Namun itu hanya bisa terjadi jika hal tersebut adalah kegiatan terbuka yang setiap orang bisa mendaftarkan diri. Sementara, keinginan anak tengahku untuk masuk ke kelas akselerasi akan terhalang oleh birokrasi sekolah yang hanya mengijinkan anak- anak dari ranking 1 hingga 6 di kelas untuk mengikuti seleksi masuk kelas akselerasi.
Bagi anak sulung kami, itu tak masalah. Tiap semester, setiap kali mengambil raport, kami pulang membawa raport dan selembar piagam sebab dia selalu menjadi salah satu anak paling cemerlang di kelas. Tapi anak tengah kami itu, yang bahkan di rumah kami merupakan penggagas kampanye dengan tag line "sekolah itu tidak asyik", tentu saja tidak pernah kebagian piagam semacam itu.
Dia bukan tidak pandai. Nilainyapun cukup baik. Tapi, tak pernah masuk ke deretan anak dengan nilai tertinggi di kelas. Kami menerima fakta itu dengan baik kecuali ketika anak kami mengatakan keinginan masuk kelas akselerasi yang kami tahu akan terhalang birokrasi tentang enam besar itu.
Kami sendiri tak setuju pembatasan enam anak yang nilai raportnya tertinggi di kelas saja yang diseleksi masuk kelas akselerasi. Sebab anak- anak cerdas dan berbakat tak selalu menjadi juara kelas. Apalagi di kelas- kelas rendah, mereka acapkali kalah dengan anak- anak rajin dan/atau yang diminta orang tuanya belajar 9x36 jam per minggu.
9x36 jam, bukan lagi 7x24 jam, saking berlebihannya. Ha ha ha.
Dan kami jelas bukan orang tua semacam itu.
Kami berpikir keras agar tak mematahkan keinginan anak tengah kami itu, biarpun kami tahu bahwa birokrasi sekolah tak akan semudah itu ditembus.
Sekolah- sekolah yang memiliki program kelas akselerasi, faktanya, ada juga yang dipimpin atau dijalankan oleh orang yang justru tidak termasuk dalam kelompok cerdas istimewa atau bakat istimewa. Karenanya, mereka justru tak paham karateristik anak- anak semacam ini. Adakalanya bahkan tak pula tepat cara menanganinya.
Maka kami harus bisa menjadi jaring pengaman agar anak kami tidak retak, tetap memiliki semangat namun siap jika keinginannya tak tercapai.
Kami harus berupaya membangun mental juara, yang kami percayai, lebih penting untuk dimiliki anak- anak daripada sekedar menjadi juara.
Jadi juara, bisa diperoleh dengan banyak cara, termasuk cara curang sekalipun. Mental juara harus dibangun perlahan dalam jangka panjang, serta merupakan hal yang lebih mendasar yang hampir tak mungkin palsu...