Begitu KRL 'Commuter Line' yang kutumpangi berhenti di Stasiun Depok Lama, aura ketidakberesan dan ketegangan dengan segera menyergap.
Stasiun jauh lebih penuh dari biasanya.
Para calon penumpang yang ada di peron menanti kereta tampak gelisah.
Di sebuah jalur, tampak KRL Ekonomi padat penumpang yang siap diberangkatkan, tapi tak juga berangkat. Ada beberapa penumpang naik ke atap. Tidak banyak, tapi ada. Dan ada petugas yang sikapnya kasar serta berlebihan.
Petugas itu melepaskan tembakan dan menyeret satu penumpang.
Keresahan jelas terasa.
KRL Ekonomi itu mulai bergerak sedikit. Dan seakan tak rela jika potensi kerusuhan itu dicegah oleh laju kereta, saat KRL Ekonomi itu mulai bergerak perlahan, terdengar tembakan lagi. KRL dengan serta merta berhenti, dan apa yang terjadi sudah lebih dari apa yang dapat ditanggungkan oleh banyak penumpang yang pada dasarnya sudah resah dan gelisah.
Penumpang KRL Ekonomi meloncat turun dari kereta, marah dan mengamuk.
Saat itu, di jalur lain ada KRL ‘Commuter Line’ baru masuk Depok Lama. Penumpang yang baru tiba dan tak menduga akan menghadapi situasi seperti itu tentu saja juga menjadi sangat panik ketika mendengar tembakan dan terjebak dalam kerusuhan.
Sebagian penumpang KRL Ekonomi yg mengamuk sempat masuk ke KRL 'Commuter Line' ini untuk menghalau para penumpang keluar kereta yang (seharusnya) ber-AC ini (walau faktanya seringkali AC tak berfungsi ).
Aku sungguh khawatir. Kerusuhan yang dipicu oleh kemarahan para penumpang KRL Ekonomi pada PT. KAI mulai berubah menjadi kecemburuan pada (sesama) penumpang yang mampu membayar lebih dari karcis KRL Ekonomi.