Aduh, pikirku. Bagaimana ini? Bagaimana cara menulis lanjutannya?
Kubaca lagi paragraf demi paragraf bagian pertama Darah di Wilwatikta yang ditulis Fary dan mulai berpikir bahwa salah satu dari kami telah melakukan kenekadan luar biasa ketika menyepakati proyek duet kami yang terbaru saat itu.
Entah apakah yang mengajak atau yang diajak yang lebih nekad, sebetulnya. Hehehe.
Aku dan Fary telah menggawangi sebuah blog duet dua tahun lamanya ketika ide itu tiba- tiba muncul. Ide untuk berkolaborasi membuat sebuah cerita silat.
Ide yang sejak awal telah kami pahami merupakan kolaborasi ekstrim antara seorang penggemar dan penulis cerita silat yang berpengalaman dengan orang yang tak pernah membaca cerita silat, tidak familiar dengan para tokoh cerita silat, tak paham pakem- pakem penulisan cerita silat, dan sebagainya.
Tapi sungguh, baru kusadari bahwa jika aku akhirnya bergabung bersama Fary untuk menulis cerita silat bersamanya, maka tengah kulangkahi zona nyaman-ku, melangkah ke zona lain yang selama ini kuhindari...
***
Aku sama sekali bukan penggemar cerita- cerita yang berlumuran darah, berisi perkelahian atau hal- hal lain yang mengerikan.
Tidak, aku tak menyukai semua itu.
Begitu pula dengan film. Aku tak suka film laga, film thiller, horror, apalagi perang.
Fary tahu betul seperti itulah aku. Dia tahu bahwa aku hanya menyukai tulisan- tulisan serta film- film drama yang manis.