Ada satu cerita kecil dari Tanah Suci yang tak pernah kulupa...
TENTANG supir bus di musim haji.
Tentang bagaimana kita sering lupa, bahwa tindakan kita bisa jadi berdampak pada orang lain.
Tentu menyenangkan jika dampaknya positif. Tapi bagaimana jika sebaliknya?
***
Saat musim haji yang lalu, selain aku dan suami, ada keluarga dekat lain yang juga berhaji. Yakni adik iparku ( adik suamiku ) dan istrinya.
Keduanya berangkat di kloter- kloter awal ke Tanah Suci, dan sudah berada di sana sekitar dua minggu ketika kami, aku dan suamiku tiba.
Tentu saja, begitu tiba di Mekah, menghubungi mereka adalah salah satu hal yang kami dulukan. Lalu kami berjanji- janji bertemu, di pelataran Masjidil Haram, pada suatu hari.
" Seusai shalat dhuha, " kata mereka.
Baiklah. Kami tunggu mereka.
Lalu kami mendengar cerita bahwa biasanya mereka datang ke Masjidil Haram kala hari masih gelap, menjelang subuh, lalu menunaikan shalat subuh di masjid dan tetap berada disana hingga usai Shalat Dhuha.
Mengobrol sebentar, mereka lalu berpamitan hendak kembali ke pondokan. " Nanti siang balik lagi, " kata mereka.
" Pakai apa pulangnya? " tanya kami.
" Bus. Gratis. Terminalnya disana, " adik iparku menunjuk suatu arah di belakang Masjidil Haram.
Kami mengangguk.
[caption id="attachment_371254" align="aligncenter" width="617" caption="Suasana terminal bus di dekat Masjidil Haram. Dok. pribadi"]
Kami sendiri menginap di sebuah hotel yang dekat letaknya, di sisi pelataran Masjidil Haram, karenanya sehari- hari kami tak menggunakan kendaraan apapun jika hendak ke masjid. Cukup berjalan kaki saja.
" Kapan- kapan ikut, " kata kami pada adik ipar dan istrinya, mengatakan bahwa kami ingin turut serta dengan mereka ke pondokannya, naik bus yang diceritakan itu.
***
Dan begitulah, pada suatu hari, usai shalat Dhuha, kami turut serta dengan adik ipar dan istrinya itu, naik bis ke pondokan mereka,
Bus ini bus gratis. Disediakan untuk para jamaah haji oleh pemerintah Indonesia selama musim haji. Selama berada di Mekah, pemerintah menyiapkan bus untuk jamaah haji yang menempati wilayah pemondokan berjarak 2 Kilometer atau lebih dari Masjidil Haram. Busnya beroperasi selama 24 Jam.
Supir bus didatangkan dari Indonesia.
[caption id="attachment_371308" align="aligncenter" width="616" caption="Bus- bus berderet mengantar dan menjemput jamaah haji dari berbagai negara. Dok. pribadi"]
Dan mengenai supir bus dari Indonesia inilah ada cerita.
Selama perjalanan menuju ke pondokannya di dalam bus yang cukup nyaman itu, adik iparku bercerita bahwa pada suatu hari supir bus yang dia tumpangi pernah menegur jamaah haji, para penumpang bus itu.
" Kenapa? " tanya kami.
" Penumpangnya tak sabar, " kata adik iparku, " Menggedor- gedor pintu bus minta dibuka. "
[caption id="attachment_371256" align="aligncenter" width="622" caption="Toko Indonesia yang terletak di sekitar pondokan haji. Dok. pribadi"]
Rute bus itu berkeliling ke beberapa titik dimana pondokan jamaah haji Indonesia berada. Dan selama perjalanan, pintu bus memang tertutup. Maka jika hendak turun di pondokan, atau hendak naik ke bus saat bus melintas di depan pondokan, para jamaah harus menanti hingga supir bus membukakan pintu.
Dan banyak jamaah yang tak sabar, rupanya. Ketika pintu belum terbuka, mereka menggedor- gedor pintu agar supir segera membukanya.
Suatu hari, salah seorang supir gusar. Dia mengatakan pada jamaah untuk sabar, tak menggedor- gedor pintu. Sebab katanya, " Kalau bus ini rusak, gaji saya nggak dibayar. "
Konon, ada pasal di dalam kontrak kerjanya yang mengatakan bahwa dia harus tetap menjaga agar kondisi bus tetap baik. Dan jika ada kerusakan, itu menjadi tanggung jawabnya. Entah memang dia tak dibayar sama sekali, atau gajinya dipotong sejumlah tertentu untuk memperbaiki kerusakan, entahlah. Tapi jelas ada konsekwensi yang ditanggung oleh supir itu yang disampaikannya dalam kalimat "gaji nggak dibayar" jika ada kerusakan bus yang dikendarainya itu,
Maka aku pahami, mengapa dia gusar.
[caption id="attachment_371257" align="aligncenter" width="575" caption="Keramaian di terminal dekat Masjidil Haram. Dok. pribadi"]
Dan aku tercenung, berpikir dalam hati. Begitulah kita. Kadang- kadang mentang- mentang merasa bahwa itu adalah hak yang telah disediakan bagi kita, kita tak berhati- hati. Naik bus gratis yang disediakan pemerintah, tak sabar menunggu pintu dibuka, lalu menggedor- gedor. Tak paham bahwa konsekwensi dari ketidak sabaran itu bisa berakibat pada dikuranginya ( atau tak dibayarnya? ) gaji supir bus itu.
Kisah kecil ini, sungguh membekas di dalam hati. Mengingatkan bahwa dalam hidup, hak kita dibatasi oleh hak orang lain. Ketika melakukan sesuatu, kita harus senantiasa mempertimbangkan, adakah orang lain yang barangkali disulitkan karena tindakan kita yang kurang berhati- hati? Atau adakah tindakan kita itu berakibat buruk atau baik pada orang lain di sekitar kita ?