Tentang naik haji. Dan belanja...
SEORANG teman dengan jahil mengatakan padaku bahwa dia mencatat beberapa versi urusan belanja yang dilakukan para jamaah haji berdasarkan pengamatannya saat sedang menunaikan ibadah haji.
Yakni kekuatan dan persediaan energi yang berlimpah dari banyak orang yang dia amati untuk berbelanja beragam barang dari baju, perhiasan, makanan dan berbagai pernak- pernik lain ( dalam istilah guyonan yang dikenal luas, sering disebut sebagai 'thawaf pasar', yakni alih- alih thawaf mengelilingi Ka'bah, yang dikelilingi adalah kios belanjaan di pasar, he he), tapi tak seimbang saat melakukan shalat.
Kawan ini prihatin sebab dia mengamati bahwa banyak orang yang sedemikian bersemangatnya melakukan kegiatan belanja sampai larut malam dan kuat berjalan kaki begitu jauh untuk berbelanja serta kuat juga melakukan hal tersebut berjam- jam, tapi kemudian saat melakukan shalat dilakukannya shalat itu sambil duduk, sebab katanya kakinya sakit, lututnya bermasalah.
Atau juga, versi lain, tak pernah ketinggalan bergabung dengan rombongan yang hendak 'pesiar' baik window shopping maupun belanja beneran, tapi saat waktu shalat tiba, tidak berangkat ke masjid dan memilih untuk shalat di kamar saja.
Atau lagi, sebab pulang kemalaman setelah belanja, keesokan harinya teler berat dan akhirnya waktu untuk beribadah juga berkurang.
Begitu kira- kira hasil pengamatannya.
***
[caption id="attachment_348438" align="aligncenter" width="336" caption="Pedagang kaki lima di sekitar Masjid Nabawi. Dok: rumahkayu"][/caption]
Aku sendiri, tak berani mengukur- ngukur ibadah orang. Rumangsa, ibadahku sendiri juga segitu- segitu aja. Baik kuantitas maupun kualitasnya.
Maka, lupakan saja tentang ibadah di kamar, shalat sambil duduk, waktu ibadah yang berkurang itu, aku keluarkan itu dari opiniku. Sebab seperti aku katakan, aku tak berani mengukur ibadah orang lain, terutama ketika ibadahku sendiri masih jauh dari baik.
Tapi, tentang belanja- belanja itu, aku sendiri memang punya opini...
***
Urusan belanja saat sedang dalam perjalanan untuk beribadah haji ini memang cerita klasik. Itu sudah ada sejak dulu, dan tampaknya tak pernah hilang dari tahun ke tahun.
Dalam beragam sisinya.
Artinya, ada satu sisi dimana para penggemar belanja bertukar cerita dan informasi dimana barang ini dan itu bisa diperoleh, atau sebaliknya, di sisi lain, ada banyak orang yang sebelum berangkat haji diingatkan baik oleh orang tua atau kerabatnya, " Nanti disana banyak orang yang menghabiskan waktu dengan belanja, jangan ikut- ikutan, fokus ibadah saja. " Begitu kira- kira peringatan yang umum diterima.
Ah, memang, bagaimanapun, perjalanan untuk beribadah haji itu walaupun itu perjalanan spiritual, dilakukan di dunia. Maka hal- hal yang bersifat duniawi memang tetap tak bisa dihindarkan.
Tak usah bicara belanja, saat beribadah haji kita juga tetap makan, mandi, dan melakukan banyak hal lain yang biasa kita lakukan sehari- hari.
Soal belanja, memang pula, hampir tak mungkin dinihilkan sampai nol. Sesedikit apapun, rasanya tetap akan ada yang dibeli. Mungkin keperluan ini dan itu di supermarket, atau juga, ini dan itu sekedar untuk oleh- oleh.
Dan menurutku sendiri, itu tak apa.
Tapi memang sebaiknya, dibatasi.
Ini bukan soal uang. Bukan soal berapa jumlah uang yang dikeluarkan. Berapa jumlah uang yang dikeluarkan, banyak atau sedikit, itu relatif. Tapi ini memang soal keelokan, dan keseimbangan fokus.
Kusaksikan beberapa kejadian yang memang agak membuat aku menghela nafas panjang dan menggeleng- gelengkan kepala soal belanja (dan pesiar) ini. Dan walau ketika menyaksikan itu terjadi aku berusaha keras untuk tak banyak komentar, mau tak mau hal- hal tersebut tercatat juga dalam hati.
***
[caption id="attachment_348444" align="aligncenter" width="494" caption="Gerai penjual kurma. Dok: rumahkayu"]
Suatu malam, di Madinah.
Aku sakit di hari- hari pertama ketika kami baru saja tiba di Madinah dari tanah air. Maka aku hanya keluar kamar di waktu shalat untuk shalat di Masjid Nabawi. Itupun seringkali kulakukan mepet waktunya.
Dan karena demam serta sakit kepala hebat, aku kehilangan nafsu makan. Beberapa kali jam makan kulewatkan. Diluar waktu shalat dimana aku berangkat ke masjid Nabawi, aku berbaring menggigil di bawah selimut. Maka di hari- hari  itu pengamatanku terhadap sekitar juga sedikit sekali. Tak terperhatikan olehku siapa yang ada di kamar- kamar di sekitar kamarku.
Sampai suatu hari, menjelang tengah malam saat itu. Kudengar suara pintu kamar di seberang kamarku diketuk- ketuk orang.
" Mas... Mas... Buka mas... " itu suara yang terdengar.
Aku sudah setengah tertidur, tapi suara ketukan yang keras, berulang- ulang dan diikuti dengan panggilan- panggilan serupa membuatku terbangun.
Kudengarkan suara itu dengan heran. Kuambil kesimpulan bahwa itu suara ibu- ibu yang memanggil suaminya.
" Kenapa ibu- ibu itu ngetok- ngetok kamar ? " dengan heran aku bertanya pada suamiku, " Memangnya dia nggak pegang kunci sendiri ? "
Aku tak paham. Sebab sepengetahuanku masing- masing suami istri yang sekamar memegang satu kunci berbentuk kartu. Jadi walaupun misalnya tiba di kamar tak bersamaan, tak perlu mengetuk- ngetuk pintu seperti itu.
Suamiku menjawab, " Kamar di depan kita itu kamar Bapak- bapak, D, isinya laki- laki semua, bertiga. "
Memang di rombongan kami, sesuai pilihan saat mendaftar, ada kamar yang diisi berdua (biasanya oleh suami istri atau anak dengan orang tuanya), ada juga yang bertiga. Dalam hal yang bertiga ini, jika ada suami istri berangkat bersama untuk beribadah haji, mereka akan tinggal dalam kamar yang terpisah. Para suami dengan suami lain sesama lelaki, sementara para istri di kamar lain sesama perempuan.
Oh, begitu.
Tapi...
" Terus ngapain ibu- ibu itu ngetok- ngetok kamar Bapak- bapak tengah malam begini ? " tanyaku.
Suamiku menggelengkan kepala. Dia tak berminat untuk mengurusi.
Hanya saja, berminat atau tidak berminat, pada akhirnya mau tak mau kami tahu juga apa yang terjadi. Sebab suara itu begitu gaduh. Mungkin bapak- bapak yang kamarnya di seberang kamar kami itu lelah dan sudah tertidur semua sehingga pintu kamar itu lama terbukanya. Ketukan dan panggilan- panggilan keras itu suaranya terus menggema masuk ke kamar kami.
Sampai suatu saat, pintu itu terbuka juga.
Dan kudengar lagi rententan kalimat dari sang ibu yang mengetuk pintu, bicara dengan suaminya. Rupanya yang terjadi adalah, kawan- kawan sekamarnya semua pergi berbelanja dan belum kembali hingga larut malam dan ibu tersebut merasa tidak nyaman tinggal sendirian di kamar. Maka dia mengetuk- ngetuk kamar suaminya.
Aku tak tahu apakah suaminya yang lalu menemani sang istri di kamarnya atau sang istri yang lalu menunggu di kamar suaminya. Aku tertidur kembali, sampai...
Sejam kemudian atau lebih, aku terbangun lagi karena ada suara gaduh lagi. Dari percakapan itu kudengar suara beberapa ibu- ibu yang rupanya baru pulang belanja. Teman- teman sekamar ibu yang tadi heboh mengetuk- ngetuk pintu sudah kembali.
Aku terpaksa menelan senyum ketika kudengar kalimat yang bunyinya begini, " Ini kita udah paling duluan nih. Yang lain malah masih pada jauuhhh di belakang. "
Oh, jadi mereka pergi beramai- ramai rupanya, pikirku.
Sudah lewat tengah malam saat itu. Aku mengantuk dan kepalaku masih berdenyut nyeri. Tak sempat lagi kupikirkan lebih jauh keramaian yang terjadi. Aku tertidur kembali.
***
[caption id="attachment_348439" align="aligncenter" width="436" caption="Zam Zam Tower di Mekah. Kompleks hotel dan pertokoan yang terletak dekat dengan Masjidil Haram. Dok: rumahkayu"]
Kejadian lain, terjadi di Mekah.
Masih pra puncak haji. Masih  sekitar dua minggu sebelum kami mengucapkan niat haji. Haji kami haji Tamattu. Kami menunaikan ibadah umrah lebih dahulu, lalu melepaskan ihram dan kembali berihram di tanggal 8 Dzulhijah ketika hendak berangkat ke Mina.
Saat itu kami sudah selesai umrah. Di hari- hari itu, selain kegiatan di Masjidil Haram, ada kegiatan pengajian rutin yang juga dilakukan oleh kelompok kami. Dalam acara pengajian itu juga biasanya dibahas ulang seperti apa nanti jadwal kami. Seperti apa urutan- urutan ritual haji yang akan kami jalankan.
Lalu kusaksikan ada peristiwa yang bagiku terasa 'lucu'.
Yakni ditengah pembahasan tentang jadwal ibadah haji dan ritualnya, ada beberapa orang yang membahas tentang... city tour di Jeddah.
City tour ini memang ada dalam rencana. Tapi jadwal pelaksanaannya bergeser. Dan bagi beberapa orang rupanya itu merupakan big deal. Ada yang sampai agak ngotot membicarakan tentang city tour ini.
Duh, pikirku. Kan tadi padahal sudah dijelaskan, city tour itu tetap akan dilaksanakan, tapi harinya nanti akan disesuaikan lagi. Kenapa sampai harus begitu ngototnya? Ustad yang menjawab pertanyaan itu sampai mengatakan begini pada si penanya, " Tenang bu, itu tetap jadi, cuma tanggalnya nanti diumumkan lagi. Kegiatan belanjanya tetap akan bisa berjalan, koq. "
Jawaban diberikan dengan tenang. Tapi menurutku itu jawaban yang tajam dan mak jleb. Entahlah apakah si penanya yang ngotot itu juga merasa begitu atau tidak.
***
Masih di Mekah. Juga pra puncak haji.
Saat itu kami sudah pindah bergeser ke apartemen transit agak ke pinggiran kota Mekah, tidak lagi tinggal di hotel di dekat Masjidil Haram.
Apartemen ini berada di antara Masjidil Haram dan Mina. Kami lewatkan beberapa hari disana menjelang hari- hari puncak haji. Setiap hari di apartemen ini dilakukan shalat berjamaah, pengajian, dan kegiatan- kegiatan serupa itu. Juga seperti biasa, ada pembahasan tentang jadwal dan rute serta ritual haji yang akan kami jalankan.
Suatu petang, saat sedang makan, kudengar percakapan yang mulanya tak kupahami. Ada seorang ibu dalam rombongan kami yang bertanya pada ibu- ibu lain, " Eh, Bapak- bapak itu nanti cukurnya lama nggak sih, setelah thawaf Ifadah ? "
Lalu disusul dengan beberapa kalimat laini, " Sudah buka belum ya? " dan " Sempat, nggak, ya? "
Aku tak mengerti mulanya. Tapi sebab percakapan itu berlanjut, dengan beberapa kalimat lain serupa " Masih belum puas, mau beli apa lagi ? " akhirnya cerita berhasil dirangkai juga. Oalaahhh... rupanya ada yang sedang menakar- nakar waktu, akankah nanti saat bapak- bapak mencukur gundul rambutnya setelah thawaf Ifadah pada tanggal 10 Dzulhijah para ibu itu sempat berbelanja (lagi) ?
Sejujurnya percakapan ini mengejutkan aku. Lebih mengejutkan dari kehebohan tengah malam di Madinah yang kuceritakan di atas.
Madinah itu juga masa pra puncak haji, tapi masih awal, masih jauh. Percakapan tentang apakah masih sempat berbelanja setelah thawaf Ifadah ini juga di masa pra puncak haji, tapi tanggalnya sudah dekat sekali dengan 8 Dzulhijah, hari dimana kami akan memulai niat kami berhaji.
Membingungkan bagiku, bagaimana di hari- hari semacam itu, fokus dan pemikiran masih bisa diberikan pada urusan belanja, dan bukan memikirkan apakah nanti semua akan berjalan lancar saat kami berada di Mina, Muzdalifah, Arafah, dan sebagainya ? Mengapa tak mengkhawatirkan kelancaran berhaji yang menjadi tujuan utama tapi memikirkan apakah toko akan sudah buka dan sempat atau tidak belanja di mall saat bapak- bapak bercukur seusai thawaf Ifadah?
***
[caption id="attachment_348442" align="aligncenter" width="314" caption="Ini bukan jualan, tapi ada yang membagikan cup cake gratis merayakan Idul Adha di Mekah. Dok: rumahkayu"]
Begitulah, kepala memang sama hitam, tapi pemikiran bisa (sangat) berbeda.
Perjalanan juga dilakukan dengan tujuan yang sama, yakni berhaji, tapi pada keseharian, isi pembicaraan dan fokus yang ada juga beragam.
Seperti yang kukatakan, aku tak hendak menakar soal ibadah orang. Dan urusan berbelanja, memang juga tak akan bisa dihindari sampai titik nol. Tapi menurut pendapatku, akan lebih elok rasanya jika saat beribadah haji ke Tanah Suci, kita juga menimbang- nimbang sikap dan tingkah laku agar tak menimbulkan kesan bahwa berangkatnya untuk berhaji, tapi pikirannya koq belanja melulu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H