" Uang kuliah anaknya sudah dibayar ? "
KUTATAP sang penanya. Agak heran dengan pertanyaan yang diajukan padaku itu, mulanya. Maka kutunda menjawab beberapa detik, sebab aku yakin, ada alasan dibalik pertanyaan itu.
Dan, oh.. untunglah kusadari akhirnya ada apa dibalik pertanyaan tersebut.
Kami berada di depan sebuah gedung hari itu. Anak- anak kami, anakku dan anak ibu yang mengajukan pertanyaan tersebut padaku sama- sama sedang melakukan daftar ulang di sebuah Perguruan Tinggi Negeri saat itu.
Itu sebab pada awalnya aku agak heran dengan pertanyaan tentang apakah uang kuliah sudah dibayar atau belum, sebab bukti pembayaran uang kuliah semester pertama merupakah salah satu dokumen yang harus dibawa saat daftar ulang tersebut.
Baru saat terdiam beberapa detik, kupahami mengapa ibu tersebut bertanya begitu padaku.
Akhirnya, kuanggukkan kepalaku.
" Iya, sudah, " jawabku.
Lalu, dengan suara lirih dan perlahan, aku bertanya pada ibu tersebut, " Ibu sedang minta keringanan ? "
Ibu- ibu itu mengangguk.
Iya, katanya. Dia sedang meminta keringanan biaya kuliah. Maka biaya kuliah semester awal itu belum dibayarnya dan sehari sebelum daftar ulang itu sang ibu dan anak mengurus surat keterangan di kampus, yang menunjukkan bahwa mereka sedang meminta peninjauan keringanan biaya kuliah sehingga pada hari daftar ulang dilakukan, biaya tersebut belum dibayar.
Aku mengangguk lagi. Memahami ceritanya.
Dan leherku terasa tercekat.
Cerita- cerita tentang bagaimana para orang tua yang anaknya diterima di perguruan tinggi tapi tak memiliki cukup dana untuk membayar uang kuliah anaknya selalu membuat leherku sakit dan mataku membasah.
Dan padahal aku tahu pasti, saat melepaskan anak untuk kuliah, apalagi jika kuliahnya di luar kota seperti yang terjadi pada anak ibu tersebut dan anakku, bukan hanya urusan biaya yang perlu dipikirkan, tapi juga... urusan- urusan hati...
" I prefer Bapak's style. "
Beberapa jam sebelum percakapan dengan salah satu orang tua mahasiswa yang kutemui di depan gedung tempat daftar ulang yang kuceritakan di atas, kalimat " I prefer Bapak's style " itu diucapkan oleh putriku, anak sulungku, sambil nyengir lebar.
Gara- garanya, dia melihat bahwa bersamaan dengan adiknya -- anak keduaku, bocah lanang yang tahun ini baru diterima di perguruan tinggi -- aku juga bersiap- siap untuk pergi ke tempat daftar ulang itu.
" Ibu ngantar adik ? " tanya anak sulungku.
Aku mengangguk, " Iya, " kataku.
" Diantar dan ditunggu sampai ke gedung ? " tanya si sulung sambil sebuah senyum lucu mulai muncul di mukanya.
" Iya, " jawabku lagi. " Kenapa ? "
Putriku tertawa dan melirik adik lelakinya.
Kupahami arti lirikannya.
Itu kode antar kakak beradik itu kalau mereka menganggap tindakanku agak 'diluar jalur. "
Aku berlagak pilon.
" Nah, ngapain kemarin ibu bela- belain datang ke sini, datang tengah malam, ambil cuti dadakan, kalau pagi ini nggak ngapa- ngapain? " jawabku.
Putriku tertawa lagi sebagai jawabannya.
" Lagipula, " jawabku setengah membela diri, " Mbak dulu juga diantar Bapak waktu daftar ulang kan ? "
Tiga tahun yang lalu, putri sulungku diterima di perguruan tinggi yang sama dimana adik lelakinya itu juga diterima. Dan saat itu, suamiku mengantarnya ke kota dimana perguruan tinggi itu berada. Mereka berangkat sehari sebelum Hari-H, lengkap dengan koper berisi baju- baju dan buku- buku yang akan dibutuhkan si sulung.
Sementara hari itu sekitar dua minggu yang lalu, sebetulnya aku justru berada di kota tersebut tanpa rencana. Rencana awal sebenarnya anak tengahku, anak kedua itu, akan berangkat daftar ulang sendiri saja. Dokumen sudah lengkap, uang kuliah sudah dibayar, dia juga sudah ada di kota tersebut sehari sebelumnya.
Di atas kertas, semua aman.
Hanya saja, ternyata dia lalu sakit sore di hari menjelang daftar ulang tersebut. Maka, pulang kantor aku berangkat ke kota dimana dia berada untuk menengoknya dan memastikan bahwa keesokan harinya dia bisa melakukan daftar ulang seperti yang disyaratkan. Sebab, gagal daftar ulang pagi itu, konsekwensinya adalah kelulusannya dalam seleksi masuk perguruan tinggi bisa digugurkan. Dan itu tentu saja bukan hal yang diinginkan.
Kembali pada putri sulungku, dia mengangguk mendengar pernyataanku bahwa dia sendiri tiga tahun yang lalu juga diantar ayahnya saat daftar ulang.
" Tapi bedanya, Bu, " kata si sulung, " Bapak cuma antar, aku didrop di tempat dan aku urus sendiri. Bapak nggak nungguin terus di depan gedung kayak ibu ini. "
Aku senyum- senyum saja.
Kuterima kritik jahil putriku itu. Kupahami apa yang sedang dikatakannya sebab dalam hati, aku juga sedang mentertawakan diri sendiri.
Ini inkonsistensi pola asuh, sebenarnya.
Anak- anak itu sejak kecil kuajari untuk mandiri. Untuk bertanggung jawab terhadap urusan mereka, terutama urusan sekolah.
Pada hari pertama mereka masuk SD, kuajarkan pada mereka bagaimana cara membaca jadwal pelajaran. Satu minggu pertama, aku yang memasukkan buku- buku dan perlengkapan sekolah mereka berdasarkan jadwal pelajaran, mereka kuminta melihat caranya. Satu minggu berikutnya, kuminta anak- anakku membereskan bukunya sendiri, di bawah pengawasanku. Pada minggu ketiga, sudah kulepas mereka membereskan buku- buku dan perlengkapan sekolah, termasuk segala tanggung jawab dan konsekwensi yang melekat di dalamnya.
Artinya, jika ada PR, mereka sudah harus mengerjakannya, dan memastikan bahwa setelah itu buku PR masuk dibawa di dalam tas. Begitu juga jika ada tugas atau perlengkapan lain. Jika ada yang ketinggalan, maka mereka harus menanggung konsekwensinya sendiri, apakah ditegur gurunya atau dikurangi nilainya.
Termasuk, kupesankan pada para asisten rumah tangga bahwa mereka tidak diijinkan membantu untuk membawakan atau mengurus tas sekolah anak- anak. Anak- anak harus membawa tasnya sendiri. Memasukkan dan mengeluarkan buku dan kotak- kotak bekal makanan dan minuman mereka sendiri. Kukatakan pada para asisten rumah tangga kami, aku tidak akan berterima kasih jika mereka membantu anak- anak urusan yang satu itu, sebab kuharapkan anak- anak melakukannya sendiri.
Agak 'sadis', tapi itu salah satu caraku untuk mendidik anak- anak untuk mandiri dan bertanggung jawab.
Maka memang, menjadi ajaib bahwa anak- anak yang dengan kesadaran penuh kudidik untuk mandiri bahkan sejak usia dini, malah setelah lulus SMA kuantar dan kutunggui di depan gedung saat daftar ulang di perguruan tinggi.
Putriku nyengir lebar, belum hendak menyudahi percakapan.
" I prefer Bapak's style, " begitu katanya akhirnya. Menyimpulkan bahwa menurut dia, sikap ayahnya lebih tepat. Menunjukkan perhatian dengan mengantar, tapi tidak berlebihan seperti aku, yang berniat mengantar dan menunggu di tempat daftar ulang.
Aku senyum- senyum saja.
Ah, Nduk, pikirku, kau tidak mengerti, bahwa jika aku mengantar adiknya daftar ulang sampai ke gedung, itu bukan masalah bahwa aku menganggap bahwa sang adik tak mampu melakukannya sendiri. Itu urusan rasa. Urusan hati yang antara bangga, dan... setengah tidak rela untuk melepaskan anak keluar rumah...
" Wah... beneran, bu ? "
Kedua anakku tertawa terbahak- bahak. Aku juga tertawa geli. Begitu juga dengan ibuku, neneknya anak- anak. Dua anakku, yang sulung dan anak tengahku -- anak kedua, Â kuliah di kota dimana ibuku tinggal. Mereka kini tinggal di rumah nenek. Maka, ibuku ada saat percakapan ini terjadi.
" Iyaaa... benerannn... " aku terbahak lagi.
Percakapan ini terjadi seusai aku mengantarkan anakku daftar ulang. Kuceritakan pada mereka apa yang kualami pagi itu.
Yang pertama, kuceritakan tentang ibu- ibu yang menanyakan tentang apakah aku sudah membayar uang kuliah anakku, dalam versi lengkapnya. Percakapan pagi itu dengan ibu tersebut bukan semata tentang uang kuliah, tapi tentang beberapa hal lain. Percapakan agak panjang yang sukses membuat aku dengan susah payah menjawab dengan suara tersendat dan menahan agar air mata tak mengalir turun tanpa kendali.
Mengharukan... mengharukan. Itu cerita tentang bagaimana orang tua berjuang untuk membesarkan anak- anaknya dan sebatas kemampuan yang dimilikinya mengharapkan yang terbaik bagi sang anak.
Jadi, pagi itu ketika tiba di gedung tempat daftar ulang, seorang petugas keamanan menunjukkan jalan masuk gedung pada anakku.
Aku sudah menduga, tapi tetap saja tak bisa menahan diri untuk bertanya sambil tersenyum lebar, " Ibunya nggak boleh ikut masuk, pak ? "
Petugas keamanan tersebut juga tersenyum dan menjawab, " Nggak boleh bu, " dan lalu dengan ramah menunjuk ke satu arah, " Nanti anaknya keluar lewat pintu disana bu, ibu bisa tunggu disana. "
Aku mengangguk dan lalu berjalan menuju ke arah yang ditunjukkannya.
Saat berjalan itulah kudengar seseorang berteriak memanggil namaku " D... D... "
Dari nada suara dan caranya memanggil, sudah kuduga, itu pasti kawan lama.
Dan ah... benarlah begitu. Itu kawan lamaku. Kukenal sejak masa kami baru saja lulus kuliah dan bekerja. Masa- masa lajang dimana kebandelan- kebandelan, kelucuan dan kejahilan gaya remaja masih tersisa di masa awal dewasa kami saat itu.
Dan khusus tentang teman lelakiku yang satu ini, bandelnya agak di atas rata- rata. Ha ha ha. Dia lucu, iseng, jahil. Cerdas luar biasa, tapi 'kelakuannya nggak umum'. Ada saja tingkah dan ide ajaib yang muncul dari kepalanya dan sering dilakukannya dulu itu.
Kami saling bersalaman, tertawa lebar, senang bertemu setelah agak lama tak saling berjumpa.
Saat itulah kulihat dia membawa sekotak besar tissue.
" Mau kemana ? " tanyaku.
" Ini... " katanya menunjuk kotak tissue di tangannya, " Mau aku kasih anakku. Dia tadi pilek dan meler berat. "
Aku menatap kotak tissue di tangannya.
" Baru aku ambil dari mobil, " katanya.
" Tapi anakmu pasti sudah masuk ke dalam, kan, " kataku, " Dan orang tua tidak boleh ikut masuk... "
Dia tampak tercengang. " Oh, nggak boleh masuk ? " katanya.
Aku menahan tawa. Asli, aku geli sekali. Kukenal dengan sangat baik lelaki yang kini sudah menjadi Bapak itu. Bertahun- tahun kami bergaul dan bermain bersama. Tak pernah terbayangkan olehku dulu, dengan segala kebandelan dan 'kegilaan' tingkah lakunya, pada suatu hari akan kutemukan dia sibuk dengan sekotak tissue untuk diberikan pada anaknya ( yang juga lelaki ) saat daftar ulang di perguruan tinggi.
Ha ha ha.
Dan bahkan setelah kukatakan bahwa dia tak akan bisa masuk gedung, temanku itu tak menyerah. " Nggak apa- apa deh, aku lihat dulu kesana, " katanya.
Aku mengangguk dan melambaikan tangan padanya.
Kisah itulah yang kemudian kuceritakan pada anak- anak dan ibuku yang membuat mereka terbahak- bahak. Terutama saat kukatakan bahwa sekitar seperempat jam setelah itu, kulihat dari kejauhan temanku itu dan istrinya berjalan menuju pintu dimana anak- anak mahasiswa baru yang sedang daftar ulang itu akan keluar, tetap dengan sekotak besar tissue yang jelas tak berhasil diberikan pada anaknya tadi. Ha ha ha.
p.s.
Ini cerita ringan yang ditulis sebagai catatan untuk memaafkan diri sendiri atas sikap ajaib, berlebihan dan inkonsistensi pola asuh... ha ha ha... Oh, orang tua ( yang suka sok disiplin pada anak- anak demi mendidiknya ) kan juga manusia, punya hati, punya rasa ya? Ha ha ha...
( Dan.. aku teringat pada almarhum ayahku yang dulu saat aku remaja, jika aku protes saat ayahku menguatirkan aku untuk sesuatu yang menurutku " orang nggak apa- apa koq ", kalimat yang dikatakannya untuk menjawab protesku adalah, " Nanti, D, yang seperti ini baru akan dimengerti kalau D sendiri sudah punya anak... ". Ah, Bapak... ternyata Bapak betul, ya. Aku paham sepenuhnya kini tentang semua rasa itu... )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H