Adasuatu masa ketika aku pernah (dan terpaksa) menjadi ‘penipu’.
INI kisahku ketika  menjadi penipu...
Penipuan di dunia nyata terjadi bertahun- tahun yang lalu, ketika aku KKN di sebuah desa terpencil.Desa itu terbagi atas dua dusun, yang dihuni masing-masing mayoritas Kristen dan Islam. Di desa itu kami, aku dan 11 teman (semuanya laki-laki) mendapat beberapa kejutan yang tak terlupakan.
Kejutan budaya pertama, desa itu ternyata tidak mengenal apa yang disebut sebagai WC. Selama puluhan tahun, jika hendak buang hajat mereka memilih memanfaatkan pemberian Sang Pencipta yang sekaligus merupakan WC terpanjang di dunia: tepi pantai. Satu-satunya WC berada di SD Inpres, yang sering kami gunakan. Untunglah tempatku menginap (untuk penginapan kami disebar ke rumah penduduk) relatif dekat dengan SD Inpres, jadi masih sempat jika ‘kepingin’. Teman lain yang penginapannya jauh, jika udah kebelet terpaksa meneladani perilaku masyarakat desa. Yakni menyusup di balik bakau mencari lokasi yang menyenangkan, sembari berdoa dalam hati semoga gak ada mahkluk laut yang ‘iseng’ dan kemudian menusuk atau menggigit….
Di desa itu hanya ada tiga sumur air tawar yang digunakan masyarakat untuk keperluan rumah tangga. Dan di sumur itu kami kembali menghadapi kejutan budaya, setelah menyadari kalau kami terpaksa mandi bareng dengan masyarakat. Tak hanya dengan sesama pemuda dan bapak-bapak, tapi juga para gadis dan ibu-ibu muda!!.
Tentu saja para gadis dan ibu muda itu mandi pake kain. Namun selalu ada momen tertentu ketika mata muda kami yang tajam dan terlatih ‘tanpa sengaja’ melihat pemandangan indah yang sebenarnya tidak boleh kami lihat. Beberapa ibu muda sebelum mandi biasanya mencuci baju dulu. Setelah kaos yang dikenakan basah, baru kelihatan kalau ternyata mereka tidak….
Melihat kondisi desa, kami memutuskan untuk membangun WC dan kamar mandi umum. Kami pun menggalang dana.
Salah satu aksi dana adalah menggelar semacam Kantin Suara. Di kantin itu kami menjual kupon, dan masyarakat yang membeli kupon bisa memesan lagu kepada kami. (Sekalipun tergolong terpencil, desa itu relatif stabil dari sisi ekonomi. Rata-rata rumah di sana dari beton dan hanya sebagian kecil yang dari kayu).
Setelah dua hari menggelar Kantin Suara, barulah kami sadar kalau selera lagu kami berbeda dengan masyarakat. Koleksi lagu yang kami siapkan melalui kaset dan VCD ternyata tidak disukai. Masyarakat justru sering memesan lagu yang menurut kami ‘cengeng dan tidak bermutu’.
[caption id="attachment_213730" align="aligncenter" width="288" caption="Painting by Noreen Channels. Source: lvsonline.com"][/caption]
Di malam ketiga, kami memutuskan untuk melayani masyarakat secara manual, menggunakan gitar. Kebetulan ada beberapa teman yang bisa nyanyi dan hafal banyak lagu ‘tempo doeloe nan cengeng’. Karena bisa main gitar, aku kebagian peran sebagai pengiring. Kadangkala jika lagi sepi aku ‘nekat’ bernyanyi, berpura-pura menjadi Mick Jagger dan menyanyikan beberapa lagu Rolling Stones yang kuhafal, diselingi lagu melankolisnya Air Supply seperti ‘Making Love Out of Nothing At All’, beberapa lagu Bon Jovi, Dewa dan Kla.