Begitulah. Novel itu nyaris kuhafal kata per kata. Apa yang kubaca di masa remaja ternyata memang merasuk sangat dalam ke dalam ingatan. Jadi tak heran ketika di masa dewasaku kelak aku melihat sebuah kipas kertas yang bertuliskan huruf Kanji di Tokyo, ingatanku melayang pada kipas kertas dalam cerita ini. Bukan huruf Cina yang tertulis di situ memang, namun bagiku yang tak bisa membaca baik huruf Kanji maupun huruf- huruf Cina, hal tersebut tak terlalu menjadi masalah.
Detail dalam buku Gema Sebuah Hati yang ditulis Marga T ini juga kurasakan muncul membanjir ketika suatu saat aku berjalan di kawasan kota tua Jakarta. Melihat area sekitar sana, dengan rumah- rumah kuno serta suasana jaman dulu-nya, ingatanku melayang pada rumah paman dan bibi Monik yang terletak tak jauh dari rumah keluarga Martin di sekitar Kota.
Ah, ada- ada saja ya…
Tapi sungguh, bagiku sendiri, cerita fiksi yang merasuk sangat jauh ke dalam angan ini menyenangkan. Jadi, walau memang agak ‘aneh’ karena kisah fiksi lalu dihubung- hubungkan dengan sesuatu yang nyata, aku ( dan juga adikku) tak berusaha menghilangkan kebiasaan tersebut.
Dari waktu ke waktu, ketika kami kebetulan sedang mengalami sesuatu bersama- sama dan mendapati hal- hal yang kami pernah baca dalam novel saat remaja dulu, kami akan dengan senang hati bernostalgia sejenak…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H