Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Masa Kehamilan, Masa Peralihan...

26 Februari 2012   13:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   09:05 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_165283" align="aligncenter" width="450" caption="Ilustrasi: www.littlebittyprettyones.com"][/caption] Bidadari kecil itu... SUATU hari di masa lalu, ketika kami mulai membicarakan tentang rencana pernikahan, seorang lelaki terkasih mengatakan suatu hal padaku. Dia menanyakan padaku apakah aku akan setuju jika kelak kami menikah dan dikaruniai anak perempuan, anak itu dinamai dengan satu kata yang telah disimpan olehnya lebih dari sepuluh tahun lamanya, jauh sebelum dia mengenalku… Kata- kata yang disimpannya tersebut sangat unik dan berasal dari bahasa yang sangat tua dan klasik. Lelaki terkasih itu menceritakan padaku bahwa sejak lama dia bercita- cita ingin memberi nama anak perempuannya dengan jalinan kata yang berarti “wanita yang cantik budi”. Dan salah satu kata dari jalinan kata tersebut adalah kata yang sebelumnya dia tunjukkan padaku. Kata yang konon ditemukannya ketika lebih dari sepuluh tahun sebelum itu, di awal masa dia menjadi mahasiswa, ditemukannya pada kitab Negara Kertagama yang dibacanya di Perpustakaan Nasional. Ah, apa yang dapat kulakukan ketika seorang laki- laki yang sangat aku cintai meminta hal tersebut? Apalagi, itu berkaitan dengan hal yang telah diimpikannya begitu lama... Aku mengangguk. Tanpa syarat. Ya, baiklah. Dan… Ketika kemudian kami menikah lalu dikaruniai seorang anak perempuan sebagai anak sulung kami, nama itulah yang kami berikan pada bidadari kecil kami. Rangkaian nama yang artinya adalah “wanita yang cantik budi”, nama yang merupakan doa kami orang tuanya bagi dia, sang malaikat kecil itu…

***

Bercerita tentang kehamilan, adalah bercerita tentang masa peralihan. Peralihan peran, peralihan sikap. Tidak sangat sulit, tapi bukan juga hal yang mudah. Bahkan untuk hal- hal kecil sekalipun. Sebelum menikah, aku adalah gadis yang “tak bisa diam”. Aku bergerak ke sana ke mari. Saat mahasiswa, aku beredar di antara ruang kuliah, les bahasa, kolam renang serta lapangan- lapangan olah raga. Saat itu, aku tergabung dalam sebuah regu olah raga di universitas. Regu kami masuk ke dalam divisi utama dan sangat diperhitungkan di setiap kejuaraan cabang olah raga tersebut. Hari- hari penuh latihan fisik dan tekhnik permainan mengisi banyak hariku ketika itu. Ketika lulus kuliah dan mulai bekerja, aku tak juga menjadi lebih ‘manis’ ( he he! ). Kesibukan kerja tak membuatku berhenti beredar di banyak tempat. Waktu- waktu sepulang kerja kembali kugunakan untuk beredar di tempat les bahasa, serta… kolam renang, dan lapangan olah raga yang beragam, karena aku saat itu memainkan beberapa cabang olah raga yang berbeda. Kadangkala, di akhir minggu, aku menikmati hari dengan menceburkan diri ke air laut yang bening dan menikmati keindahan ikan- ikan yang berenang ketika aku snorkeling di laut- laut dangkal di seputar beberapa pulau. Pernah juga aku mencoba mendaki gunung… Di masa- masa awal mulai bekerja itu, aku menjalin pertemanan dengan beberapa kawan baru dan 'meracuni’ mereka, menularkan hobbyku bermain sebuah olah raga ber-racket yang ketika itu belum terlalu banyak dimainkan di sini. Aku mengajak mereka mencoba memainkan cabang olah raga tersebut, serta kemudian mencari lapangan yang mudah dicapai dari kantor, tempat dimana kami dapat bersenang- senang melewatkan waktu memainkan cabang olah raga tersebut. Mulai dari hanya beberapa orang, kelompok kami makin besar dan pada suatu ketika cabang tersebut menjadi cukup populer di kalangan teman sekantor dan bahkan dipertandingkan antar karyawan. Aku tentu saja mendaftarkan diri, dan… ha ha ha, pada tahun kesekian, ketika kejuaraan tersebut hendak diadakan lagi, panitianya menghubungi aku dan meminta aku untuk tidak mendaftarkan diri, dengan alasan untuk “memberi kesempatan yang lain menjadi juara. “ Aku tergelak mendengar permintaan tersebut tapi sama sekali tak berkeberatan. Jadi, ada suatu masa dimana aku duduk saja di tepi lapangan menonton teman- teman yang bertanding. Jika adakalanya aku ‘gatal’ dan ‘gemas’ ingin turun ke lapangan, aku membujuk beberapa kawan (biasanya kawan lelaki, bukan kawan perempuan… karena aku menghendaki permainan yang ‘seru’… he he) dan menawarkan pada mereka untuk berlatih mempersiapkan diri untuk kejuaraan dengan bermain melawan aku. Tak boleh ikut bertanding, jadi sparring partner pun jadilah. Ha ha ha…

***

Begitulah. Aku yang "sok atlit" semacam itu lalu menikah dan mengandung anak pertama kami. Yang terjadi? Oh, sebenarnya, aku menjalani hari- hari seperti biasa. Tentu saja aku juga berhati- hati dan menjaga kandunganku, walau… Ada kalanya aku “lupa” bahwa aku bukanlah lagi seorang atlit gesit yang bisa bergerak bebas ke sana kemari. Aku lupa bahwa saat berjalan aku membawa seorang bayi di dalam perutku. Kejadian yang kuingat sampai saat ini adalah, ketika kandunganku sudah berusia delapan setengah bulan, aku dan suamiku mengantarkan ibu dan ayah mertua yang kebetulan sedang datang menginap di rumah kami ke rumah seorang kerabat. Turun dari mobil, untuk mencapai rumah yang dituju, kami harus menyeberangi selokan selebar kira- kira satu meter lebih sedikit. Aku menatap selokan tersebut dan mendapati bahwa jembatan yang dapat digunakan untuk menyebrangi selokan itu terletak agak jauh dari mobil. Duh, betapa malasnya harus berjalan ke arah jembatan itu. Lalu… kuambil keputusan, dan… Hup. Aku melompati selokan itu. Mendarat dengan tepat di titik yang aku perkirakan, dan kemudian setelah itu berjalan melenggang tanpa dosa. Aku baru menyadari bahwa ada 'sesuatu yang salah' ketika mendapati ibu mertuaku menatapku kaget. Dan ketika… beberapa hari kemudian, kakak iparku (yang rupanya mendengar cerita tersebut dari ibu mertua) meneleponku dan mengingatkanku untuk berhati- hati, jangan suka meloncat- loncat… ‘kasihan bayinya nanti kalau ibunya terpeleset’, kakak iparku mengingatkan aku. Aku terbahak, menyadari betapa error-nya aku dan selama beberapa minggu sampai saat melahirkan tiba, aku menahan diri untuk tidak lagi meloncati selokan manapun… ha ha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun