Aku juga, saat dia testing itu, sangat ingin bisa tetap berada di dekatnya, menunggui di halaman sekolah dimana dia test. Maka, hari itu, kuurus pekerjaan kantor sambil duduk di lantai dekat ruang satpam di gerbang sekolah tempat anakku testing.
Kumonitor pekerjaan anak buahku, kubalas email- email melalui telepon genggamku. Aku juga mengikuti beberapa teleconference dengan para counterpart dan atasanku di negara lain sambil lesehan di lantai di dekat ruang satpam tersebut, sembari menunggu anakku testing hari itu.
Jangan tanya, hal ini, tentang urusan botol kosong dan nungguin seharian anak lelaki yang sudah besar, sudah lulus SMA saat testing masuk Perguruan Tinggi itu, tentu saja menjadi bahan bahasan dan lucu- lucuan diantara suami dan anak- anakku yang menganggap ‘ibu itu memang tingkahnya ajaib’. Tapi emangnya aku pikirin komentar mereka? Ha ha. Saat mereka tertawa- tawa membahas tingkahku itu, ya aku ikut tertawa saja bersama mereka. Orang kan boleh menunjukkan rasa sayang dan perhatiannya dengan beragam cara termasuk membekali botol kosong saat anak testing, bukan? Ha ha.Â
Anyway.. begitulah. Tentu saja, seperti semua orang tua, aku bukan orang tua sempurna. Tapi, kembali pada status facebook yang kubaca pagi ini yang seakan- akan mengatakan bahwa anak dari ibu bekerja itu tak bisa berprestasi, sungguh menurutku tak bisa digeneralisir seperti itu. Dua anak terbesarku kini adalah mahasiswa fakultas teknik di sebuah Perguruan Tinggi Negeri yang termasuk perguruan tinggi terbaik di negeri ini. Mereka, sejauh ini juga tumbuh menjadi anak yang sehat fisik dan perilakunya (semoga terus begitu).
Anak ketigaku, si bungsu pra remaja yang hari ini berulang tahun, juga tumbuh sehat dan cerdas. Seharian tadi, sambil menikmati makan siang kami, dia tertawa- tawa menceritakan bahwa kemarin di sekolah dia membuat program robotic yang salah. Katanya, dia membuat program yang seharusnya membuat robot dari lego bisa mengambil sampah dan menaruhnya di tempat tertentu, tapi ternyata program yang dibuatnya tidak tepat sebab robot itu berjalan terlalu jauh keluar track. Dia juga pernah salah memprogram robot yang dimaksudkannya berjalan maju, ternyata malah mundur. Hal yang bagiku, sungguh tak mengapa. Sebab itu bagian dari proses belajarnya, bagian dari perkembangannya. Si bungsu juga bercerita tentang lagu apa saja yang sudah bisa dia mainkan dengan gitarnya dan berjanji akan memainkannya untukku.
Nah, itulah. Ibu bekerja itu sama sekali bukan alien. Mereka sama saja seperti ibu- ibu lain. Maka bagiku sendiri, aku sering bertanya- tanya, masih perlukah dipertentangkan atau dipermasalahkan jika seorang ibu memutuskan untuk bekerja, apalagi dituding- tuding bahwa anak- anaknya tak terurus dan tak akan bisa berprestasi?
Oh ya, omong- omong, jangan lupa lho, anak itu merupakan tanggung jawab bersama ayah dan ibu, jadi, soal prestasi anak, lepas dari apakah sang ibu bekerja atau tak bekerja, tak bisa hanya sepenuhnya dibebankan pada ibu. Para ayah tentu juga harus turut berperan membesarkan dan mendidik anak- anaknya..
p.s. Tulisan sebelumnya ada disini:Â http://www.kompasiana.com/rumahkayu/ibu-bekerja-vs-ibu-tidak-bekerja-perdebatan-yang-tak-pernah-usai-1_5628d0d9949373060a525d56
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI