Anak tengahku baru naik kelas 2 ketika kakaknya naik kelas 5 dan mulai masuk kelas akselerasi. Ketika itulah dia mengatakan pada kami bahwa dia kelak juga ingin masuk akselerasi.
Aduh, kami jadi bingung.
Anak tengah kami itu mogok di play group, membuat keriuhan di TK sebab bersikeras mengatakan cita- citanya adalah menjadi tukang parkir ketika hendak direkam dalam video untuk acara perpisahan kelas, dan.. mogok lagi di semester dua kelas 1 SD.
Hanya karena guru kelas 1 SD-nya sangat terbuka dan memahami sajalah dia terselamatkan. Ibu guru itu mengijinkan anakku bersekolah dengan flexi time. Menentukan sendiri jam masuk dan jam pulangnya, asal dia bisa menyelesaikan tugas- tugas sekolah sejumlah yang sama dengan teman- temannya.
Anakku beruntung. Di kelas dua dia diajar oleh guru lain yang juga cerdas berwawasan luas. Guru yang di akhir masa kelas memperjuangkan perkecualian bagi dua murid di kelasnya untuk mengikuti seleksi kelas akselerasi.
***
Saat anak kami mengatakan dia ingin juga masuk kelas akselerasi, tak kami patahkan keinginannya itu, walau kami sudah menyadari bahkan untuk bisa ikut seleksipun akan kecil kemungkinannya terjadi.
Nilai- nilainya raport anak kami sebetulnya bagus. Tapi kompetisi di sekolah itu memang ketat sekali. Selisih nilai raport antara anak yang satu dengan yang lain kadangkala hanya nol koma sekian. Dan jika urusannya peringkat, maka nol koma sekian menjadi berarti.
Kami sendiri tak pernah memusingkan itu. Kami bukan model orang tua yang biasa sibuk membandingkan raport anaknya dengan anak- anak lain atau sibuk memastikan anaknya masuk ranking atas di kelas. Fokus kami jangka panjang. Tentu saja kami perhatikan kemajuan akademik anak- anak tapi disamping itu kami juga menganggap penting pengembangan karakter dan pendidikan akan nilai- nilai hidup.
Menyadari kondisi anak kami, kami siapkan mentalnya. Kami katakan bahwa seleksi untuk masuk kelas akselerasi akan diadakan di akhir tahun ajaran. Hanya ada enam anak di kelas yang boleh ikut seleksi. Jika dia ingin bisa ikut seleksi itu, dia harus bekerja keras selama setahun itu. Tidak boleh mogok sama sekali, dan harus rajin belajar.
Di sisi lain, kami besarkan hatinya dengan mengatakan bahwa jikapun setelah belajar nanti dia ternyata tidak bisa ikut seleksi, itu tak menjadi masalah. Yang penting, usaha dulu, begitu kami katakan padanya.