Kawan- kawan mengolok- oloknya, bahkan kadangkala melemparinya dengan batu. Guru- guru tak pula membantu. Mereka sepakat bahwa anak tersebut memang 'gila'.
Orang tua sang anaklah yang kemudian demi kesehatan jiwa anaknya mengajak dia ke sanggar lukis dan membiarkannya melepaskan seluruh emosinya di atas kanvas.
Prihatin. Prihatin.
Aku mengerti dengan baik perasaan anak tersebut. Juga bisa kuraba perasaan orang tuanya,sebab...
Aku adalah ibu dari tiga orang anak unik yang kurang lebih pernah menyaksikan bagaimana anak- anak itu tidak dipahami oleh dunia.
Bagaimana kecerdasan mereka seringkali membuat mereka tak dipahami sekitar, dan bagaimana alih- alih membantu mereka menyesuaikan diri, bahkan para guru di sekolahpun lebih suka memberikan label negatif.
Bukannya memberikan kesempatan, ternyata banyak guru dan sekolah yang lebih suka merendahkan murid, menganggap mereka bermasalah ketika sebaliknya mereka justru memiliki potensi yang sangat tinggi.
Dan begitulah, sudah lama, sejak aku memahami bahwa anak- anakku adalah satu, eh... tiga, diantara sekian banyak anak unik dan menghadapi fakta bahwa masih sedikit orang yang dapat memahami mereka, kuputuskan bahwa aku harus menjadi benteng kekuatan mereka.
Harus bisa menunjukkan keringanan hati, keceriaan, kegembiraan, optimisme, dan beragam hal lain semacam itu untuk dapat membantu mereka menghadapi dunia.
Untuk bisa mengajarkan pada mereka falsafah " I'm OK, you're OK ".
Untuk dapat membantu mereka tumbuh sehat dan bahagia serta memahami bahwa tak ada yang salah untuk menjadi unik.