" Oh yang itu yang dimaksud, " akhirnya dia berkata.
" Iyaaaa... " kataku gemas. " Nah, sudah tahu kan sekarang? Makasih ya... "
Namun dia tetap tak terlalu menanggapi ucapan terimakasihku. Menurutnya, apa yang dikatakannya padaku itu biasa- biasa saja. Dia memang menasihatiku tapi menurutnya mengapa hal itu menjadi dalam efeknya bagiku bukan semata karena kalimat yang dia katakan saja, tapi bisa jadi sebab dikatakan pada waktu yang tepat, ditambah aku sendiri kemudian merenungkannya. Maka semua itu jadi masuk ke hati.
Kupikir- pikir, bisa jadi juga begitu.
Kami sudah bersahabat lamaaaaaaa sekali. Hitungan persahabatan kami sudah menembus angka dua puluh tahun. Aku percaya padanya sebab tahu dia tulus hati. Maka ketika dia mengatakan sesuatu, kuterima itu sebagai suatu kebenaran. Ketika dia menasihatiku, kupikirkan apa ucapannya dan sebab apa yang dikatakannya memang baik, kuupayakan untuk menurutinya.
Walau merasa peristiwa yang terjadi agak 'lucu' ketika dia sendiri tak terpikir bahwa apa yang diucapkannya bisa berefek begitu dalam, akhirnya memang kupahami mengapa begitu. Sabahatku ini memang orang baik. Sangat baik. Dalam persahabatan kami yang begitu panjang, sejauh yang bisa kuingat, dia memang selalu bicara baik, dengan tujuan kebaikan pula. Maka sebab bicara baik itu memang kebiasaannya, tak heran jika dia menganggapnya biasa- biasa saja.
" Pantesan ya, " komentarku, " Kengapa para orang bijak menganjurkan kita untuk bicara yang baik- baik. Sebab kita tak pernah tahu, seperti apa efek bicara kita itu. Yang dipikir biasa- biasa saja oleh yang bicara, ternyata efeknya bisa dalam pada yang diajak bicara. "
Sahabatku mengomentari ucapanku. " Begitu juga sebaliknya, D, Â " katanya, " Bayangin kalau kita bicara buruk, lalu kita tidak ingat lagi hal itu, tapi yang diajak bicara mengingat hal itu seumur hidupnya. "
" Iya, " kataku menyepakati.
***
[caption id="attachment_352880" align="aligncenter" width="760" caption="Masjidil Haram - Mekah. Dok. pribadi"]