Mari kita lanjutkan obrolan tentang ibu bekerja...
AKU, sebagai ibu bekerja, tentu bukan termasuk ibu- ibu yang bisa sepanjang hari ada di rumah. Tapi sungguh, kuupayakan apa yang bisa kuupayakan bagi anak- anak.
Saat mereka bayi, kuusahakan dengan beragam cara bagaimana agar anak- anakku tetap bisa mendapat ASI. Beberapa minggu sebelum aku mulai kembali masuk kantor saat cuti hamil, aku mulai menampung ASI dalam botol, yang lalu kubekukan di freezer. Diberi nomor dan tanggal. Saat aku tak berada di rumah, ASI itulah yang diberikan pada anakku.
Pada anak yang sulung, ceritanya bahkan lebih ‘epic’ lagi. Anak sulung ini sempat berpisah tempat tinggal dengan kami orang tuanya sebab dia ternyata bereaksi sangat sensitif terhadap imunisasi pertamanya. Dan dokter tak bisa memastikan apakah itu hanya akan terjadi pada imunisasi pertama atau seluruh imunisasinya. Maka setelah ditimbang- timbang, diputuskan bahwa dia tetap tinggal di kota dimana orang tuaku berada di bawah pengawasan dokter tersebut.
Maka demi bisa memberikan ASI langsung padanya, dua kali dalam seminggu aku pulang ke rumah orang tuaku. Pada Jumat sore, sepulang kantor aku langsung menuju stasiun kereta, menempuh jarak sekitar 200 KM untuk menemui dan memberikan ASI pada bayiku. Senin subuh, aku menjalani rute sebaliknya, dari rumah orang tuaku, langsung berangkat ke kantor.
Hal yang sama kulakukan juga di tengah minggu, setiap hari Rabu sore. Sepulang kantor, aku menuju stasiun agar malam itu bisa menyusui bayiku di rumah orang tuaku di luar kota, Kamis subuhnya kembali langsung ke kantor.
Sementara itu, pada hari- hari lain, kutampung ASI-ku. Kubekukan ASI itu lalu asisten rumah tangga kami dua hari sekali naik bus untuk mengirimkan berbotol- botol ASI beku dalam termos es dari kota dimana kami tinggal, ke rumah orang tuaku, yang, sekali lagi, jaraknya hampir 200 KM itu dari kota tempat kami tinggal itu.
Percayalah, memberikan ASI secara langsung pada bayi itu hal yang sangat menyenangkan. Tapi tidak begitu dengan menampung ASI. Ada rasa nyeri baik secara fisik maupun terasa di hati. Tapi kulawan semua itu, sebab menurut pendapatku, itu adalah konsekwensi yang harus ditanggung dari pilihan yang kulakukan saat memutuskan untuk terus bekerja.
Lalu anak- anak tumbuh besar dan masuk sekolah. Aku, tentu bukan termasuk ibu- ibu yang setiap hari bisa ada di sekolah dari pagi sampai sore menunggui anak- anaknya. Maka, kupakai cara lain. Kuajarkan pada anak- anakku bagaimana cara mengatur tasnya, mengajarkan pula disiplin untuk mengerjakan PR dan tugas- tugas mereka sendiri, dengan cara dan waktu yang mereka inginkan.
Aku tak mengatur jam berapa mereka harus belajar. Mereka boleh memilih kapan mereka akan mengerjakan PR atau belajar, tapi kuminta mereka melakukannya dalam jumlah waktu tertentu. Apakah jumlah waktu itu akan dipenuhi semua sekaligus atau dipecah- pecah menjadi beberapa bagian, itu boleh mereka tentukan sendiri.
Bagaimana memastikan bahwa mereka melakukan itu ketika kami kedua orang tuanya ada di kantor?
Oh, itu bagian dari mengajarkan tanggung jawab dan konsekwensi pada mereka. Kami katakan pada mereka bahwa jika mereka belajar dan kelak mereka jadi pintar, maka kepintaran itu akan dinikmati oleh mereka sendiri. Jika mereka tidak belajar, konsekwensinya juga ada, dan hal itu juga akan mereka tanggung sendiri.
***
Â
Kadangkala, pada hari- hari tertentu, kuambil cuti.
Misalnya, saat anak- anak hendak camping, atau mengikuti pesantren kilat, seperti orang tua lain, kuantarkan anakku ke sekolah.
Dan aku sering tersenyum- senyum sendiri, melihat anakku membawa ransel yang sehari sebelumnya dibereskannya sendiri (aku juga mengajarkan pada mereka, apa saja yang perlu dibawa saat ada kegiatan- kegiatan seperti itu, sementara ayahnya mengajarkan pada anak- anak bagaimana cara mengepak tas dengan baik dan efisien – sebab dalam hal mengepak tas atau koper, aku ini payah, he he). Pada saat yang sama, aku melihat banyak anak yang melenggang masuk halaman sekolah, sementara tasnya dibawakan oleh orang tua atau pengasuhnya (dan dari apa yang kudengar dan kuamati, isi tas itu juga sebelumnya dibereskan dan disiapkan oleh orang tua atau pengasuh).
Hmm, lagi- lagi itu pilihan kan? Nilai- nilai dan perilaku apa yang ingin kita ajarkan pada anak- anak? Aku sih, memilih untuk mengajarkan kemandirian, tanggung jawab dan kemampuan untuk mengatasi masalah pada anak- anak sejak mereka kecil, dengan alasan beragam, baik kepentingan masa depan mereka, dan juga fakta bahwa memang waktuku terbatas sebab bekerja itu. Sekali lagi, pinter- pinter ngaturnya aja deh…
Dan oh, jangan lupa, ibu bekerja juga punya hati. He he. Rasa sayang pada anak- anaknya sama sekali tak berkurang walau tak sepanjang hari bisa bersama mereka. Kekhawatiran dan kecemasan juga bisa melanda. Tak hanya saat mereka kecil, tapi juga saat mereka tumbuh besar.
Ibu bekerja, kadang juga bisa lebay dan mellow. Juga, adakalanya tidak konsisten dalam pola asuh. Sama saja, seperti semua ibu- ibu lain di dunia. Ha ha.
Contohnya aku. Saat anak- anak kecil, kuajarkan mereka untuk mandiri. Tapi, ini contoh yang belum lama terjadi, saat anak tengah lelakiku hendak mengikuti test masuk ke Perguruan Tinggi Negeri SBMPTN, tahun ini, aku sibuuukkk mengatur- atur dan memeriksa apa saja barang yang perlu dibawanya. Dari alat tulis, sampai kartu peserta ujian, sampai… botol kosong, untuk berjaga- jaga jika toilet penuh dan antri saat jam istirahat dan dia kepepet, botol kosong itu bisa jadi alternatif penyelamat hidup. Ha ha.
Aku juga, saat dia testing itu, sangat ingin bisa tetap berada di dekatnya, menunggui di halaman sekolah dimana dia test. Maka, hari itu, kuurus pekerjaan kantor sambil duduk di lantai dekat ruang satpam di gerbang sekolah tempat anakku testing.
Kumonitor pekerjaan anak buahku, kubalas email- email melalui telepon genggamku. Aku juga mengikuti beberapa teleconference dengan para counterpart dan atasanku di negara lain sambil lesehan di lantai di dekat ruang satpam tersebut, sembari menunggu anakku testing hari itu.
Jangan tanya, hal ini, tentang urusan botol kosong dan nungguin seharian anak lelaki yang sudah besar, sudah lulus SMA saat testing masuk Perguruan Tinggi itu, tentu saja menjadi bahan bahasan dan lucu- lucuan diantara suami dan anak- anakku yang menganggap ‘ibu itu memang tingkahnya ajaib’. Tapi emangnya aku pikirin komentar mereka? Ha ha. Saat mereka tertawa- tawa membahas tingkahku itu, ya aku ikut tertawa saja bersama mereka. Orang kan boleh menunjukkan rasa sayang dan perhatiannya dengan beragam cara termasuk membekali botol kosong saat anak testing, bukan? Ha ha.Â
Anyway.. begitulah. Tentu saja, seperti semua orang tua, aku bukan orang tua sempurna. Tapi, kembali pada status facebook yang kubaca pagi ini yang seakan- akan mengatakan bahwa anak dari ibu bekerja itu tak bisa berprestasi, sungguh menurutku tak bisa digeneralisir seperti itu. Dua anak terbesarku kini adalah mahasiswa fakultas teknik di sebuah Perguruan Tinggi Negeri yang termasuk perguruan tinggi terbaik di negeri ini. Mereka, sejauh ini juga tumbuh menjadi anak yang sehat fisik dan perilakunya (semoga terus begitu).
Anak ketigaku, si bungsu pra remaja yang hari ini berulang tahun, juga tumbuh sehat dan cerdas. Seharian tadi, sambil menikmati makan siang kami, dia tertawa- tawa menceritakan bahwa kemarin di sekolah dia membuat program robotic yang salah. Katanya, dia membuat program yang seharusnya membuat robot dari lego bisa mengambil sampah dan menaruhnya di tempat tertentu, tapi ternyata program yang dibuatnya tidak tepat sebab robot itu berjalan terlalu jauh keluar track. Dia juga pernah salah memprogram robot yang dimaksudkannya berjalan maju, ternyata malah mundur. Hal yang bagiku, sungguh tak mengapa. Sebab itu bagian dari proses belajarnya, bagian dari perkembangannya. Si bungsu juga bercerita tentang lagu apa saja yang sudah bisa dia mainkan dengan gitarnya dan berjanji akan memainkannya untukku.
Nah, itulah. Ibu bekerja itu sama sekali bukan alien. Mereka sama saja seperti ibu- ibu lain. Maka bagiku sendiri, aku sering bertanya- tanya, masih perlukah dipertentangkan atau dipermasalahkan jika seorang ibu memutuskan untuk bekerja, apalagi dituding- tuding bahwa anak- anaknya tak terurus dan tak akan bisa berprestasi?
Oh ya, omong- omong, jangan lupa lho, anak itu merupakan tanggung jawab bersama ayah dan ibu, jadi, soal prestasi anak, lepas dari apakah sang ibu bekerja atau tak bekerja, tak bisa hanya sepenuhnya dibebankan pada ibu. Para ayah tentu juga harus turut berperan membesarkan dan mendidik anak- anaknya..
p.s. Tulisan sebelumnya ada disini:Â http://www.kompasiana.com/rumahkayu/ibu-bekerja-vs-ibu-tidak-bekerja-perdebatan-yang-tak-pernah-usai-1_5628d0d9949373060a525d56
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI