Paradigma pengelolaan Cagar Budaya dewasa ini, diarahkan pada pelibatan masyarakat secara aktif dalam setiap upaya pengelolaannya. Hal ini sejalan dengan tujuan pengelolaan Cagar Budaya yaitu kebermanfaatan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.Â
Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa setiap upaya pengelolaan Cagar Budaya harus berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, karena merekalah pemilik syah Cagar Budaya.Â
Dengan demikian, jika pengelolaan Cagar Budaya tidak memberikan manfaat pada masyarakat maka pengelolaan yang dilakukan dianggap tidak berhasil.
Hal inilah yang kini menjadi tantangan besar bagi para pengelola atau pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan Cagar Budaya. Bagaimana membuat suatu bentuk pengelolaan Cagar Budaya yang bukan hanya berdampak pada lestarinya Cagar Budaya tetapi juga memberikan manfaat berupa kesejahteraan bagi masyarakat. Oleh karena itu, setiap rancangan pengelolaan Cagar Budaya diharapkan memberikan ruang sekaligus peluang yang besar bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif.
Dalam Undang-Undang Cagar Budaya No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dengan tegas menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan Cagar Budaya harus lebih ditingkatkan. Paradigma pengelolaan Cagar Budaya tidak lagi hanya ditujukan untuk kepentingan akademik semata, tetapi harus meliputi kepentingan idiologik dan juga ekonomik. Oleh karena itu, untuk mencapai ketiga kepentingan tersebut, diperlukan sinergitas antara pemerintah, akademisi, masyarakat dan juga sektor swasta.
Pelestarian dalam konteks Cagar Budaya, dapat dimaknai sebagai upaya pengelolaan sumber daya budaya yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.Â
Dalam kata lain, hakekat dari pelestarian Cagar Budaya adalah suatu kegiatan berkesinambungan (sustainable activity) yang dilakukan secara terus menerus dengan perencanaan yang matang dan sistematis, sehingga kebermanfaatannya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat yang merupakan pemilik syah  Cagar Budaya.
Hal lain yang perlu dipahami adalah, bahwa pelestarian Cagar Budaya tidak hanya terkait dengan objek dari Cagar Budayanya saja, tetapi juga meliputi aspek-aspek lain baik yang terkait langsung maupun tidak langsung. Hal ini berdasarkan pada kenyataan Cagar Budaya itu tidaklah berdiri sendiri. Secara arkeologis, jelas terlihat bahwa setiap Cagar Budaya  terikat dengan konteksnya baik, lingkungan maupun budaya secara umum. Oleh karena itu, pelestarian Cagar Budaya harus mencangkup pelestarian konteks Cagar Budaya itu sendiri termasuk lingkungan. Secara global, gagasan ini pun telah diterapkan oleh sebagian besar negara, bahkan UNESCO dalam hal ini merumuskannya dalam konsep Natural Heritage Landscape, dimana Cagar Budaya merupakan satu kesatuan dengan bentang alam dan bentang budaya. Hal ini berarti, pelestarian Cagar Budaya tidak dapat lagi dilepaskan dari pelestarian lingkungan atau alam.
Selain itu, pelestarian merupakan upaya agar suatu karya budaya baik yang berupa gagasan, tindakan atau perilaku, maupun budaya bendawi tetap berada dalam sistem budaya yang masih berlaku. Seringkali, karya budaya yang hendak dilestarikan pernah terbuang atau ditinggalkan, tetapi kemudian ditemukan kembali.Â
Selanjutnya, karena nilai-nilai karya budaya itu dianggap penting maka karya budaya itu dimasukkan kembali dalam sistem budaya yang berlaku saat ini dengan tujuan untuk membangkitkan semangat dan kebanggaan masyarakat masa kini, atau juga sebagai tujuan wisata. Dengan demikian, pelestarian pada dasarnya tidak bersifat statis, tetapi dinamis.Â
Implikasi dari kegiatan pelestarian yang sifatnya dinamis ini adalah adanya peluang perubahan, dan hal inilah yang harus terkendali. Pelestarian yang terkendali menjadi syarat mutlak agar nilai-nilai yang terkandung di dalam Cagar Budaya itu tetap lestari dan kegiatan pelestarian Cagar Budaya dapat berjalan searah dan bahkan dapat saling mendukung dengan kegiatan pembangunan.Â
Situasi sinergis ini akan terjadi apabila perencanaan pelestarian dan pengembangan di area yang mengandung Cagar Budaya dapat dilakukan secara terpadu dan terkoordinasikan.
Perlu dipahami pula bahwa pelestarian tidak hanya berorientasi masa lampau. Sebaliknya, pelestarian harus berwawasan ke masa kini dan masa depan, karena nilai-nilai penting itu sendiri diperuntukkan bagi kepentingan masa kini dan masa depan.Â
Mengacu pada aspek pemanfaatan Cagar Budaya, tujuan pelestarian dapat diarahkan untuk mencapai nilai manfaat (use value), nilai pilihan (optional value), dan nilai keberadaan (existence value).Â
Dalam hal ini, nilai manfaat lebih ditujukan untuk pemanfaatan Cagar Budaya pada saat ini, baik untuk ilmu pengetahuan, sejarah, agama, jatidiri, kebudayaan, maupun ekonomi melalui pariwisata yang keuntungannya (benefit) dapat dirasakan oleh generasi saat ini. Hal yang perlu dipahami dengan baik adalah, bahwa manfaat ekonomi ini bukanlah menjadi tujuan utama dalam pemanfaatan Cagar Budaya sebagai objek wisata, tetapi merupakan dampak positif dari keberhasilan pemanfaatan Cagar Budaya dalam pariwisata.Â
Kelemahan umum yang dijumpai pada pada manajemen pengelolaan situs dan Cagar Budaya adalah kecenderungan pihak pengelola untuk memperlakukan situs dan Cagar Budaya sebagaimana layaknya sumberdaya yang terbaharui, bahkan tidak jarang dijumpai dilakukan modernisasi situs maupun temuannya.Â
Jika disadari, peristiwa ini justru telah menghilangkan nilai budaya dan historis yang dikandungnya. Terlebih lagi dalam perspektif pendidikan dan ilmu pengetahuan, situs hanya bermanfaat jika masih berada pada kondisi yang sebenarnya.Â
Sebuah Cagar Budaya memiliki nilai hanya jika masih dijumpai dalam keadaan utuh bentuknya (form), bahan (material), tata letak (setting), dan juga teknik pengerjaannya (workmanship). Hal inilah yang harus diperhatikan dalam upaya pengelolaan Cagar Budaya.
Dalam rangka mencapai tujuan pelestarian dari suatu Cagar Budaya, maka ada tahap-tahap persiapan maupun pelaksanaan pelestarian. Tahap-tahap yang umumnya dilakukan adalah sebagai berikut; (1) meneliti dan mengungkapkan nilai-nilai penting Cagar Budaya, (2) melindungi sebagian atau seluruh Cagar Budaya agar dapat bertahan lebih lama dalam sistem budaya, (3) sedapat mungkin menghambat kerusakan atau merosotnya nilai-nilai pentingnya, (4) menyajikan dengan sebaik-baiknya nilai-nilai penting Cagar Budaya agar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.Â
Presentasi atau penyajian nilai penting itu kepada masyarakat seringkali menjadi masalah dalam pelestarian. Kurangnya informasi tentang nilai penting di balik benda-benda budaya mengakibatkan masyarakat tidak dapat merasakan manfaatnya.
Upaya pelestarian dapat dilaksanakan dalam tiga kegiatan utama yaitu pelindungan, pemanfaatan, dan pengembangan. Pelindungan dimaksudkan untuk mencegah agar Cagar Budaya tidak mengalami kerusakan dan kehancuran, sehingga kita akan kehilangan selamanya. Pengembangan dapat diartikan sebagai upaya untuk menjaga kualitas penampilan Cagar Budaya agar dapat difungsikan terus seperti fungsi semula atau untuk fungsi lain yang sesuai dengan ketentuan undang-undang.Â
Pemanfaatan, memberikan kegunaan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, baik untuk pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, ekonomi, maupun kebudayaan di masa kini dan mendatang. Dalam setiap kegiatan pelestarian tersebut, peran masyarakat dapat diwujudkankan dalam berbagai bentuk, termasuk dalam upaya pemanfaatan Cagar Budaya.
Dalam persepktif akademik, pemanfaatan Cagar Budaya diarahkan pada peningkatan partisipasi masyarakat secara aktif, karena perubahan paradigma mengenai Cagar Budaya itu sendiri, dimana pemilik syah dari Cagar Budaya adalah masyarakat.Â
Oleh karena itu pelibatan masyarakat menjadi hal yang penting dilakukan dalam pemanfaatan Cagar Budaya. Salah satu bentuk pemanfaatan Cagar Budaya yang bersifat partisipatoris, salah satunya berupa pengelolaan berbasis komunitas.Â
Bentuk pengelolaan berbasis komunitas pada prinsipnya sejalan dengan pemanfaatan Cagar Budaya dewasa ini yang tidak hanya dilihat dari konteks arkeologi, melainkan lebih pada keterkaitan antara tinggalan arkeologi sebagai Cagar Budaya tersebut dengan kehidupan masyarakat kini, baik yang menyangkut kepentingan akademis, sosial, idiologis, ekonomis dan kepentingan-kepentingan lainnya.
Era pengelolaan Cagar Budaya untuk negara (archaeology in the service of the state) sebagaimana diutarakan Daud Aris Tanudirjo (2004) tidak tepat lagi untuk diterapkan saat ini. Pemanfaatan Cagar Budaya di era terkini adalah pengelolaan untuk masyarakat. Sebagai konsekuensinya, dalam kebijakan pelestarian yang baru, para aparatur negara atau pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan warisan budaya tidak lagi menjadi 'abdi negara' tetapi menjadi 'abdi masyarakat'.
Sudah saatnya pemerintah berperan sebagai fasilitator dalam pengelolaan dan pemanfaatan Cagar Budaya untuk membantu masyarakat dalam proses pemaknaan atau pemanfaatan Cagar Budaya itu. Para pengelola Cagar Budaya dari unsur pemerintah dapat memberikan masukan-masukan sesuai dengan keahlian dan pengetahuan, sehingga masyarakat dapat menentukan pilihan mereka sendiri dengan tepat.Â
Konsep pengelolaan yang mengarah pada partisipasi publik ini, menjadi peluang bagi masyarakat untuk menjadi aktor utama dalam pengelolaan Cagar Budaya yang berwawasan pelestarian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H