[caption id="attachment_259943" align="aligncenter" width="470" caption="Gambar: moviebetter.com"][/caption]
Aku terbahak...
KEMARIN siang saat aku berada di kantor, kuterima sebuah pesan di telepon genggam. Dari anak sulungku.
Sulungku, mahasiswi fakultas teknik, tinggal di luar kota sekarang. Kota dimana kebetulan rumah orang tuaku juga berada. Maka, dia tinggal disana.
Kubuka pesannya, yang mau tak mau membuatku tertawa.
Ini bunyinya:
Ibu, I'm at (disebutkannya nama sebuah pusat pertokoan) with yangti and guess what colour of clothes she's longing for? YELLOW. And you only have no other than white, black and brown.
Hah?!
Ha ha ha ha ha.
Emang pengen dijitak ni anak, pikirku. Siang- siang mengirimkan pesan yang ternyata isinya semata ledekan. Ha ha ha.
Tapi begitulah.
Kumaknai itu sebagai bahasa cinta. Pernyataan bahwa walau kami sangat berbeda gaya, tapi kami menerima satu sama lain apa adanya.
Tiga generasi perempuan. Ibuku, aku dan anakku.
Gaya dan tingkah laku kami berbeda. Itu jelas tampak.
Walau ibuku yang cantik itu selalu mengatakan bahwa aku mirip dia (dan aku tak pernah percaya, ha ha ha, sebab aku tahu, aku ini tidak cantik ), sementara anak perempuanku, si sulung itu, selalu tertawa tak mau menerima jika ada yang mengatakan bahwa dia mirip sekali aku saat aku seusianya (seorang kawan yang melihat foto putriku di profile Blackberry-ku sempat berkomentar bagaimana aku bisa memiliki foto lama dengan warna- warna sangat jelas dan masih tampak seperti baru, katanya. Ha ha. Kawanku salah, itu foto anakku, bukan fotoku ). Anakku bilang, dia jelas tak mirip aku, sebab dia cantik (dan aku tidak, ha ha ha ).
Kata anakku, aku harus menerima fakta bahwa gen cantik itu resesif, jadi memang tidak semua orang dalam satu keturunan menampakkan kecantikan itu. Dan konon, masih menurut anak gadisku itu, gen resesif itu ada pada ibuku, yang dia sebut yangti, dan... pada dia, namun...
"Ibu kelewat, " katanya suatu hari, " Gen resesifnya nggak muncul."
Statement yang membuat suamiku, ayahnya, yang mendengar percakapan kami terbahak, dan kutanggapi dengan menjulurkan lidah. Ha ha ha.
( Memangnya siapa yang perlu memusingkan lagi apakah aku ini cantik atau tidak saat aku bahagia dan memiliki suami sebaik, sehangat dan sepengertian suamiku, yang kutahu bahkan tak semua orang cantik mendapatkannya? He he he )
***
Ah, ada banyak rasa yang seringkali sulit untuk disampaikan dengan kata- kata.
Pesan yang masuk ke telepon genggamku itu sudah sangat menunjukkan bahwa selera kami berbeda.
Ibuku itu apik, fashionable. Anakku, walau gayanya tetap sederhana tapi dia pandai memadukan baju dan selalu tampak enak dilihat.
Aku?
Ha ha ha.
Well..ledekan anakku padaku sudah menunjukkan seperti apa gayaku, bukan? Ha ha.
Anakku kini tinggal di rumah ibuku dan dia menemukan 'teman sejiwa' dalam hal- hal semacam itu. Dia jalan- jalan dengan neneknya dan dengan senang hati melihat sang nenek memilih baju, selendang, kerudung, selop yang matching.
Aku sih senang- senang saja. Jika kedua orang yang amat kucintai itu bisa mengisi hari- hari bersama dengan gembira, tentu aku juga gembira. Lagipula, kupikir- pikir... ibuku mungkin juga senang melihat gadis remaja semacam putriku itu.
Walau dulu, saat aku seusia putri sulungku, ibuku yang selalu tampil apik dan elegan itu juga kelihatannya tidak keberatan melihat aku sore- sore pulang ke rumah dengan kulit terbakar matahari, baju terciprat lumpur lalu sambil tertawa- tawa menunjukkan betis yang biru memar dan buku jari yang berdarah- darah hasil terjatuh dan tergores di lapangan olah raga padanya.
Aku tahu, ibu selalu bangga dan mencintaiku sepenuh hati.
Seperti aku juga mencintai ibuku sepenuh jiwa dan dalam setiap helaan nafasku mengalir rasa cinta bagi anak sulung kebanggaanku itu.
Kutahu, anakku juga mencintai aku. Walau dia sering tertawa lebar dan menggeleng- gelengkan kepala melihat aku yang menurut dia tingkahnya "enggak banget" serta juga selalu mengatakan bahwa dia lebih mirip yangti-nya yang cantik daripada mirip ibunya yang ajaib.
Ha ha ha.
Ah, format kata cinta memang tidak baku, bukan?
Aku tahu, cinta itu selalu ada dalam hati kami. Mengalir tanpa batas dan tanpa syarat.
Walau kami berbeda gaya, walau aku... hah... beneran deh, nanti awas saja kalau dia pas pulang ke rumah atau aku menengoknya, akan kujitak dan kutuntut putriku untuk mempertanggung jawabkan SMS berisi ledekan yang dikirimkannya padaku itu !
( Anak siapa sih itu, masa' kirim SMS pada ibunya dengan bunyi semacam itu? Nggak ada kalimat yang lebih santun dan manis apa? Hahahaha )
p.s. Ditulis dengan penuh cinta untuk dua perempuan cantik: ibu dan anakku...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H