Suatu malam, beberapa hari yang lalu…
AKU terlonjak. Sebuah nama terbaca di layar telepon genggamku.
Itu atasanku. Mantan atasanku, tepatnya.
Sudah lama kami tak bertemu. Kami berada di negara yang berbeda, terpisah jarak separuh belahan dunia. Janji- janji untuk saling mengunjungi, belum juga terjadi.
Tapi seperti yang sudah sering dikatakan orang, jarak boleh memisahkan, tapi hati bisa tetap dekat.
Mantan atasan ini, salah satu atasan terbaik yang pernah kupunya.
Filsuf, dia itu. Sangat cerdas, baik dan rendah hati.
Dia mendekati para anak buah dengan cara yang cocok untuk masing- masing anak buah. Customized.
Mantan atasanku ini sabar mendengarkan salah seorang anak buahnya, seorang manager yang dulu selevel denganku, yang selalu memberikannya berjuta detail dan laporan hasil kerja dan ‘meminta petunjuk’. Tapi sebaliknya, dia ini, juga bisa mempercayai orang seperti aku, yang jika memang tak perlu, akan mengerjakan saja sendiri apa yang menjadi tugasku tanpa banyak laporan ini-itu. Yang penting, hasil bisa ditunjukkan dan aku melakukannya dengan cara yang sesuai koridor. That’s all.
Mantan atasanku ini, bahkan tahu cara menyenangkan hatiku. Dia tahu pemberian apa yang bisa membuatku senang walau harganya tak seberapa.
Suatu hari aku mengerjakan sebuah project sebagai tanggung jawab tambahan dari pekerjaan utamaku, dan ketika project itu sudah selesai, ucapan terimakasih darinya disertai dengan kalimat ini, “ D, ada novel bagus pemenang penghargaan internasional. “ Lalu, disebutkannya judul novel itu. “ Sudah punya? “
Aku menggeleng.Â
Dia tersenyum lebar lalu mengatakan, “ Jangan beli ya. Nanti aku yang akan membelikan untukmu. “
Oh, aku senang sekali.
Memang sih, selain novel itu, atasanku ini kemudian juga memberikan award resmi dari perusahaan atas hasil kerjaku itu. Award, selalu menyenangkan. Selain merasa dihargai, bisa dipajang di Curriculum Vitae, juga, seringkali, nilai materialnya lumayan. He he.
Tapi sungguh, selain award resmi itu, yang juga sangat kuhargai adalah tawaran membelikan novel bagiku. Harganya mungkin tak seberapa, tapi itu adalah sebuah pendekatan pribadi yang menyenangkan dan menyentuh.
Dan begitulah.
Suatu hari saat penugasannya ke Indonesia sudah selesai, dia kembali ke negaranya. Tapi kami tak putus hubungan.
Ada suatu hari, dimana aku mendapat tawaran kerja di tempat lain. Yang ketika hendak masuk ke perusahaan itu, diminta surat referensi dari orang- orang yang mengenalku sebelumnya. Kuhubungi mantan atasan-ku ini, yang dengan senang hati bersedia memberikan nomor telepon dan alamat emailnya kepada pihak perusahaan yang akan merekrutku untuk dihubungi.
Lalu sekian tahun kemudian, aku kembali mendapatkan tawaran di tempat lain lagi. Dan dia termasuk salah satu dari beberapa mantan atasan yang kuhubungi lagi, meminta bantuan untuk memberikan referensi.
Saat meneleponku beberapa hari yang lalu dia bertanya setengah menggoda, “ D, kau masih di bekerja di xxx kan saat ini? “ sambil dia menyebutkan nama perusahaan tempatku bekerja.
Aku paham arah pertanyaannya. Sambil tertawa- tawa aku menjawab, “ Masih, “ kataku, yang kususul dengan kalimat jahil yang mengatakan padanya tenang saja, jika aku berniat pindah ke perusahaan lain lagi, dia akan menjadi orang pertama yang akan mendengar hal itu sebab aku mungkin akan memintanya untuk memberikan surat referensi. Ha ha.
***
Ada mantan atasanku yang lain.
Aku bekerja dengannya untuk jangka waktu beberapa tahun sebelum dia lalu pindah ke perusahan lain yang menawarinya posisi tinggi yang sangat bagus.
Duh, aku sedih sekali saat tahu dia hendak pindah dan protes panjang lebar dan kususul dengan “ Aku ikut aja deh. Punya kerjaan untuk aku, tidak? “
Atasan ini, ‘menyebalkan’ sekaligus menyenangkan.
Dia ‘menyebalkan’ sebab dia pintar sekali dan standarnya tinggi. Jadi seringkali aku sudah merasa melakukan sesuatu dengan baik dan menyiapkan beragam detail namun ketika kudiskusikan dengannya, ada saja hal yang dia katakan yang tadinya tak terpikirkan olehku. Ih, gemes deh.        .
Tapi justru karena itulah aku belajar. Atasanku yang ini dengan keluasan pandangannya mengajarkan banyak hal padaku. Standar pencapaiannya yang tinggi juga membuatku selalu tertantang untuk berbuat lebih baik dan lebih baik lagi.
Satu yang kucatat darinya adalah, dia membuat masa bekerja dengannya itu menjadi ‘a fun journey’. Dia memperlihatkan kemana kami hendak menuju, target apa yang harus dicapai, tapi lalu dengan realistis membaginya menjadi suatu pencapaian- pencapaian dalam jangka pendek yang akan bisa dicapai yang lalu sekian periode kemudian, jika dilihat, ternyata sudah mencapai tujuan jangka panjangnya. Menyenangkan sekali.
Dia juga jujur dan sangat memperhatikan etika. Baginya yang penting bukan hanya bahwa hasil tercapai tapi bagaimana cara hasil itu dicapai juga penting.
Selama bekerja dengannya, dia memberikan beberapa award padaku. Termasuk satu, yang piagam awardnya kuterima hanya beberapa hari menjelang kepindahannya ke tempat lain. Ketika kuucapkan terimakasih padanya, dia mengatakan padaku bahwa aku harus bangga sekali aku bisa mendapatkan award itu.Â
Oh, tentu saja, aku tahu, award yang kuterima itu levelnya bukan kacangan. Seleksinya ketat. Aku bekerja dalam suatu team yang memiliki perwakilan dari beberapa negara, sehingga ketika kuperoleh award itu artinya lingkupnya memang sudah suatu region besar, dan para pesaing untuk mendapatkan award itu juga datang dari banyak negara.Â
Aku katakan pada atasanku itu bahwa aku memang bangga, tapi sebetulnya dialah yang membuatku bisa mengeluarkan potensi terbaikku. Dia yang membuat setiap hari selama bekerja dengannya itu menjadi sebuah perjalanan yang menyenangkan.
Sayangnya, perusahaan kemana dia pindah itu tak memiliki perwakilan di Indonesia. Maka dia tak bisa merekrutku. Nanti, katanya, jika suatu saat dia membutuhkan seseorang di Indonesia, dia akan menghubungi aku. Lalu pesannya padaku, “ Contact me anytime, if you need me. “
Dan aku melakukannya. Beberapa kali aku perlu mendiskusikan sesuatu dan kuinginkan pendapat seorang profesional, kuhubungi mantan atasanku ini, yang di tengah banyak kesibukannya di beragam tempat dan berbagai benua, selalu dengan senang hati menyisihkan waktu untuk berdiskusi dan membantuku melihat beberapa alternatif solusi.
Dia tak harus melakukan itu, jelas. Dia bukan lagi atasanku. Kami bahkan bekerja di tempat yang berbeda kini. Tapi kebaikan hatinya membuat dia tetap melakukan itu bagiku.
***
Mereka, yang kuceritakan di atas itu, adalah dua dari beberapa mantan atasan yang kehadirannya berjejak dalam hatiku. Ada beberapa yang lain yang juga baik dan pintar, tapi yang dua ini menggoreskan kenangan sangat dalam.
Tak semua atasanku seperti ini. Ada yang menggoretkan luka. Ada yang bikin kesal nggak abis- abis. Ada juga yang sama sekali tak pernah kuberikan respek atau rasa hormatku padanya, walau jabatannya tinggi.
Sebab aku tahu, ada orang- orang yang walau jabatannya tinggi tapi sebenarnya tak cukup patut untuk menduduki jabatan itu. Ada juga yang memperoleh atau mempertahankan jabatannya dengan cara- cara yang menurutku tidak baik atau mengkompromikan kejujuran.
Well.. tapi, mungkin, itulah hidup. Ada orang- orang baik yang suatu saat kita temui, ada juga yang kurang baik. Dan barangkali, itulah yang pada akhirnya akan memperkaya pengalaman hidup dan mengasah nilai- nilai yang kita miliki.
Maka, sebab tahu bahwa ada atasan yang tak baik, bahwa tak semua atasan baik, aku selalu mensyukuri bahwa aku pernah dipertemukan dengan para atasan yang baik yang dua diantaranya kuceritakan disini…
p.s. written for KMR and RJB - many thanks !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H