Aku sungguh tak ingin merusak perjalanan ibadah yang telah lama kuimpikan, kunantikan dan kuupayakan agar bisa terjadi itu. Maka... mau tak mau, kekesalan itu kutekan sedemikian rupa. Kututup mulutku rapat- rapat. Seingin apapun aku berkomentar kesal, atau marah, kuupayakan agar kekesalan dan kemarahan itu tak keluar dalam bentuk kata- kata. Sebisanya, aku mingkem saja.
Lalu apakah kekesalan itu juga langsung mereda ketika mulut tak bicara? Tidak selalu juga. Sejujurnya, ada banyak saat walau aku tak bicara, kekesalan itu masih menggantung dan mengusik- usik hati.
Dalam situasi begitu, kuperbanyak shalatku. Kuulangi lagi shalat taubat. Lagi dan lagi. Karena siapa tahu aku kesal sebab tak bersih hati. Semoga dengan shalat taubat itu kekesalan bisa terkurangi.
Disamping shalat taubat itu, pertolongan datang tak sengaja. Salah satunya dari sabahatku ini. Ketika aku sedang berkutat dengan banyak hal yang membuatku kaget dan kesal, sebuah pesan masuk ke telepon genggamku, menanyakan apakah aku sudah tiba di Tanah Suci. Pesan itu datang dari sahabat yang kuceritakan di atas.
Pesan tersebut kujawab. Kukatakan aku sudah berada di Madinah, dan kami kemudian terlibat obrolan yang lumayan panjang. Kuceritakan hari- hariku di Madinah padanya. Kukatakan betapa aku mendapat kemudahan ketika ke Rauhdah, dimana aku dijaga oleh orang- orang yang tak kukenal saat sedang melaksanakan shalatdi Raudhah.
Disamping itu, kuceritakan juga padanya tentang pengalamanku melihat hal- hal yang tak kusepakati, yang membuatku kesal. Dan saat kuceritakan hal inilah sahabatku itu menasihati aku. Nasihat yang kemudian membantuku merefleksikan banyak hal. Membuatku bisa lebih tenang, lebih sabar, dan lebih menahan diri lagi.
Sebab itulah pada kesempatan pertamaku bertukar sapa lagi dengannya ketika aku sudah kembali ke tanah air, kuucapkan terimakasih padanya. Dan setengah geli setengah ingin menjitak kepalanya sebab dia ternyata tidak ingat, apa yang pernah dikatakannya padaku.
" Tapi ingat kan, pernah ngobrol dengan aku saat aku di Madinah ? " tanyaku.
" Ingat, " katanya. " Aku cuma nggak ingat persisnya apa yang aku katakan sama kamu. "
Hih. Menggemaskan. Ha ha ha.
Kucoba menjelaskan lagi. Sampai akhirnya sahabatku itu penasaran. Dicarinya dalam telepon genggam dia percakapan yang kumaksud. Dia temukan. Dan diapun membaca ulang semuanya.