Mohon tunggu...
Yadi Mulyadi
Yadi Mulyadi Mohon Tunggu... Dosen - Arkeolog

Arkeolog dari Bandung tinggal di Makassar dan mengajar di Departemen Arkeologi Universitas Hasanuddin Makassar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sangasanga sebagai Kawasan Cagar Budaya di Kalimantan Timur

9 Oktober 2020   07:21 Diperbarui: 26 Oktober 2020   17:11 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pompa Anguk yang digunakan pada periode awal tambang minyak di Sangasanga | dokpri

Di kawasan ini terdapat objek cagar budaya dan diduga cagar budaya yang terkait dengan sejarah tambang minyak bumi di Indonesia. Objek tersebut tersebar di wilayah Kecamatan Sangasanga, berupa benda, bangunan, struktur, dan situs yang merefleksikan Sangasanga sebagai Kota Industri Minyak Bumi. 

Sangasanga berkembang menjadi kota industri minyak bumi, setelah ditemukannya cadangan minyak bumi yang kemudian ditambang oleh Pemerintah Belanda melalui perjanjian konsesi dengan Kerajaan Kutai Kartanagara pada 1887 Cadangan minyak bumi yang melimpah di kawasan ini menjadikan Sangasanga berkembang sebagai kota industri minyak bumi sekaligus kota industri pertama di Kalimantan Timur (Oktrivia, 2010).

Sejak penemuan sumber minyak pada 1897, Sangasanga segera berevolusi menjadi kota industri. Belanda membangun banyak dermaga untuk mengirim minyak dengan kapal-kapal tangki. Sejumlah bangsal dibangun untuk pegawai Eropa dan nusantara. Sebagian bangsal itu masih berdiri hingga sekarang.

Menurut catatan pada 1939, Sangasanga sudah memiliki 7 dermaga, 613 sumur, dengan produksi 70 ribu ton minyak sebulan (Kristianto, 2008).

Adapun sumur-sumur minyak Sangasanga pertama kali dibuat oleh NIIHM yang merupakan singkatan untuk Nederlandsch-Indische Industrie en Handel Maatschappij, maskapai minyak Belanda yang khusus didirikan untuk menjalankan eksplorasi dan eksploitasi minyak di Nederlandsch-Indische yang beroperasi antara 1897 hingga 1905. 

Periode 1905 menandai pengelolaan tambang minyak bumi di Sangasanga dilakukan oleh Batavia Petroleum Maatschappij (BPM) sampai 1942. Pada periode ini mulai dibangun seperti bangsal, pasar dan sekolah. 

Kemudian pada periode 1942-1945 pengelolaan oleh Jepang yang membangun fasilitas pengeboran dan menambah sumur-sumur minyak guna kepentingannya dalam menghadapi perang dengan sekutu. Selain itu dibangun juga barak atau bangsal untuk menampung para pekerja dan tentara.

Selanjutnya pasca 1945, tambang minyak bumi di Sangasanga dikelola oleh  BPM/SHELL atau Pertamina sampai 1972. Pada masa ini Belanda yang mengambil alih perusahaan bekerja sama dengan perusahaan Shell serta Perusahaan Minyak Nasional (PERMINA). 

Periode berikutnya yaitu mulai 1972- 1992 pengelolaan beralih ke TIPCO -- Tesorro yang merupakan perusahaan dari Amerika Serikat, dimana peningkatan pengeboran minyak semakin maju dan cenderung tidak terkontrol. 

Lalu pada periode 1992 -- 2008 pengelolaan beralih ke PT Medco E & P. Pada periode ini fasilitas produksi, alat eksplorasi dan perumahan tidak dipergunakan secara memadai karena pemakaian tenaga kerja yang semakin berkurang. Sejak 2008 sampai sekarang kepemilikan dan hak eksplorasi minyak bumi di Sangasanga dimiliki oleh Pertamina.

Dengan demikian Sangasanga tumbuh dan berkembang sebagai sebuah kota seiring dengan aktifitas tambang minyak yang dimulai di Sumur Loise yang merupakan lokasi pengeboran pertama di Sangasanga. Keberadaan bangunan, struktur dan situs cagar budaya di kawasan ini menjadi bukti sejarah pertumbuhan industri minyak di Indonesia, dari masa ke masa mulai 1879 sampai sekarang.

Hal ini berarti nilai penting kawasan Sangasanga sebagai cagar budaya terkait dengan nilai sejarah pertumbuhan industri minyak di Indonesia. 

Aktivitas tambang minyak ini yang kemudian menjadikan wilayah ini semakin ramai, banyak pendatang yang datang atau juga didatangkan untuk bekerja di tambang minyak.

Seiring dengan itu dibangun sarana dan prasarana pendukung berupa permukiman, jaringan jalan, jembatan, pelabuhan, dan fasilitas umum seperti klinik kesehatan, sekolah, kantor pos, dan rumah ibadah, serta fasilitas hiburan yang bioskop, kolam renang dan gedung kesenian yang disebut Gedung Sandisa, yang merupakan akronim dari Sandiwara Sangasanga. 

Tinggalan bangunan dari periode awal tambang minyak di Sangasanga sampai saat ini masih ada, walaupun beberapa di antaranya sudah tidak ada, rusak, atau berganti dengan bangunan baru.

Namun demikian tetap tidak menghilangkan kesan Sangasanga sebagai kota minyak yang bersejarah. Hal ini merefleksikan nilai penting pengetahuan terkait tata ruang kota yang tumbuh dari adanya industri minyak, sebuah kota industri yang terdiri dari masyarakat dengan berbagai latar belakang etnis berbeda.

Keberadaan bangunan cagar budaya yang terdapat di Sangasanga, merupakan warisan budaya bendawi yang memiliki nilai penting pengetahuan khususnya terkait dengan arsitektural dan ilmu sipil. Bangunan dan sarana penunjang pertambangan di Sangasanga merefleksikan langgam gaya perkembangan arsitektural dari periode pertama sampai keempat (1897-1972) sesuai dengan masa perusahaan pemegang konsesi tambang minyak (Oktrivia, 2009).

Adapun benda cagar budaya berupa peralatan pengeboran sumur, seperti pompa anguk maupun struktur sumur bor, memiliki nilai penting pengetahuan terkait geologi, ilmu pertambangan, dan teknik mesin.

Pada perkembangan selanjutnya ketika Jepang menduduki Sangasanga (1942-1945), dibangun fasilitas tambahan berupa bangsal untuk pekerja dan tantara, serta gua pelindungan yang oleh masyarakat disebut dengan nama Gua Jepang.

Keberadaan bangunan dari periode Jepang ini, merupakan bukti perjuangan para pejuang Sangasanga, dimana masyarakat yang didatangkan dari Jawa oleh Jepang dijadikan Romusha untuk membangun fasilitas tersebut.

Mereka menjadi pekerja paksa untuk membangun berbagai fasilitas termasuk membuat gua untuk pelindungan sekaligus bunker untuk strategi pertahanan yang dipergunakan Jepang untuk melawan sekutu.

Setelah Jepang berhasil dikalahkan oleh sekutu, pihak Belanda kembali mengambil alih kekuasaan yang kemudian memicu perlawanan dari para pejuang Sangasanga. Pertempuran terjadi di beberapa lokasi di Sangasanga. Perang Sanga Sanga dilakukan eks romusha Jepang yang berasal dari Pulau Jawa.

Salah satu tokoh yang menonjol adalah Budiyoyo atau Budiono yang tergabung dalam Badan Penolong Perantau Indonesia, yang selanjutnya berubah menjadi barisan pejuang yang tergabung dalam Badan Pembela Republik Indonesia (BPRI).

Pertempuran tersebut dikenal dengan nama Peristiwa Merah Putih Sangasanga yang berawal ketika tentara Belanda pada tahun 1945 menguasai Sanga-Sanga yang kaya akan sumber minyak (Kristianto, 2018).

Monumen Perjuangan Merah Putih | dokpri
Monumen Perjuangan Merah Putih | dokpri

Hal tersebut membuat rakyat Sangasanga bersikeras mengusir Belanda, dengan melakukan perlawanan, hingga para pejuang mengadakan rapat dan tercetuslah rencana merebut gudang senjata Belanda dengan cara mengalihkan perhatian penjajah kepada berbagai keramaian kesenian daerah.

Di tengah keramaian, para pejuang membagikan senjata dan amunisi untuk merebut kekuasaan pada pukul 03.00 wita dinihari 26 Januari 1947. Perjuangan pun berhasil, sehingga pada pukul 09.00 wita kota Sangasanga berhasil dikuasai pejuang, ditandai dengan diturunkannya bendera Belanda di Sangasanga Muara oleh La Hasan (Kristianto, 2018). 

Sebagai tanda peringatan perjuangan, di Sangasanga dibangun monumen perjuangan terukir nama-nama pejuang yang gugur pada saat itu. Peristiwa tersebut diperingati sebagai Peristiwa Perjuangan Merah Putih Sangasanga 27 Januari.

Peristiwa ini juga yang menjadikan Sangasanga sebagai kota pertama di Kalimantan Timur yang merdeka dan terbebas dari penjajahan Belanda. Menjadi kota pertama di Kalimantan Timur yang terlepas dari cengkeraman Belanda tidaklah mudah. Para pejuang bangsa saling bahu-membahu melengserkan kedudukan Belanda.Bahkan tidak cuma pribumi yang ikut berperang. 

Saat Belanda peristiwa Perlawanan Samseng, Warga Tioghoa yang tinggal di sana turut berperang (http://pajar.web.id/sanga-sanga-kota-perjuangan/).

Hal ini juga yang memperkuat arti khusus Sangasanga bagi masyarakat sebagai Kota Juang yang kemudian diwujudkan dalam bentuk pendirian monumen dan museum, yaitu Monumen Perjuangan Merah Putih yang diresmikan pada 27 Januari 1977, Monumen Palagan Merah Putih yang dibangun pada 2002, dan Museum Perjuangan Merah Putih yang diresmikan pada 27 Januari 2007. 

Setiap 27 Januari kota ini mengadakaan ragam kegiatan yang menarik mulai dari napak tilas, upacara peringatan perjuangan Merah putih, sampai ziarah ke Taman Makam Pahlawan Wadah Batuah.

Berdasarkan hal tersebut, Sangasanga selain sebagai kota minyak juga kota juang yang memiliki nilai penting sejarah terkait perjuangan melawan penjajahan untuk mencapai kemerdekaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun