Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humor

Dimanakah Rumah Impian yang Indah Itu Berada ?

15 Februari 2013   16:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:15 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentang rumah. Dan mimpi- mimpi...

AKU ini pada dasarnya memang pengkhayal. Dengan tingkat keliaran yang bisa jadi merepotkan jika khayalan itu coba diwujudkan.

Salah satunya adalah tentang keinginan tinggal di tempat terpencil yang indah. Tempat tinggi yang diapit dua buah gunung.

Suatu saat, ketika tabungan terkumpul, kukatakan pada suamiku bahwa aku ingin membeli sebidang tanah disana.

Suamiku tertawa. “ Trus mau ngapain di tempat itu? “ katanya.

“ Ya tinggal disana. Nantiiiii , “ jawabku.

Kubayangkan bahwa kami akan tinggal di sebuah rumah kayu dimana halamannya yang luas akan kutanami bunga berwarna- warni.

Suamiku, untunglah, telah bertahun- tahun terlatih untuk mendengarkan beragam ideku yang muncul tiba- tiba. Dan seaneh apapun ide itu, dia biasanya menanggapi dengan ketenangan yang luar biasa.

Kali ini, dia mengatakan bahwa walau ‘nantiiii’ – artinya, masih lama – namun sebab lokasinya begitu terpencil kemungkinan besar infrastruktur di tempat tersebut tetap tak akan berkembang sehingga tidak dapat menunjang aktivitas yang biasa kami jalani.

Kendati sabar dan tenang, suamiku memang bukan orang yang suka bermalas- malasan. Baginya, orang hidup harus produktif dan ada yang dikerjakan. Tempat semacam itu tak sesuai untuk tempat tinggal baginya.

Oh, baiklah. Tentu saja aku tak mau tinggal di tempat dimana suamiku tak ingin tinggal, seindah apapun tempat itu.

Jadi, kupindahkan mimpiku ke tempat lain.

Ke tempat yang juga ketinggian tetapi masih masuk akal bagi suamiku, dan memenuhi mimpi- mimpiku.

Kami membeli sebidang tanah disana. Tempat itu indah. Gunung tinggi menjulang tampak jelas dari situ.

Ada pula sungai berair bening mengalir di belakangnya...

***


[caption id="attachment_236677" align="aligncenter" width="286" caption="Gambar: www.norrismountain.com"][/caption]

Tempat tersebut, letaknya lebih dari 500 Kilometer dari rumah yang kami tinggali saat ini.

Karenanya, kami tak terlalu sering bisa mengunjungi. Walau begitu, mimpiku tak pernah padam.

Kami mulai menanami tempat itu dengan beragam pepohonan. Bungur. Jacaranda. Nagasari. Beragam pohon buah. Tak lupa juga, pohon willow yang kutanam di sisi belakang di dekat sungai.

Aku mulai bermimpi tentang kincir air. Aliran air sungai kecil itu cukup kuat untuk memutar kincir.

Senang sekali rasanya.

Kubayangkan beragam teratai warna- warni yang akan kutanam di sekitar situ. Kelak, saat mimpi membangun rumah kayu itu tercapai

***

Anak- anakku dengan segera mengamati bahwa kami berulang kali mampir ke tempat yang sama dan langsung dapat menebak siapa pemilik ide yang melibatkan jarak lebih dari 500 Kilometer dari rumah tersebut.

“ Ibu nanti mau bikin rumah di situ? “ tanya anakku dengan heran.

“ Iya, “ jawabku senang. “ Asyik kan? “

Mereka menatapku dengan tatap mata yang sama sekali tak berbunyi "asyik".

“ Terus ibu mau tinggal di situ? “

“ Kenapa nggak? “ jawabku. “ Nanti,masih lamaaaa...” kulanjutkan kalimatku melihat pandangan skeptis mereka.

Anakku mengangguk, “Nanti aku berkunjung deh ke rumah Ibu.”

Eh, berkunjung? Koq... berkunjung?

“ Ya berkunjung, Ibu. Aku kan nggak mau tinggal di situ, “ anak tengahku berkata, “ Jadi nanti sekali- sekali aja aku datang. “

“ Aku juga nggak mau, “ kakaknya menyahut segera. Si bungsu mengangguk.

Waduh.

Ha ha ha.

Tentu saja, bagi anak- anakku, kota tersebut adalah sebuah tempat asing. Sekolah, kawan- kawan, saudara dan kerabat tak ada di sana. Tempat dimana mereka sehari- hari beredar dan bergaul juga bukan disana.

Tapi tak apa. Sebab aku toh tak berniat tinggal disana dalam waktu dekat. Itu nanti. Nantiiiii. Entah kapan.

Dan gurauan di rumah kami bertambah semacam lagi.

Yakni kelakar tentang ‘rumah ibu’, begitu anak- anakku menyebut khayalanku tentang rumah yang ingin kubangun beratus kilometer jaraknya dari rumah kami sekarang itu...

***

Suatu hari, ketika kami sekeluarga sedang menonton televisi, ada iklan muncul di layar.

Rupanya iklan untuk meramal nasib.

‘Ketik REG spasi xxxx kirim ke xxxx ‘ begitu bunyi iklan tersebut. Disusul dengan teks nama sang peramal beserta alamat dan nomor teleponnya.

Anakku tertawa geli.

‘ Coba lihat deh alamatnya, “ katanya.

Kami yang lain segera membaca tulisan dilayar televisi. Suara tawa kecil mulai bermunculan.

“ Itu tetangga ibu, ya, hi hi hi ... “ anakku yang lain berkata.

Alamat yang tertulis di layar TV itu memang menunjukkan lokasi yang tak jauh dari lahan yang kuniatkan untuk mendirikan rumah kayu itu.

"  Lihat deh, ibu itu, tetangganya aja aneh- aneh, " anakku cekikikan.

“ Enak aja, tetangga ibu, “ protesku, “ Tetangga kita. Kalau rumah itu nanti jadi ada, rumah itu rumah kita. “

“ Bukan, ibu, “ anakku bersikeras, “ Itu rumah ibu. Bukan rumah aku, Aku nggak mau tinggal disana... “

Saudara- saudaranya mengamini dengan mengatakan “ Aku juga nggak mau... aku juga nggak mau... “

Ih, menggemaskan betul anak- anak kecil ini.

Aku menjawab dengan manis, “ Ya sudah, kalau pada nggak mau tinggal disana, nanti Ibu tinggal berdua dengan Bapak saja deh di rumah itu... “

Wah. Perebutan kekuasaan dimulai.

Anak- anakku sangat mencintai ayahnya. Dan pemikiran bahwa sang ayah akan dengan semena- mena diajak tinggal oleh ibu – yang suka punya ide aneh- aneh -- di tempat yang tak mereka sukai dengan serta merta membuat mereka galau.

Ayah mereka -- suamiku -- juga ada bersama kami saat itu di ruang yang sama.

Dia tersenyum- senyum melihat perdebatan kami. Senyumnya makin lebar ketika salah seorang anakku dengan nada khawatir bertanya padanya, “ Bapak, memangnya Bapak mau ya, tinggal di sana nanti? “

Suamiku tertawa lebar. Dia sengaja menghindari pandanganku ketika menjawab pertanyaan anaknya, “ Mmm... Bapak... di sini aja deh. Dirumah kita yang ini aja. “

Anak- anakku tertawa lega sambil serentak menoleh padaku, sementara ayah mereka tetap senyum- senyum tanpa mau menatapku.

Aduh, aku ‘geram' betul melihat konspirasi Bapak dan anak itu.

Tapi, apa yang bisa kulakukan?

Bagiku, merekalah cahaya dan jiwa rumah kami. Tak ada tempat seindah apapun, tak ada rumah senyaman apapun yang akan terasa indah, nyaman dan hangat tanpa mereka. Rumah, bagiku, adalah tempat dimana orang- orang tercinta itu berada...

Jadiiii...

Di bawah tatapan kemenangan mereka semua, aku terpaksa menyerah.

“ Ya sudahlah, “ kataku, “ Kalau semua maunya tinggal di sini, Ibu tinggal di sini juga sajalah. Nggak jadi bikin rumah disana. “

Apa boleh buat, kan? Ha ha ha...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun