Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Tinjauan dari Sisi Lain: Keluarga Pejabat dan Visa Haji Non-Kuota

2 Oktober 2014   00:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:44 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_345379" align="alignleft" width="640" caption="Menanti waktu shalat tiba di sekitar Masjidil Haram (dok: Rumah Kayu)"][/caption]

Masih tentang haji non kuota dan para pejabat itu...

ADA kombinasi beberapa hal yang aku percayai, terkait dengan suratan dan usaha (manusia).

Bahwa apa yang dialami seseorang, memang sudah tersurat. Tapi hal tersebut juga akan terkait dengan upaya, ikhtiar dan doa yang dipanjatkannya.

Bahwa siapa yang akhirnya bisa pergi berhaji, juga merupakan hak prerogatif Yang Kuasa untuk memutuskan, aku percaya. Tapi aku juga percaya bahwa perlu ada upaya manusia untuk bisa membuat suratan itu terwujud.

Menabung, mendaftar, mengantri giliran hingga keberangkatan tiba, itu bagian dari upaya manusia. Ditambah dengan doa, agar Sang Maha Cinta berkenan mewujudkan apa yang diupayakan itu.

***

Ada falsafah lain yang juga aku percayai.

Yakni jangan pamer. Jangan mentang- mentang. Syukuri semua karunia yang diterima tapi upayakan agar tak membuat orang lain nelangsa, sedih, sakit hati sebab mungkin tidak memperoleh hal yang sama.

Selain itu, ada hal mendasar lagi yang aku pahami, bahwa memang jatah tiap manusia di muka bumi ini tidak sama. Dalam bentuk beragam, masing- masing mendapat porsinya sendiri- sendiri.

Maka.. monggo mawon, silahkan saja jika memang ada yang dapat rejeki bisa berangkat haji tanpa antri, misalnya, dengan melalui haji non kuota.

Aku sendiri tidak berminat menggunakan cara itu, sebab tidak bersedia menanggung konsekwensi yang mungkin terjadi. Bagiku, lebih ayem, tentram, untuk mendaftar lewat antrian, memperoleh nomor porsi dan menanti tahun keberangkatan.

Bahwa misalnya orang berkesempatan berhaji melalui jalur non kuota, Alhamdulillah..barangkali rejekinya memang begitu, dan orang tersebut berani mengambil resiko dan konsekwensi yang tak bersedia aku tanggung (misalnya: visa keluar at the last minute, tertahan di imigrasi, akomodasi yang sering tak manusiawi, dan sebagainya ).

[caption id="attachment_345380" align="aligncenter" width="640" caption="Banyak jamaah haji tidur dan beristirahat di lapangan terbuka di sekitar Masjidil Haram (dok. Rumah Kayu)"]

1412160500283045039
1412160500283045039
[/caption]

Nah.. jika begitu, mengapa aku menulis post yang kemarin dimuat, tentang para pejabat dan keluarganya yang muncul melenggang datang belakangan dengan visa non kuota itu?

Alasannya adalah, sebab aku merasa ada ketidak adilan perlakuan dan inkonsistensi pernyataan.

Media riuh memberitakan pernyataan Menag yang mengatakan jangan berhaji dengan visa non kuota. Media juga memuat cerita tentang jamaah haji non kuota yang terdampar keleleran.

Menag bicara jangan berhaji lebih dari sekali, beri kesempatan yang belum pernah berhaji.

Dan... taraaaaaa... datang begitu saja ke tengah- tengah jamaah haji dengan kuota yang sudah antri bertahun- tahun para pejabat dan keluarganya, beberapa sudah berhaji lebih dari sekali, melenggang aman tanpa mengantri dan selanjutnya beraktivitas di sini seakan- akan semua itu suatu kewajaran. Seakan peraturan itu tak berlaku bagi mereka.

Tak tampak ada tepo seliro, tenggang rasa, dalam tindak tanduk dan ucapannya. Seakan- akan jamaah haji yang lain itu patung tak berhati yang harus bersedia saja menonton pameran ketidak adilan yang nyata- nyata digelar di depan mata itu...

***

Aku tak akan berkomentar banyak jika kehadiran mereka tak mencolok mata. Atau jika mereka cukup rendah hati untuk sedikit menghaluskan sikap. Bertoleransi pada jamaah lain yang sudah mulai agak lelah menanti kegiatan utama haji di Mina, Muzdalifah dan Arafah tiba.

Jika saja mereka, misalnya, memperoleh akomodasi yang baik tapi diurus terpisah dari jamaah haji kuota, rasa nyeri itu juga mungkin tak terasa dalam.

Tapi bukan itu yang terjadi. Yang terjadi adalah mereka datang melenggang belakangan di depan mata jamaah kuota dan mendapatkan akomodasi yang sama.Tanpa antri. Tanpa orang lain pernah tahu secara terang benderang bagaimana cara memperoleh hal itu. Dan tanpa malu mengatakan mereka baru tiba, datang dengan visa khusus undangan kerajaan.

Itu sebabnya kukatakan dalam tulisanku kemarin, jika hal tersebut memang bisa dilakukan, ada visa khusus semacam itu, umumkan saja bagaimana cara mendapatkannya. Jangan sebagian orang bisa, sebagian lain tak bisa. Sebagian antri, tapi ada yang tidak. Sebagian orang menanggung resiko terkatung- katung, sebagian nyaman- nyaman saja.

Ada banyak orang yang memiliki keluasan hati tak terbatas yang bisa tak merasa nyeri melihat hal semacam itu. Tapi hatiku mungkin memang tak seluas itu, sebab rasa nyeri itu nyata terasa.

[caption id="attachment_345381" align="aligncenter" width="640" caption="Jam berapapun, selalu ada antrian dan kepadatan di pintu- pintu masuk Masjidil Haram (dok. Rumah Kayu)"]

14121606741442565980
14121606741442565980
[/caption]

***

Seperti dalam banyak kesempatan lain sepanjang pernikahan kami, kujadikan suamiku teman bicara.

Begitu pula kali ini, tentang sikap para pejabat itu.

Kutumpahkan keresahanku. Sekedar agar membuat hati lega. Dan, agar aku bisa memperoleh sudut pandang lain.

Kukenal suamiku dengan baik, seperti dia juga mengenalku dengan baik. Dalam banyak saat sepanjang pernikahan kami, kami melihat dan mengalami hal yang sama, dan reaksi yang timbul berbeda.

Kubagikan disini apa yang dikatakan suamiku padaku. Sebab aku menghargai apa yang dikatakannya, dan pada prinsipnya sebetulnya menyepakati dasar pemikirannya.

Suamiku berkata, tak perlu kupusingkan tingkah para pejabat itu.

"Setiap orang akan diminta pertanggung jawaban atas apa yang dilakukannya, D... " kata suamiku. " Termasuk apa yang mereka lakukan sekarang, itu akan harus mereka pertanggung jawabkan sendiri kelak. Biar saja.. "

" Oh, itu aku tahu, " kataku, " Tapi menurut pendapatku, lepas dari itu mereka juga harus menjaga hubungan baik dengan manusia lain dan menjaga agar tak menyakiti hati orang lain. Misalnya ada walikota yang sudah berhaji, datang dengan istri dan anaknya yang remaja belia, urgency-nya apa? Kenapa jika dia tahu cara berhaji tanpa antri tidak dia gunakan saja anggarannya untuk membantu orang lain, penduduk kotanya yang belum pernah berhaji, misalnya, agar bisa mendapatkan tempat itu? Atau kalaupun dia dan istri tetap ingin berangkat daripada mengajak anak remajanya, ajaklah satu penduduk kotanya, misalnya. "

Suamiku hanya tersenyum saja. Sepertinya tetap berpikir, apapun yang dilakukan sang walikota, itu tidak berpengaruh padanya dan toh kelak walikota itu harus mempertanggung jawabkan pada Sang Pencipta.

Termasuk jika tindakan walikota dan atau para pejabat lain itu menyakiti hati jamaah haji lain, hal tersebut tak akan luput, akan diminta pertanggung jawabannya kelak.

Tapi di pihak lain, soal sakit hati serta rasa nyeri, menurut suamiku, sakit hati dan nyeri yang timbul (dari melihat tingkah para pejabat ) itu harus kita sendiri yang mengelola.

" Rugi, D.. " kata suamiku, " Nanti kalau kesal terus, malah kamu yang nggak bisa dapat haji mabrur. Sudah, biar saja mereka begitu, kamu nggak usah kesal, nggak usah marah. Kita urus saja diri kita sendiri agar hati kita bersih. "

Hmmmmm...

Kutarik nafas panjang.

Kusadari bahwa ini adalah ujian kesabaran tingkat berikutnya. Sebab apa yang kulihat dan tak kusepakati tentang sikap para pejabat yang tak sensitif, datang dengan visa non kuota tanpa antri di tengah- tengah jamaah haji kuota ini menyangkut hal yang lebih besar dan esensial daripada misalnya orang yang memonopoli lift yang pernah kuceritakan sebelumnya.

Kendati memang kusadari, tak ada cara lain. Harus kupaksa diri agar bisa mengatasi.

[caption id="attachment_345382" align="aligncenter" width="640" caption="Banyak jamaah haji tidur bergeletakan di lantai di luar Masjidil Haram (dok. Rumah Kayu)"]

14121609741885774537
14121609741885774537
[/caption]

Masih ada beberapa hari menjelang kegiatan utama haji. Masih ada waktu untuk mengelola hati dan mengikis rasa nyeri.

Tak mudah. Sungguh tak mudah. Tapi kusepakati apa yang dikatakan suamiku bahwa hati kita, kita sendiri yang mengatur.

Kucoba melapangkan hati, sambil memperbanyak shalat dan doa, memohon ampun atas kesalahan dan memohon diberi kesabaran. Kucoba mengikis rasa kesal dan nyeri itu sedikit demi sedikit.

Tak mudah. Tapi harus bisa.

Ah, sekali lagi, sabar itu memang tidak gampang...

p.s.

Terimakasih untuk teman- teman yang telah menuliskan komentar pada post- post sebelumnya. Semua komentar itu sudah aku baca tapi selain ada keterbatasan waktu, aku juga senantiasa gagal membalas komentar via HP di Kompasiana ini. Balasanku selalu hilang. Maka, mohon dimaklumi.. Insya Allah komentar-komentat akan kujawab saat sudah kembali ke Tanah Air. Mohon maaf lahir dan bathin atas semua kesalahan...

[caption id="attachment_349962" align="aligncenter" width="625" caption=""]

1414330409563477137
1414330409563477137
[/caption]

[caption id="attachment_349963" align="aligncenter" width="614" caption=""]

1414330429586193021
1414330429586193021
[/caption]

[caption id="attachment_349964" align="aligncenter" width="620" caption=""]

1414330448888109217
1414330448888109217
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun