[caption id="attachment_213538" align="aligncenter" width="375" caption="Gambar: http://sumadietnik.blogspot.com"][/caption]
Ini cerita tentang penjual jamu langganan kami...
SEBUT saja namanya Bi Supi.
Beberapa tahun lalu untuk pertama kali Bi Supi muncul di lingkungan kami, mencoba menawarkan jamu untuk kesehatan. Perjuangan Bi Supi tidak mudah karena secara budaya kami tidak akrab dengan jamu. Dulu, belasan tahun lalu ada juga penjual jamu gendongan yang mencoba mencari pelanggan. Setelah beberapa waktu dia menghilang.
Selama bertahun-tahun kami tak lagi menjumpai penjual jamu hingga bi Supi ini muncul. Saat berjualan, dia lumayan proaktif. Dengan logat Jawa yang masih sangat kental dia mencoba berkomunikasi. Dia juga berusaha keras untuk berbicara sesuai dengan logat yang biasa kami ucapkan.
Selain mencoba berkomunikasi, dia juga mulai suka bergurau. Secara budaya, kami tergolong orang yang suka bergurau. Bahkan jika sudah akrab gurauan bisa menjadi ledekan dan olok-olok, yang terkadang bisa bikin kuping merah. Bi Supi yang awalnya terkesan pendiam belakangan mulai suka bergurau, walau dia rupanya masih merasa sungkan untuk meledek pelanggannya.
Pendekatan personal yang dia lakukan perlahan berbuahkan hasil. Para pelanggan merasa senang disapa dengan nama. Bi Supi tak hanya hafal nama pelanggan namun juga nama anak-anak pelanggannya. Belakangan, dia akhirnya hafal kebiasaan pelanggan.
Dia tau pelanggan mana yang harus didatangi pagi-pagi karena suka berangkat kerja pagi. Dia hafal pelanggan mana yaang suka pergi kerja siang (terutama PNS di instansi tertentu).
Di hari Minggu, dia tahu ada pelanggan tertentu yang tak bisa didatangi di atas pukul 08.30 pagi karena para pelanggan itu sedang bersiap-siap ke gereja. Namun dia juga tahu pelanggan mana yang bisa didatangi pukul 10 pagi karena pelanggan itu lebih suka ke gereja petang hari.
Sebagai penjual dia mengenal karakteristik pelanggannya. Dan itu yang membuat usahanya laris. Suatu ketika, Bi Si datang lebih lambat dari biasa. Ketika muncul, selain menggendong bakul jamu dia juga menenteng keranjang. Ternyata keranjang itu berisi pisang goreng.
Aku terlambat karena harus mengoreng pisang dulu, katanya. Aku sekarang mencoba melebarkan usaha, tambahnya sambil tertawa.
Dan pisang goreng yang dijualnya enak. Gurih, manis dan enak dikunyah. Saking enaknya sampai ada beberapa pelanggan yang justru lebih memilih membeli pisang gorengnya dibanding jamu.
Kejutan dari Bi Supi, yang berusia 30-an tahun itu tidak berhenti di pisang goreng.
Suatu pagi, dia muncul sambil mengendarai….sepeda motor!!!
Cape kalau menenteng keranjang kue sambil berjalan-jalan ke rumah pelanggan. Jadi aku kredit motor saja, kata Bi Supi.
Begitulah. Selang beberapa bulan terakhir, Bi Supi mendatangi pelanggannya dengan sepeda motor. Dua keranjang berisi pisang goreng dan tahu isi ditaruh di belakang. Bagian belakang sepeda motornya dimodifikasi sehingga bisa diisi keranjang. Sementara bakul jamu diletakkan di depan.
Bi Supi menawarkan cara baru dalam menjual jamu. Ketika pesaingnya masih tampil dengan teknik tradisional (menggendong jamu sambil tangan menenteng ember kecil), Bi Supi tampil dengan inovasi baru: Juga menjual pisang goreng dan mengendarai sepeda motor.
Dengan caranya yang unik Bi Supi mengajarkan satu hal. Dalam hidup, berjuang saja tidak cukup. Ketika persaingan semakin ketat, perjuangan harus dibarengi dengan inovasi. Dan improvisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H