Dari manakah datangnya cinta ? Dari mata turun ke hati ! Demikian sebuah amsal klasik abadi yang sering kita dengar. Jadi sebegitu pentingkah mata, sebagai bagian indrawi manusia ? Sehingga, cinta yang begitu abstrak bisa ditangkap, lalu dipindahkan secara imajinatif ke dalam hati ? Itulah cara kerja mata, yang idrawi dan fungsional untuk yang abstrak dan riil.Â
Sebuah fakta, bahwa mata senantiasa tergoda untuk lebih menempatkan secara definitif tentang hal yang yang indah, baik dan menawan. Seringkali terungkap bahwa, seseorang akan lebih terpikat oleh kecantikan dan ketampanan orang lain. Pada dunia industri hiburan, paradigma ini begitu fungsional, untuk melegitimaksikan tentang kecantikan dan ketampanan. Kecantikan dan ketampanan sebagai sebuah keindahan, tentu menjadi kemutlakan untuk kerja kerja industri hiburan.Â
Scarlett Johansson, model asal Afrika begitu memesona manakala berperan pada banyak film. Dan akhirnya membuat publik terpukul manakala sebagai Black Widow, dia harus mati secara tragis demi kejayaan bumi ala Marvel Comic. Atau saya sempat terpukau dengan kecantikannya ketika bermain pada banyak film, yang komersiil atau yang mampu merampok apresiasi para kritikus, seperti Lost in Translation, The Man Who Wasnt There dan yang lain.Â
Cantik untuk aktris, tampan untuk aktor adalah sebuah dunia indah yang direkstruksi oleh Hollywood. Ketika dia indah secara indrawi, lantas yang melekat adalah kebaikan. Stereotip industri hiburan, mayoritas itu menempatkan cantik dan tampan dalam sebuah kerangka baik, hero, inspiratif dan selalu menang. Sementara yang buruk rupa pasti itu jahat. Sekalipun telah banyak skenario yang mencoba mebalikan terminologi tersebut, pada awalnya hukum cantik tampan itu baik selalu demikian adanya.Â
Doris G Barzinni (1989), dalam sebuah studinya mengungkapkan bahwa, kecantikan ketampanan itu identik dengan terminologi yang baik. Cantik tampan cerdas penuh akal, pasti akan mengalahkan yang buruk berotak dangkal tanpa strategi. Ini amsalnya. Ada yang bisa menggugat ? Alhasil, para sosok cantik dan tanpan dari dunia hiburan Hollywood tidak saja mendapatkan berkah kemapanan. Juga populartas yang abadi. Maka efek bola saljunya adalah, yang cantik tampan itu akan abadi dalam popularitasnya. Entah itu populer dalam moralitasnya yang baik dan buruk.Â
Manusia itu makhluk yang rakus, demikian Karl Marx pernah menggugat. Dampak popularitas lain yang bisa didulang, dari manusia manusia dengan kerakusannya. Ronald Reagen adalah aktor protagonis era 1960-70 an, akhirnya melangkah menjadi presiden Amerika. Juga Arnold Szwazeneger yang berhasil menjadi walikota, lantaran popularitasnya. Itu di luar definisi definisi non indrafi yang tertangkap oleh publik.
Di Indonesia, baru saja pilihan legislatif.  Gempita foto foto selebriti, tak lagi memenuhi ruang publik. Semuanya telah usai. Tentu ingatan kita  masih begitu kuat akan banyaknya aktris aktor tampan dan cantik, yang beradu untung untuk lebih rakus dari biasanya. Mencoba mengelabuhi publik dengan ketampanan fisik dan kemewahan tubuh, adalah daya  pihak yang dikonstruksi oleh mata. Alhasil, mata publik itu dibuai untuk bisa memilih para selebriti yang (bisa jadi) belum tentu mewah akal budinya.Â
Nampaknya, mata itu sesungguhnya menjebak. Yang tampan - cantik itu awalnya telah memikat mata. Lalu, menjebak dalam kepentingan komersiil dalam industri hiburan. Atau kepentingan pragmatis yang acap berelasi dengan politik praktis. Maka, akankah yang cantik dan tampan itu sebuah anugerah penuh kemujuran ?
Ketika buaian itu berpangkal dari mata, lalu, kenapa mata diciptakan ? Dari mata turun ke hati. Dari mata turun ke logika kooptatif. Tentu, mempunyai mata juga penuh dengan petualangan. Bukankah demikian ? Maka, mengutip Seno Gumira, bahwa mata itu bisa fiksi dan bisa faktual. Kerja kerja mata membuktikan rangkaian peristiwa itu.Â
( Tonny Trimarsanto, aktif di rumahdokumenter.com, pengajar di Pasca Sarjana ISI Solo )