Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Tragedi Tugu Tani: Layakkah Kita Mencaci dan Menghujat?

24 Januari 2012   14:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:30 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1327414343699926548

[caption id="attachment_158155" align="aligncenter" width="405" caption="Gambar: www.allfreelogo.com"][/caption] Malam menjelang… PRADIPTA baru saja tidur. Sementara kedua adik kembarnya sudah terlelap sejak tadi. Dee dan Kuti duduk di depan televisi. Dan berita itu muncul lagi. Tentang sebuah mobil yang menyeruduk begitu banyak pejalan kaki yang sedang berada di trotoar, dan di sebuah halte. “ Kasihan, ya, “ kata Kuti. “ Lihat Dee, seperti katamu dulu, bahkan trotoar sekarang tampaknya tak lagi aman bagi pejalan kaki. “ Dee mengangguk. “ Dan korbannya begitu banyak, memprihatinkan sekali, “ kata Kuti lagi. Dee kembali mengangguk. Kuti memperhatikan istrinya. Ini bukan Dee yang biasanya, hanya mengangguk tanpa suara berulang kal begini. Dee yang biasa sudah akan sejak tadi memberikan pendapatnya panjang lebar. Tapi sekian tahun menikah dengannya, Kuti tentu saja dengan segera memahami. Dee bukannya tidak punya pendapat, dia hanya sedang memikirkan sesuatu. Sebab Dee terus memperhatikan layar televisi dengan teliti, tetap tanpa bicara. Dan akhirnya… Suara itu terdengar juga. “ Ini sungguh sebuah tragedi, seperti katamu tadi, memprihatinkan sekali bahwa orang- orang yang sedang berada di trotoar yang seharusnya aman bagi pejalan kaki lalu tewas mengenaskan seperti itu. Dan jumlahnya tak hanya seorang, tapi banyak sekali… “ kata Dee. “ Dan pengemudinya ternyata mabuk, Dee. Adalah sebuah kesalahan besar, menyetir dalam keadaan mabuk seperti itu. “ Dee mengangguk menyepakati apa yang dikatakan suaminya. “ Benar. Minum minuman keras hingga mabuk, dan masih ditambah lagi dengan obat- obatan, juga, katanya ada ganja yang terlibat, adalah suatu kesalahan. Menyetir mobil dalam kondisi seperti itu juga, suatu kesalahan besar. Tak seharusnya orang menyetir mobil dalam keadaan mabuk. Bahaya sekali. Aku setuju, pengemudi itu nanti harus dihukum sesuai dengan kesalahannya, tapi… “ Kuti menanti. Dee melanjutkan kalimatnya, “ Tapi ‘yang, lepas dari kesalahan fatal yang dilakukan pengemudi mobil itu, aku sebetulnya heran dengan cara hal ini diberitakan. Kenapa ada banyak hal yang tak berhubungan langsung dengan kecelakaan itu juga diberitakan dengan begitu hebohnya? Belum lagi hujatan- hujatan di media sosial yang ditujukan pada pengemudi mobil itu… “ Hmmm, Kuti memahami alur berpikir sang istri. “ Seperti aku katakana tadi, “ terdengar lagi suara Dee, “ Benar bahwa dia salah, pengemudi itu. Mabuk, menggunakan narkoba, dan menyetir sesudah itu tak bisa dipungkiri, adalah sebuah kesalahan fatal. tapi kan… tetap saja selayaknya kita menempatkan semua hal sesuai proporsinya. “ Seperti tak terbendung, Dee terus bicara. “ Sejak tadi aku membaca banyak berita dan komentar tentang kejadian ini. Begitu banyak caci maki ditujukan pada sang pengemudi mobil itu…” Dee terdiam sejenak. Lalu setelah jeda itu, dia bicara kembali, “ Mencaci memang enak, tapi terpikirkah oleh kita bahwa orang yang salah itu setelah dihukum sesuai kesalahannya nanti juga seharusnya berhak meneruskan hidupnya, dan bisa jadi dia juga memang menyesal dan memperbaiki diri? Tentu saja kita prihatin dan bersimpati pada para korban dan keluarganya. Ah, tapi apakah hal tersebut membuat kita berhak untuk mengatakan bahwa sang pengemudi itu 'bengis', dan mengatakan hal2 lain yang begitu pedas pada dia? Termasuk yang tak ada hubungannya sama sekali dengan peristiwa menyedihkan itu seperti mengolok- olok bentuk tubuhnya, mengata- ngatainya dengan memanggil dia dengan sejenis binatang yang tambun, dan… “ Dee menarik napas sejenak sebelum kemudian kembali mengatakan pendapatnya. “ Kita yang otaknya jernih sebab tak habis minum alkohol, tak habis menenggak narkoba atau menggunakan ganja lalu sibuk menghakimi bahwa pengemudi mobil itu 'bengis, cuek, koq tak kelihatan merasa bersalah' dan sebagainya. Membingungkan bagiku. Pengemudi mobil itu jelas otaknya sedang error sebab mabuk, jadi reaksinya pastilah tak seperti reaksi normal. Nah kita yang mengaku waras ini, koq malah sibuk mencaci dan mengata-ngatai orang yang jelas otaknya sedang error sebagai 'bengis'. Kalau sudah begini, siapa sebenarnya yang lebih bengis? Kita kan tak pernah tahu apa yg terjadi pada hidup seseorang, pada hatinya, pada pikirannya, dan apa yg sebetulnya dirasakan dan bergejolak dalam jiwanya. Melarikan diri pada narkoba jelas salah, nyetir sambil mabuk juga sangat salah, tapi sudahlah… jangan terus menerus mencaci, apalagi mengata-ngatai dan menjuluki dia macam- macam. Apalagi, ya itu... orang yang salahpun kelak bisa insyaf dan berhak untuk menjalani hidup yang lebih baik, bukan? “ Kuti mendengarkan apa yang dikatakan oleh sang istri tanpa menyela. Dan dia lalu menoleh ketika sang istri memanggilnya. “ ‘yang… “ “ Ya? “ jawab Kuti. “ Jangan- jangan, sebenarnya, bukan hanya pengemudi mobil itu, tapi kita semua yang perlu introspeksi. Sebab reaksi kita juga tidak normal. Ini tragedi, tapi alih- alih membicarakan topik utamanya, mengapa mayoritas dari kita malah sibuk bergosip membahas hal- hal yang tak berhubungan? Dan dengan riang gembira bahkan, misalnya, menyambut status BB aneh yang konon disebutkan milik sang pengemudi, sebab status itu bisa menjadi bahan caci maki tambahan, padahal… “ “ Padahal ternyata status BB itu bukan milik dia ya, Dee? Sudah ada yang mengaku membuat status BBM palsu ‘untuk bergurau’ dan kemudian status itu menyebar? “ Dee mengangguk. “ Jangan- jangan kita semua sama sakitnya. Bergurau tak pada tempatnya. Sibuk bergunjing. Memaki. Tapi adakah kita secara serius memikirkan bagaimana caranya agar narkoba itu dihentikan peredarannya, adakah kita berusaha mewujudkan keluarga bahagia dengan komunikasi yang erat antar anggota keluarga – sebab konon komunikasi yang kurang baik di rumah juga merupakan salah satu penyebab orang terjebak sebagai pengguna narkoba, adakah kita menghindari gaya hidup hedonis, apakah kita juga disiplin dalam berlalu lintas dalam keseharian kita, adakah kita… “ Dee terdiam kembali. Dia prihatin atas jatuhnya begitu banyak korban, tapi sekaligus dia juga tak setuju terhadap reaksi mencaci itu. Kuti tak mengatakan apa- apa. Dia melingkarkan lengannya di bahu sang istri. Kuti tahu, pelukan semacam itu adalah cara yang tak pernah gagal untuk meredakan keresahan istrinya. Di luar, di langit malam, bintang- bintang berkedip. Dan dunia terus berputar…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun