seharusnya hanya satu jam. Jadi logikanya memang aku sudah akan ketinggalan pesawat ketika aku tiba di Singapore.
Aku juga sudah tahu bahwa pesawat yang seharusnya kutumpangi malam itu ke Jakarta adalah pesawat terakhir rute Singapore-Jakarta.
Maka sejak masih di Filipina, aku bahkan sudah sempat mengirimkan pesan pendek pada suami dan anakku yang rencananya akan menjemput malam itu di Bandara Soekarno Hatta untuk menunggu dulu berita dariku saat aku sudah tiba di Singapore nanti, apakah aku masih bisa terbang ke Jakarta malam itu atau harus menunggu hingga keesokan harinya.
Yang terjadi ternyata, aku memang mesti menanti hingga esok pagi.
Kukirimkan pesan pada suamiku, memberikan informasi itu. Besok pagi saja jemputnya, sebab aku tidak jadi terbang malam ini.
Dan…
Setelah itu, kutimbang- timbang, apa yang akan kulakukan di Changi.
Pramugari darat yang tadi memberikan voucher kepadaku mengatakan aku bisa makan malam dulu sebelum masuk ke dalam hotel. Tapi aku tidak lapar. Aku sudah makan di pesawat. Tapi, aku juga segan langsung check in ke hotel transit itu...
***
Hotel transit, mungkin sesuai dengan tujuannya, suasananya agak berbeda dengan hotel biasa.
Lorong di muka kamarnya agak sempit, kamar- kamarnya juga relatif tidak terlalu besar ukurannya, dan lorong serta kamar itu agak temaram lampunya—mungkin sengaja agar orang bisa segera bisa tidur dan beristirahat.
Yang aku masih selalu merasa agak ‘aneh’ adalah bahwa untuk menuju ke kamar kita di hotel transit, tidak seperti kalau di hotel biasa dimana dari tempat resepsionis di lobby yang luas kita kemudian menuju lift untuk kemudian menuju kamar, di hotel transit ini untuk menuju kamar biasanya ada pintu tertutup di dekat resepsionis. Kita harus memasuki pintu tertutup itu, dan.. dibalik tembok dan satu pintu sempit itulah ternyata ada kamar berderet- deret.
Aku selalu merasa seperti “dimasukkan ke dalam kotak”, saat masuk ke hotel transit di airport ini. He he.
Sebelum ini, aku pernah juga menginap di hotel transit di airport yang sama, beberapa tahun yang lalu ketika harus berganti pesawat dalam perjalanan ke dan pulang dari USA. Selain kondisi lorong- lorong di hotel yang menurutku sempit dan temaram dan membuatku merasa kurang nyaman itu, ketika itu aku juga berpapasan dengan Bapak- bapak hidung belang yang kegenitan saat hendak check in di hotel transit tersebut. Duh, males banget kan.
Nah, mungkin, sebab pengalaman yang terekam di memoriku tentang hotel transit itu tidak begitu menyenangkan, makanya aku jadi aras- arasen, ogah- ogahan untuk segera check in.
Aku lalu memutuskan untuk berjalan- jalan saja dulu ke toko buku. Lalu, kudengar juga kabar bahwa ada seorang rekan kerjaku yang hendak terbang ke negara lain saat itu juga sedang transit di Singapore. Maka, setelah dari toko buku, kuputuskan untuk bertemu dengannya.
Kebetulan aku dan rekan itu dalam beberapa hari ke depan memang berencana untuk mendiskusikan sesuatu melalu teleconference. Namun sebab ternyata kami secara kebetulan bertemu dalam persilangan arah perjalanan kami di Changi, akhirnya di tengah malam buta itulah kami membicarakan beberapa hal yang tadinya akan kami diskusikan melalui teleconference itu. Kami melakukan rapat tengah malam di airport, judulnya. Ha ha.
Baru kemudian setelah bertemu dengan rekanku itu, akhirnya aku memutuskan untuk check in di hotel transit airport. Bayanganku, setelah check in, aku akan mandi air hangat, tidur sebentar, lalu mandi lagi untuk kemudian siap- siap terbang kembali ke tanah air.
Dan…
Yang terjadi ternyata tidak sesuai dengan bayanganku. Sebab, saat aku tiba di resepsionis hotel, mereka mengatakan bahwa kamar fully booked. Menurut mereka, pihak penerbangan memberikan banyak voucher pada penumpang yang ketinggalan pesawat malam itu tanpa melakukan reservasi kamar dulu di hotel transit itu, sehingga mereka tidak punya kamar untukku.
Oh, ya ampun.
Mereka mengatakan, jikapun aku mau, saat itu yang tersedia hanya ‘budget room’. Artinya, kamar single yang agak sempit (ukurannya kira- kira sebesar satu ruangan dengan satu tempat tidur dan satu meja saja), dan.. toiletnya di luar.
Haduh.
Kamarnya sempit, ya sudahlah, toh cuma sebentar. Tapi, toilet di luar? Aduh, itu sangat tidak nyaman bagi perempuan yang bepergian sendiri seperti aku ini.
Aku mencoba bernegosiasi, tapi pihak hotel mengatakan mereka benar- benar tak bisa menawarkan hal lain, sebab hanya itulah kamar yang tersisa.
Aku juga berusaha mengurus pada pihak penerbangan, yang mengatakan jika aku keberatan menginap di kamar yang toiletnya terpisah di hotel transit di airport, mereka bisa menyediakan kamar lain di sebuah hotel di luar airport. Konsekwensinya, aku akan harus menuju ke hotel itu dan keesokan harinya kembali ke airpot dengan mobil. Juga, aku akan harus keluar masuk pintu imigrasi, melalui pemeriksaan passport dan sebagainya.
Buang- buang waktu saja.
Jadi, akhirnya, walau agak kesal, kuterima saja tawaran untuk menginap di ‘budget room’ tanpa toilet di dalam kamar, dan untuk keperluan yang berhubungan dengan toilet dan kamar mandi, aku harus menggunakan salah satu dari sekitar lima atau enam toilet dan kamar mandi umum yang berderet- deret di dalam hotel transit itu.
Malam itu, aku mandi tergesa- gesa di dalam salah satu kamar mandi tersebut kemudian tidur sekitar dua atau tiga jam saja, untuk kemudian di pagi buta menuju ke salah satu gate di Terminal 2 untuk boarding ke pesawat yang akan membawaku pulang ke tanah air.
***
Entah dimana kekusutan soal hotel ini terjadi. Pihak hotel bersikeras bahwa mereka tidak menerima satupun pesanan kamar . Menurut mereka semua penerima voucher yang check ini malam itu walk in, tak ada reservasi dari pihak penerbangan. Pihak hotel juga sampai beberapa kali mencari namaku dalam daftar reservai mereka, tapi tidak bisa ditemukan.
Sementara itu pihak penerbangan mengatakan mereka sudah melakukan reservasi tapi sebab aku tidak langsung check in segera setelah voucher diterima, maka pesanan itu dibatalkan oleh pihak hotel. Pihak hotel membantah statement ini, mereka bersikeras tak pernah ada reservasi dilakukan dan mereka tidak pernah membatalkan pemesanan apapun.
Halah.
Aku menuliskan tentang urusan hotel transit itu sekarang, untuk berbagi pengalaman dan untuk mengingatkan teman- teman yang sempat membaca tulisan aku ini, jika suatu saat nanti bepergian, dan ternyata ada perubahan jadwal pesawat lalu menerima voucher hotel transit seperti aku, segerakanlah check in dulu sebelum melakukan hal- hal lain.
Jadi jika ternyata voucher kamar di hotel transit itu diberikan tanpa pihak penerbangan melakukan reservasi, seperti yang terjadi padaku, at least teman- teman bisa mendapatkan kamar yang lebih nyaman dan toilet di dalam.
Aku sendiri tadinya berpikir bahwa ketika pihak penerbangan memberikan voucher padaku, semua urusan reservasi sudah dilakukan maka hendak check in jam berapapun tak masalah karena sudah ada kamar yang disediakan untuk kita. Ternyata, bukan itu yang terjadi. Tidak ada reservasi, maka first come first serve-lah yang diterapkan.
Itu sebabnya aku sampai kehabisan kamar yang bersatu dengan kamar mandi dan akhirnya terpaksa mandi di salah satu kamar mandi umum yang berderet- deret di hotel tersebut.
Dengan menuliskan pengalamanku ini, aku berharap jika ada teman- teman yang mengalami hal seperti aku, ketinggalan pesawat sehingga tanpa rencana terpaksa menginap di hotel transit di airport, teman- teman akan terhindar dari ketidaknyamanan seperti yang aku alami gara- gara tidak segera check in segera setelah menerima voucher untuk menginap di hotel transit itu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H