Melihat suaminya terdiam, Dee makin bersemangat dan meneruskan 'ceramahnya'. "Kamu tau kan, perkawinan itu membutuhkan tiga faktor penting. Yakni hubungan emosional, seksual dan finansial. Aku yakin dua hal pertama tak terpenuhi, kendati faktor ketiga mungkin melimpah. Jadi kalau perkawinan mereka diambang kehancuran, itu sangat bisa dipahami..."
Keduanya terdiam. Merenung. Dulu sekali, mereka pernah mendengar kabar tentang upaya Wulan untuk menyusul suaminya ke AS. Namun permintaan visanya selalu ditolak. Entah karena alasan apa. Tahun demi tahun berlalu dan Wulan tak pernah bisa menyusul suaminya.
"Ternyata, hubungan melalu telepon, email dan chatting tak cukup ya?" kata Kuti. "Ternyata jarak dan waktu tetap menjadi masalah. Apalagi jika sampai sembilan tahun..."
Dee mengangguk. "Aku pernah cerita gak, tentang temanku, yang suaminya dua kali menolak kenaikan pangkat, karena untuk itu dia harus dimutasi ke kota lain? Temanku bilang, jika suaminya pindah, dia dan anak-anak juga harus pindah. Artinya dia berhenti kerja dan ikut suami. Gak ada artinya karir bagus jika mereka hanya ketemu akhir pekan, atau sebulan dua kali..."
Kuti mendesah. "Kamu benar 'yang. Untuk kasus temanku Sancaka, ternyata kesetiaan itu ada batasnya juga ya? Walau cinta tapi jika jarang ketemu, bisa berubah juga...."
Kuti lalu menatap istrinya. "Kalau kamu gimana? Seberapa lama kamu bisa tahan jika berpisah denganku?"
Dee tertawa. Wajahnya memerah. "Itu pertanyaan bagus. Gimana jika kita tanyakan saja ke teman-teman rumahkayu? Apakah mereka setuju bahwa kesetiaan itu ada batasnya? Dan seberapa lama mereka bisa tahan berpisah dengan suami atau istri atau kekasih?"
Kuti tertawa setuju.
Jadi teman-teman, bagaimana pendapat Anda? p.s Posting ini didasarkan pada kisah nyata....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H