ADA banyak peristiwa menarik terkait kegiatan berkendara. Umumnya terkesan sepele dan tak berarti. Namun sebenarnya memiliki implikasi yang sangat vital. Yakni keselamatan dan hilangnya nyawa.
Beberapa bulan lalu aku memperpanjang SIM. Karena sibuk (dan sedikit pandang enteng), aku memperpanjang SIM dua bulan setelah masa berlakunya habis. Akibatnya aku diwajibkan mengikuti ujian teori ( karena hanya memperpanjang, ujian praktek tidak aku lakoni ).
Ketika mengerjakan soal, aku kebetulan duduk di depan, dekat dengan meja pemeriksaan. Iseng aku pun memasang telinga. Seorang bapak-bapak, berusia 40-an tahun sementara diperiksa lembar jawabannya. “Jawaban bapak banyak salahnya. Bapak tidak lulus,” kata polisi pemeriksa. “Bapak bisa datang kembali setelah 14 hari. Namun jika ingin cepat, kami bisa bantu. Semuanya terserah bapak.” Si bapak tertegun sejenak. “Baik, aku akan datang 14 hari kemudian,” kata si bapak. Polisi pemeriksa nampak sedikit kaget. “Ya terserah bapak. 14 hari itu bukan waktu yang singkat. Lagipula belum tentu juga bapak akan lulus.” Namun si bapak bersikeras menyatakan akan kembali setelah 14 hari. Selanjutnya seorang perempuan berusia 30-an tahun. Sama seperti si bapak, hasil ujiannya jeblok. “Ibu bisa kembali setelah 14 hari. Jika ingin cepat, kami bisa bantu,” kata si polisi. Aku tidak tahu bagaimana perbincangan selanjutnya karena aku harus berkonsentrasi mengerjakan ujian. Namun setelah memasuki ruangan untuk foto dan sidik jari, aku melihat si ibu sudah duduk di kursi antrian. Rupanya dia cukup cerdik. Dia memilih jalur khusus yang dijanjikan si polisi. Mengingat singkatnya waktu, bisa dipastikan si ibu ini tidak menjalani tes praktek. Beberapa saat kemudian, sambil tersenyum si ibu ini meninggalkan ruangan sambil memegang Surat Ijin Mengemudi. Padahal sebelumnya dia tak lulus ujian teori dan tak menjalani ujian praktek!! ( Karena tidak mengalami, aku tidak tahu persis bagaimana jenis bantuan khusus yang diberikan polisi. Mungkin saja jenis bantuan tergolong sah dan sama sekali tidak melanggar ketentuan ya? hehe ) .
***
Belum lama ini aku dan seorang teman mendapat tugas. Kami pun menggunakan mobil kantor. Begitu memasuki jalan raya utama aku segera mengenakan sabuk pengaman. Teman yang mengemudi tersenyum dan rupanya menganggap apa yang aku lakukan sebagai hal yang lucu.
“Kamu gak pakai sabuk?” tanyaku. Mengenakan sabuk pengaman merupakan hal standar yang harus dilakukan terutama ketika melewati jalan raya utama. Si teman menggeleng. “Kalau pakai sabuk aku merasa seperti terikat. Gak bebas dan gak nyaman,” katanya. “Bagaimana jika ada polisi?” sambungku.
Si teman segera mengambil sabuk dan menyilangkan di depan dadanya. Hanya sekedar menyilangkan dan tidak benar-benar menggunakan hingga ‘klik’. “Kalu dari luar kan sekilas terlihat aku seperti mengenakan sabuk. Dan itu sudah cukup,” katanya.
***
Teman sekantor, seorang perempuan lajang, suatu ketika tiba di kantor sambil menggerutu. Karena urusan mendadak dia terpaksa menggunakan jasa tukang ojek. Dan hampir seharian dia menggerutu. Bukan soal ojeknya, tapi helm yang terpaksa dia pakai.
“Aku kan baru saja mencuci rambut. Dan aku terpaksa mengenakan helm milik tukang ojek yang mungkin sudah dipakai ribuan orang sebelum aku. Bayangkan seperti apa baunya. Dan kini rambutku bau,” katanya kesal. “Kenapa kamu gak beli helm sendiri aja? Supaya jika terpaksa naik ojek kamu menggunakan helm milik sendiri dan bukannya milik si tukang ojek yang dipakai berjamaah,” kataku, bercanda tentu saja. Di luar dugaan, si teman menganggap usulanku masuk akal. Beberapa hari kemudian dia membeli helm. Bentuknya kecil, namun masih tergolong standar. Helm itu selalu dibawa di dalam tasnya yang besar. Teman perempuan ini benar-benar menganggap helm itu sebagai milik pribadi. Hingga sekarang, dia selalu menolak, baik secara halus maupun kasar, jika ada orang lain yang bermaksud meminjam helmnya!! Bagi kebanyakan perempuan (dan sebagian kecil laki-laki), helm memang merupakan musuh utama. Terutama bagi mereka yang merasa memiliki rambut bagus bak model iklan shampo. Karena itu tak usah heran jika di jalan raya tertentu, terutama di gang atau kompleks pemukiman yang aman dari polisi, kita bisa menyaksikan bagaimana gadis cantik yang memegang helm dengan tangan kiri, sementara tangan kanan digunakan untuk memeluk pinggang teman lelaki yang mengemudi. Helm baru digunakan jika mereka memasuki kawasan tertib lalulintas, dekat pos polisi, lampu merah atau lokasi lain yang diketahui kerap dijaga polisi. Bukan hanya perempuan sebenarnya. Jika disuruh memilih, mungkin banyak lelaki pemilik sepeda motor yang lebih suka melepas helmnya, dan membiarkan semilir angin berhembus di wajah. Bagi kebanyakan perempuan, mereka lebih suka rambut mereka tergerai ditiup angin daripada ’meringkuk’ di bawah kungkungan sebuah helm.
Dalam banyak kasus, helm dipakai karena terpaksa, hanya karena takut ditilang. Hanya sedikit pengguna sepeda motor yang mengenakan helm demi alasan keamanan.
***
Dibanding sepuluh atau lima belas tahun lalu, industri kendaraan bermotor di Indonesia kini memasuki masa keemasan. Kompas (18/12/2010) mencatat, setiap tahun terjadi 6 juta transaksi sepeda motor, dan 25 % di antaranya terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Setiap tahun terjadi 600 ribu pembelian kendaraan roda empat, dan 45 % di antaranya terjadi di Jakarta dan sekitarnya.
Khusus sepeda motor, masyarakat diberi kemudahan. Hanya dengan uang muka 300 ribu rupiah, KTP, Kartu Keluarga serta bukti rekening pembayaran listrik, seseorang sudah bisa membawa sebuah sepeda motor. Untuk mobil, seseorang sudah bisa membawa mobil jenis tertentu dengan uang muka sekitar 25 hingga 30 juta rupiah. Namun kemudahan mendapatkan sepeda motor dan mobil ini juga diikuti oleh tingginya angka kecelakaan lalulintas. Menurut data pihak kepolisian yang dikutip detiknews, rata-rata jumlah kecelakaan secara nasional setiap tahun mencapai 40 ribu. Dari 40 ribu kasus kecelakaan ini poskota mencatat jumlah korban jiwa rata-rata mencapai 28 ribu. Kecelakaan lalulintas merupakan mesin pembunuh nomor dua di Indonesia setelah penyakit TBC!! Melihat tingginya angka kematian karena kecelakaan lalulintas, aku jadi bertanya-tanya. Berapa banyak korban yang tewas itu yang mendapatkan SIM karena jalur khusus, padahal mereka sebenarnya tidak lulus ujian teori dan tidak mengikuti ujian praktek? Berapa banyak di antaranya yang mengenakan sabuk pengaman hanya sebagai perhiasan? Berapa banyak di antaranya yang tidak mengenakan helm? Banyak pengguna kendaraanbermotor yang lebih mementingkan kenyamanan berkendara. Mereka memilih tak menggunakan sabuk dan melepas helm. Mereka tak sadar kalau perbuatan yang terkesan sepele itu memiliki implikasi yang sangat serius. Karena mereka bermain-main dengan nyawa. Di Indonesia, banyak pengguna kendaraan bermotor yang setiap hari bermain-main dengan nyawa karena lebih mengutamakan kenyamanan berkendara. Anda ingin seperti mereka? **gambar diambil dari www.surrey-fire.gov.uk**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H