Kepingan kisah perjalanan...
BEBERAPA tahun yang lalu, aku pernah melakukan perjalanan ke Aceh.
Dan, ke Aceh tanpa makan mie Aceh tentu kurang lengkap rasanya. Mie Aceh yang sangat terkenal itulah menu makan malamku pada hari pertama aku berada disana. Ternyata kemudian, aku berkesempatan menikmati mie yang dimasak dengan tungku arang ini dua kali selama berada di Aceh.
Kali pertama, aku mencoba mie Aceh rebus dengan kepiting. Kepiting yang ada di dalam menu itu adalah kepiting utuh, bukan daging kepiting dalam bentuk suwiran kecil. Untuk penggemar kepiting seperti aku, kerepotan memakan kepiting yang disajikan lengkap dengan cangkangnya seperti itu tentu merupakan kenikmatan tersendiri. Apalagi kepitingnyapun memang segar dengan daging yang terasa lembut dan manis di lidah.
Hari berikutnya, sore hari setelah selesai berkegiatan, aku berniat pergi mencari oleh- oleh ke toko yang menjual penganan khas Aceh seperti dendeng ikan, abon tuna, sale pisang rasa rujak, kopi Gayo serta kopi Aceh. Saat hendak berangkat kesana aku bergabung dengan rombongan lain yang juga hendak berjalan- jalan ke tempat yang sama. Dalam perjalanan menuju tempat oleh- oleh itulah mendadak salah seorang dari anggota rombongan mengusulkan untuk mampir makan mie Aceh terlebih dahulu.
Saat itu kami berlima, perempuan semua. Satu- satunya lelaki diantara kami adalah pak Rusli, supir yang mengemudikan mobil yang kami kendarai.
Hmmm aku sama sekali tak keberatan. Kuah mie yang kental dengan rasa bumbu yang lezat masih terkenang- kenang olehku, karenanya dengan senang hati aku menerima ajakan tersebut. Kali ini, mengingat waktu yang cukup sempit, aku memilih menu yang lebih mudah dimakan, yaitu mie Aceh udang.
Udang yang disajikan dalam mie yang aku makan sore itu juga segar, walau jika dibandingkan, aku lebih menyukai mie Aceh kepiting yang aku nikmati sehari sebelumnya. Pertama, karena kepitingnya yang segar itu. Yang kedua, tampaknya juru masak di rumah makan tersebut bekerja bergantian dalam shift yang berbeda. Juru masak yang memasak saat malam hari berbeda dengan yang memasak sore hari pada hari berikutnya, dan aku dengan segera dapat mengidentifikasi perbedaan rasa pada kuah mie tersebut saat kali kedua aku datang ke sana. Rasa bumbu serta rempah- rempahnya tidak sekaya dan se-generous rasa bumbu dan rempah- rempah di kuah yang aku makan pada kunjungan pertama.
Omong- omong, ada cerita lucu pada kesempatan kedua aku mengunjungi rumah makan mie Aceh itu. Saat hendak memesan minuman, aku melihat tulisan terpampang di dinding: juice pinang istimewa.
Tulisan ini tak terbaca olehku pada kunjungan pertamaku.
Ah, ini dia. Saat bepergian, aku selalu berusaha mencicipi menu khas daerah tersebut. Juice pinang ini tampaknya memang menu khas lokal dan aku ingin mencobanya. Apalagi kemudian salah seorang anggota rombongan mengatakan sesuatu yang membuat aku makin tertarik lagi mencicipi. Menurutnya, rasa pinang agak getir tetapi khasiatnya baik untuk kesehatan karena dapat berfungsi sebagai antibiotik alami. Jadilah aku memesan juice pinang tersebut.
[caption id="attachment_214671" align="aligncenter" width="340" caption="Pinang. Gambar: www.iptek.net.id"][/caption]
Saat aku melakukan pesanan tersebut, pak Rusli, supir setempat yang mengantarkan kami berkeliling Aceh tampak agak ragu-ragu. Pak Rusli menanyakan padaku apakah benar aku ingin mencicipi pinang, karena rasanya agak getir. Aku tertawa dan mengatakan tak masalah, rasa getir akan dapat diterima lidahku.
Tak lama setelah mendengar jawaban itu pak Rusli mengatakan, apakah aku betul kuat meminum juice pinang karena jika tidak kuat, juice pinang dapat membuat seseorang mabuk. Aku masih menjawabnya dengan tawa dan berkata sekenanya pada pak Rusli, kalau aku mabuk nanti, tolong antarkan aku kembali ke hotel saja.
Juice pinang itu datang juga akhirnya. Aku menerima gelas itu dengan gembira dan mencicipi rasanya. Pak Rusli menatapku dengan pandangan aneh dan menunggu komentarku.
Mmmm, seperti aku duga, lidahku menerima rasa getir yang memang masih terasa dalam juice itu dengan baik. Getirnya sebetulnya sangat sedikit, hampir tak terasa. Selain itu, ada rasa susu menyergap lidah. Juga masih ada sesuatu yang lain. Aku tak tahu apa itu dan tak sempat menanyakannya, ada butiran- butiran hitam kecil sebesar biji selasih, tapi jelas itu bukan selasih, mungkin jintan hitam entahlah, tapi di lidahku terasa pedas seperti merica, jadi mungkin juga itu merica hitam.
Dan rahasia itu terkuak juga.
Akhirnya aku tahu kenapa pak Rusli mencoba mencegahku untuk memesan juice pinang dan terus menerus menatapku dengan pandangan aneh saat aku menghirup juice tersebut. Pada hirupan kesekian, tampaknya pak Rusli tak lagi tahan untuk menyimpan rahasia tersebut dan dengan setengah tertawa pak Rusli mengatakan padaku bahwa juice pinang biasanya hanya diminum oleh laki- laki.
Haaaa??? Khusus laki- laki ?????
Waduh !!!!!
Aku dan keempat orang lain yang ada bersamaku yang kesemuanya perempuan, serentak tertawa. Tentu saja aku mengerti apa yang dimaksud pak Rusli. Untuk menegaskan, aku tanyakan pada pak Rusli, apakah juice pinang itu obat kuat untuk laki- laki, dan Pak Rusli mengangguk sambil tertawa.
Ha ha ha.
Lalu, bagaimana? Berhentikah aku meminum juice itu? He he, tidak. Juice itu enak rasanya di lidah. Dan aku yakin tak ada tambahan obat apapun dimasukkan ke dalamnya. Mungkin saja pak Rusli benar bahwa campuran pinang, susu dan butiran- butiran hitam yang agak pedas itu secara tradisional dikenal sebagai obat kuat lelaki, tapi karena itu semua bahan alami, aku tak khawatir akan efeknya.
Dan apakah seperti yang dikuatirkan pak Rusli aku mabuk setelah meminumnya? Haha, tidak juga. Aku segar bugar seperti biasa. Jadi, segelas juice pinang yang aku minum ketika itu tidak memabukkan sama sekali. Entahlah jika juice yang diminum itu berjumlah lima gelas, misalnya, he he he... he he he...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H