[caption id="attachment_283951" align="alignnone" width="331" caption="Mantan ketua Panwaslu DKI/ Calon DPRD RI "][/caption] Anggaran Kementerian Pertanian (Kementan) RI pada tahun anggaran 1981-1982 mencapai 17%. Ini menunjukan pemerintah Orde Baru serius mencapai swasembada pangan. Keseriusan ini berhasil mengantarkan bangsa ini mencapai swasembada pangan pada dari tahun 1984 sd 1989. Presiden RI saat itu Soeharto bahkan mendapatkan penghargaan dari badan dunia untuk masalah pangan FAO (Food Agriculture Organization). Direktur Jenderal FAO, Edouard Saouma mengundang Presiden Soeharto untuk bicara pada forum dunia antar bangsa ini pada tanggal 14 November 1985. Sekarang ini anggaran Kementerian Pertanian untuk tahun 2014 mendapat sorotan publik karena hanya mendapatkan 2,5% dari APBN. Anggaran kementerian ini pada tahun 2014 mengalami pemangkasan sebesar 909,5 milyar disbanding tahun sebelumnya. Anggaran Kementan RI pada tahun 2013 sebesar Rp. 16.380,1 milyar, tetapi APBN 2014 sekarang berkurang menjadi Rp. 15.470,6 milyar. Anggaran kementerian ini cukup rendah dibandingkan anggaran Kementerian Pertahanan (13,6%), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (13,5%), Kementerian Pekerjaan Umum (12,2%), Kementerian Agama (8,1%), Kementerian Kesehatan (7,3%), Kepolisian RI (6,8%), Kementerian Perhubungan (6,4%), Kementerian Keuangan (3,1%), dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (2,7%). Anggaran Kementerian Pertanian tahun 2014 yang hanya 2,5 dari APBN sangatlah jauh dibandingkan dengan anggaran Departemen Pertanian tahun 1981-1984 yang mencapai 17%. Disaat persentase anggaran pertanian mengecil langkah Menteri Pertanian RI untuk melakukan langkah pemotongan anggaran menjadi tindakan non populis. Alasan masuk akal Menteri Suswono untuk ikut program penghematan nasional pemerintah kurang mendapat apresiasi. Kementerian ini turut mendukung kebijakan pemerintah dalam program subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Seperti diketahui pemerintah melakukan penghematan anggaran nasional sebesar Rp. 24,6 Trilyun karena defisit APBN Tahun Anggaran 2013 yang semula ditargetkan hanya 1,65% kemudian melampui hingga 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Anggaran APBN untuk kementerian yang ideal hingga 17% seperti tahun 1981-1982 dapat terjadi karena faktor booming harga minyak. Meroketnya harga minyak mentah saat itu memungkinkan belanja untuk kementerian meningkat. Disaat pemerintah defisit anggaran saat ini dan tengah melakukan efisiensi guna memberikan bantuan kepada rakyat miskin, maka upaya Kementerian Pertanian untuk ikut program penghematan perlu diapresiasi. Pemotongan anggaran Kementerian Pertanian tentunya mengurangi anggaran disejumlah pos anggaran. Pengurangan pos-pos anggaran terjadi di semua Direktorat Jenderal (Irjen), Inspektorat Jenderal (Irjen) dan Sekretaris Jenderal (Sekjen). Pos-pos kegiatan belanja non operasional dan perjalanan dinas mendapat pengurangan. Pos belanja strategis seperti peningkatan produktifitas lahan padi, cetak sawah baru, bantuan benih kopi ke daerah, serta pengembangan kawasan sentra buah turut mendapat pemotongan. Untuk melihat bentuk pengurangan anggaran 2014 yang akan dilakukan kementerian dapat kita coba bandingkan dengan penyampaian pemotongan anggaran tahun 2012 lalu. Dalam rapat kerja Kementan RI dengan Komisi IV DPR RI tanggal 7 Maret 2012 rincian pemotongan total anggaran sebesar Rp. 632 milyar dapat dirinci antara lain: Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian sebesar Rp. 206.43 milyar, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP) sebesar Rp 16,54 miliar, Ditjen Tanaman Pangan sebesar Rp 128,56 miliar (termasuk Rp 84 miliar dari penghematan anggaran padi hibrida), Sekretariat Jenderal sebesar Rp 78,62 miliar, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan sebesar Rp 56,19 miliar, Badan Litbang Pertanian sebesar Rp 41,02 miliar, Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian sebesar Rp 33,93 miliar, Ditjen Perkebunan sebesar Rp 28,78 miliar, Ditjen Holtikultura sebesar Rp 17,87 miliar, Badan Karantina Pertanian sebesar Rp 13,09 miliar, Badan Ketahanan Pangan sebesar Rp 7,07 miliar, serta Inspektoral Jenderal sebesar Rp 3,25 miliar. Mengapa publik khawatir dengan penurunan anggaran Kementerian Pertanian tahun 2014? Disaat harga-harga produk pertanian seperti buah, sayur dan daging sapi masih sangat tinggi seperti sekarang ini, maka pertanyaan tersebut menjadi wajar. Pertanyaan sederhana muncul, “bagaimana dapat melakukan swasembada pangan, jika anggaran kementerian susut?”. Sejumlah pengamat ekonomi bahkan anggota Komisi IV DPR RI yang menjadi partner kementerian pertanian mempertanyakan hal ini. Pertanyaan ini berhak diajukan karena upaya swasembada pangan membutuhkan revitalisasi infrastruktur dan upaya gigih pemerintah untuk mengendalikan harga dan menjaga pasokan. Untuk itu diperlukan anggaran yang cukup untuk upaya-upaya mengarah kepada program swasembada tersebut. Dalam mensikapi susutnya anggaran Kementerian Pertanian untuk tahun 2014 penulis melihat dua sisi.Pertama, kenaikan anggaran Kementerian Pertanian belum tentu berbanding lurus dengan kenaikan produksi pertanian. Anggaran kementerian pertanian dari tahun 2005-2011 kenaikan sebesar 600%. Sayangnya kenaikan sangat signifikan tersebut tidak berhasil menarik produk keluaran kementerian pertanian seperti peningkatan produksi padi periode tahun 2005-2011 yang hanya 21,4%, produksi jagung peningkatan 40,76%, ubi kayu 24,26%, ubi jalar 18,05% dan kedelai sebesar 4,38%. Peningkatan anggaran kementerian yang signifikan tetapi tidak menunjang keberhasilan produksi pertanian justru mendorong terjadinya kelangkaan pangan seperti produk sayur, buah dan daging sapi hari ini. Akibatnya impor menjadi solusi. Bagaimana swasembada pangan dapat dilakukan apabila keran impor dibuka terlalu lebar? Berdasarkan pertimbangan bahwa kenaikan anggaran Kementerian Pertanian tidak berbanding lurus dengan produksi pertanian yang dihasilkan, maka sudah sewajarnya kementerian ini ikut mendukung program substitusi BBM pemerintah secara nyata. Kenaikan anggaran APBN signifikan tentunya akan diminta pertanggungjawaban kenaikan hasil produk pertanian dan berkurangnya produk-produk pertanian impor. Dengan jawaban ini, maka banyak pengamat akan menganggap harapan swasembada pangan kebutuhan padi, jagung, kedelai, gula dan daging sapi semakin jauh dari harapan. Kedua, penurunan anggaran kementerian pertanian tahun 2014 dapat membuat pesimis banyak pihak tidak membuat surut untuk meningkatkan produksi hasil pertanian guna mencapai swasembada pangan. Alasannya karena anggaran sektor pertanian yang 17% pada tahun 1981-1982 sebenarnya masih tetap berlangsung hingga sekarang ini. Coba lihat data Departemen Keuangan yang menjelaskan bahwa sejak tahun 2002 alokasi anggaran pertanian sudah disebar ke 21 instansi kementerian lain dan lembaga. Kedua belas instansi itu Antara lain; Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Departemen Pertanian (Deptan), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag), Kementerian Koperasi dan UKM, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Departemen Kehutanan (Dephut), Departemen Pekerjaan Umum (DPU), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Departemen Kesehatan (Depkes) dan Kementerian Daerah Tertinggal (KDT). Rata-rata nilai anggaran pertanian selama periode 2002-2007 di berbagai instansi yang disebutkan diatas mencapai 13,77%. Jika kita asumsikan anggaran pertanian 2002-2007 adalah anggaran tahun 2014 yakni 13,77% ditambah anggaran Kementerian Pertanian saat ini 2,5%, maka anggaran untuk pertanian 16,2% tidak berbeda jauh dengan anggaran ideal Departemen Pertanian pada tahun 1981-1982 yang sebesar 17%. Perbedaannya adalah pada masa lalu swasembada pangan dapat diraih sedangkan pada saat sekarang kerja sangat keras Kementerian Pertanian RI diharapkan dapat mengejar ketertinggalan untuk swasembada pangan. Ketiga, DPR RI masih dapat melakukan kontrol anggaran terhadap Kementerian Pertanian. Anggaran 2,5% APBN tahun 2014 merupakan bentuk kontrol parlemen terhadap eksekutif. Kontrol lain yang dapat dilakukan lainnya adalah adalah perombakan tata niaga impor pangan. Usulan Kamar Dagang Indonesia (Kadin) untuk memangkas potensi kartel tentunya dapat meningkatkan peran Kementan untuk swasembada. Studi korupsi terkait ketahanan pangan perlu dilakukan oleh KPK agar upaya ketahanan pangan yang menyangkut hajat hidup sebagian besar rakyat Indonesia tidak tersangkut bias korupsi. Keempat, Otonomi Daerah yang menjadi primadona Orde Reformasi tentunya masih pro rakyat. Sektor pertanian masih menjadi tumpuan sebagian besar rakyat Indonesia. Penyusunan APBD Kabupaten/Kota yang menjadikan sektor pertanian unggulan masih berjalan dan dapat ditingkatkan. Tentunya perlu dicatat bahwa semua sektor pemerintah yang menerima anggaran pertanian saling bahu membahu untuk mendorong agar politik anggaran keuangan daerah selalu memperhatikan swasembada pangan untuk daerah yang bersangkutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H