Juga pagi itu.
Ketika melihat gelombang manusia berjalan keluar dari mulut terowongan di Mina menuju tempat melempar jumroh, hatiku terasa diremas- remas dan begitu saja air mata mengucur.
Aku malu... Malu...
Ada jutaan manusia yang saat itu memiliki tujuan yang sama untuk beribadah. Dan aku menyaksikan betapa niat beribadah itu menguatkan hati, dan fisik. Jiwa dan raga.
Aku tahu semua itu tidak mudah. Tidak ringan.
Sehari sebelumnya, seusai Thawaf Ifadah di Masjidil Haram, kami kembali ke Mina. Dan sebab kami tiba di Mina lebih siang dari yang direncanakan, bus sudah tidak lagi diperkenankan masuk melalui terowongan Mina. Maka kami harus turun sebelum terowongan dan berjalan kaki melintasi terowongan, menuju tempat melempar jumroh, lalu kembali ke tenda kami yang terletak tak jauh dari situ.
Aku sendiri bersyukur bahwa hal tersebut terjadi. Rencana aslinya, jika kami tak kesiangan, bus masih bisa menembus terowongan dan kami bisa turun di dekat tenda kami. Maka kami tak harus berjalan kaki menembus terowongan. Lebih mudah dan ringan. Tapi sungguh, bahwa rencana harus berubah dan pada akhirnya kami harus berjalan kaki itu kuhitung sebagai pengalaman berharga.
Sebab dengan pengalaman itulah aku bisa memahami, merasakan, bahwa berjalan kaki di bawah terik matahari yang menyengat bahkan untuk jarak sedekat itupun tak lagi bisa dikatakan ringan. Tetap lelahnya terasa.