Mengapa aku sampai berjalan sendiri lewat tengah malam itu, ini ceritanya...
Sehari setelah aku mengunjungi Raudhah ( area di antara rumah dengan mimbar Nabi Muhammad di Masjid Nabawi, Madinah ) untuk pertama kali,  kuingin kembali pergi ke sana.
Lalu aku bersepakat dengan putriku untuk berdua ke Raudhah seusai shalat Isya.
Petang itu, seusai shalat maghrib, kami tak kembali ke penginapan. Kami tetap berada di masjid sampai shalat Isya. Pada suami dan kedua anak lelakiku yang lain, telah kukatakan untuk tidak menunggu kami di titik pertemuan di dekat gerbang pelataran masjid Nabawi dimana kami biasa bertemu seusai shalat untuk bersama- sama kembali ke penginapan. Kukatakan bahwa aku dan putriku ingin kembali masuk ke Raudhah malam itu.
Seperti yang pernah kutuliskan sebelumnya, waktu bagi jamaah putri masuk ke Raudhah sangat terbatas, berbeda dengan jamaah laki- laki yang dapat masuk ke sana setiap saat.
Rencana ternyata harus berubah mendadak. Putriku terserang kantuk berat dan seusai shalat Isya mengatakan padaku bahwa dia ingin pulang ke penginapan.
Wah, padahal kami tak membawa telepon genggam saat itu, tak dapat kuhubungi suamiku. Pemeriksaan di Masjid Nabawi, terutama untuk jamaah putri, sangat ketat. Telepon genggam berkamera termasuk barang yang tak diijinkan untuk dibawa masuk ke dalam masjid. Bagi jamaah lelaki, peraturan ini tak terlalu mengikat.
Kutanyakan pada putriku, apakah dia berani pulang sendiri. Dengan mantap dia mengangguk.
Lewat dari jam 9 malam saat itu.
Aku sebetulnya agak berat melepaskan dia pulang sendiri ke penginapan. Tapi melihat dia sendiri tak tampak ragu, dan mengingat bahwa segera seusai shalat Isya para jamaah perempuan yang ingin masuk ke Raudhah sudah segera harus berkumpul di tempat yang ditentukan dan terbatasnya pintu bagian putri terbuka untuk masuk ke sana, serta pertimbangan bahwa akan banyak jamaah yang berjalan ke arah yang sama dengan putriku saat pulang ke penginapan (artinya situasi masih cukup ramai ), kuputuskan untuk membiarkan putriku pulang sendiri. Kupesankan padanya untuk menyampaikan pada suamiku bahwa aku masih berada di masjid, meneruskan niat untuk kembali masuk ke Raudhah.
Antian malam itu ternyata panjang sekali. Kami menunggu sangat lama untuk masuk ke Raudhah. Berbeda dengan saat kami masuk  Raudhah pertama kali di pagi hari sebelumnya dimana para jamaah tampak cukup sabar menunggu, kali kedua kusambangi Raudhah itu kudapati beberapa jamaah yang sedang menanti giliran masuk marah- marah pada askar (polisi) perempuan yang menjaga. Mereka menunjuk- nunjuk para wanita Arab yang bisa masuk langsung begitu saja ke bagian yang lebih dekat dengan Raudhah sementara rombongan Melayu diantrikan belakangan.