Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Uniknya Anak-anak: Anak Cerdas, Lomba dan Mental Juara

6 Juni 2013   13:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:27 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami pernah ada dalam dilema..

AKU dan suamiku, suatu hari harus berpikir panjang, memutar otak, menggunakan hati dan menyiapkan mental karena satu kalimat yang diucapkan anak tengah kami.

" Aku nanti juga mau masuk kelas akselerasi, " katanya suatu ketika.

Tercenganglah kami.

Satu hal yang telah disepakati dengan suara bulat olehku dan suami dimentahkan dengan serta merta oleh satu kalimat yang dikeluarkan seorang anak lelaki yang baru naik ke kelas 2 SD.

Anak tengah kami.

Kalimat yang dia ucapkan saat melihat kakak perempuannya yang duduk di kelas 5 SD masuk ke kelas akselerasi dan di akhir tahun ajaran akan bergabung dengan murid kelas 6 untuk turut ujian.

Bisa diduga, bukan urusan belajarnya yang menarik anak tengahku itu, tapi sebab ada aura 'istimewa dan tidak biasa' yang seberapapun diredam, tetap terasa saat kakak dan teman- teman kakaknya belajar bersama. Frekwensi belajar yang ekstra. Semangat dan deg- degan yang bergantian hadir, dan.. beragam snack menarik yang kami para orang tua hadirkan saat anak- anak sedang belajar, membuatnya tiba pada kesimpulan bahwa dia juga ingin merasakan semua kesenangan itu.

Waduh.

Padahal kami sendiri tadinya malah sudah memutuskan untuk tidak memasukkan dia ke kelas akselerasi.

Tak pernah terpikir oleh kami bahwa dia akan menginginkan itu, dan membuat kami harus memikirkan ulang langkah kami.

***

[caption id="attachment_258358" align="aligncenter" width="312" caption="Gambar: parkrunfans.blogspot.com"][/caption]

Pada dasarnya kami bukan orang tua yang terlalu ambisius.

Kami tak sering mengambil inisiatif mendaftarkan anak ikut lomba Jika kami dengar informasinya, kami tanyakan pada anak kami apakah dia ingin mengikuti. Jika tidak, ya sudah.

Anak- anak kami, ternyata, juga bukan penggemar lomba. Anak sulung kami bahkan di kemudian hari menghindari kegiatan yang berkaitan dengan olimpiade.

" Ibu, " katanya suatu hari, " Nggak apa- apa kan kalau aku nggak mau ikut olimpiade? "

Oh, tentu saja tidak apa- apa.

Harapanku terhadap anak- anak sederhana saja. Aku ingin mereka bahagia sepanjang hidupnya. Itu saja.

Dan jika anakku tak ingin ikut olimpiade, tak masalah.

Sikap anak kami itu dia ambil setelah suatu waktu saat di kelas 4 SD dia diminta bergabung dengan murid kelas 5 untuk dilatih menghadapi olimpiade science. Dia masuk seleksi sampai hampir batas akhir, ketika semua anak kelas 4 dan banyak anak kelas 5 sudah gugur. Tak sampai akhir memang, hanya satu seleksi terakhir lagi yang harus dilakukan ketika langkahnya terhenti.

Dia tidak tampak menyesal, bahkan tak pernah mau lagi bergabung dengan pelatihan olimpiade yang manapun. Tampaknya pelatihan intensif dan tidak membebaskan dia kapan ingin belajar kapan ingin rileks tak cocok baginya yang sejak kecil kami ijinkan untuk mengatur waktu sendiri.

Nah, jika anakku tidak merasa bahagia dengan masuk regu olimpiade dan memilih untuk leyeh- leyeh di rumah menikmati beragam novel dan buku sastra, biar saja, kan?

Kami bukan orang tua yang memaksa anak jadi juara. Sepanjang mereka bahagia dan sejahtera, itu sudah cukup bagi kami.

Biarlah mereka menentukan sendiri. Itu hidup mereka. Merekalah yang lebih berhak menentukan, apa yang baik untuk diri mereka sendiri. Bukan kami.

Walau fisiknya masih kecil, anak- anak adalah manusia utuh yang memiliki hak sepenuhnya untuk berpendapat dan memilih jalan sendiri. Tentu sepanjang jalan itu sesuai dengan koridor dan nilai- nilai hidup yang kami ajarkan pada mereka, bukan tanpa batas sama sekali.

Tapi dibalik kesantaian macam itu, kami juga bersedia mendukung saat anak kami menginginkan sesuatu yang baik, demi kemajuannya.

Suamiku pernah suatu malam membuat sendiri pigura untuk kanvas yang diperlukan mendadak oleh anak sulung kami yang baru saja mendapat kabar terpilih mengikuti lomba pelajar teladan dan selain test akademik, akan ada kegiatan lain menyangkuti seni. Anakku memilih untuk melukis di atas kanvas dengan cat minyak.

Ayahnya yang baru saja tiba dari kantor, tanpa banyak bicara, menggunting kanvas yang memang tersedia di rumah, mencari bilah- bilah kayu dan membuatkan frame agar kanvas tersebut bisa dibawa si sulung ke sekolah keesokan paginya.

***

Kendati tak terlalu ambisius, di pihak lain, kami pantang merendahkan anak.

Bahkan jika tampaknya mereka tak akan memenangkan kompetisi atau tak bisa mencapai keinginannya, kami ijinkan mereka mencoba.

Tak ada yang tak mungkin. Tak pernah ada yang percuma. Semua akan ada pelajaran yang bisa diambil.

Namun itu hanya bisa terjadi jika hal tersebut adalah kegiatan terbuka yang setiap orang bisa mendaftarkan diri. Sementara, keinginan anak tengahku untuk masuk ke kelas akselerasi akan terhalang oleh birokrasi sekolah yang hanya mengijinkan anak- anak dari ranking 1 hingga 6 di kelas untuk mengikuti seleksi masuk kelas akselerasi.

Bagi anak sulung kami, itu tak masalah. Tiap semester, setiap kali mengambil raport, kami pulang membawa raport dan selembar piagam sebab dia selalu menjadi salah satu anak paling cemerlang di kelas. Tapi anak tengah kami itu, yang bahkan di rumah kami merupakan penggagas kampanye dengan tag line "sekolah itu tidak asyik", tentu saja tidak pernah kebagian piagam semacam itu.

Dia bukan tidak pandai. Nilainyapun cukup baik. Tapi, tak pernah masuk ke deretan anak dengan nilai tertinggi di kelas. Kami menerima fakta itu dengan baik kecuali ketika anak kami mengatakan keinginan masuk kelas akselerasi yang kami tahu akan terhalang birokrasi tentang enam besar itu.

Kami sendiri tak setuju pembatasan enam anak yang nilai raportnya tertinggi di kelas saja yang diseleksi masuk kelas akselerasi. Sebab anak- anak cerdas dan berbakat tak selalu menjadi juara kelas. Apalagi di kelas- kelas rendah, mereka acapkali kalah dengan anak- anak rajin dan/atau yang diminta orang tuanya belajar 9x36 jam per minggu.

9x36 jam, bukan lagi 7x24 jam, saking berlebihannya. Ha ha ha.

Dan kami jelas bukan orang tua semacam itu.

Kami berpikir keras agar tak mematahkan keinginan anak tengah kami itu, biarpun kami tahu bahwa birokrasi sekolah tak akan semudah itu ditembus.

Sekolah- sekolah yang memiliki program kelas akselerasi, faktanya, ada juga yang dipimpin atau dijalankan oleh orang yang justru tidak termasuk dalam kelompok cerdas istimewa atau bakat istimewa. Karenanya, mereka justru tak paham karateristik anak- anak semacam ini. Adakalanya bahkan tak pula tepat cara menanganinya.

Maka kami harus bisa menjadi jaring pengaman agar anak kami tidak retak, tetap memiliki semangat namun siap jika keinginannya tak tercapai.

Kami harus berupaya membangun mental juara, yang kami percayai, lebih penting untuk dimiliki anak- anak daripada sekedar menjadi juara.

Jadi juara, bisa diperoleh dengan banyak cara, termasuk cara curang sekalipun. Mental juara harus dibangun perlahan dalam jangka panjang, serta merupakan hal yang lebih mendasar yang hampir tak mungkin palsu...

p.s.

bersambung lagiiiii.. sampai besok.. besok.. besoknya lagi dan besoknya lagi.. ha ha ha. kisah ini lebih panjang dari cerita 1001 malam...

** Artikel sebelumnya: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/06/06/uniknya-anak-anak-kelas-akselerasi--566166.html

** Artikel selanjutnya: http://hiburan.kompasiana.com/humor/2013/06/06/uniknya-anak-anak-aku-mau-jadi-tukang-parkir-566301.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun