Mohon tunggu...
Yadi Mulyadi
Yadi Mulyadi Mohon Tunggu... Dosen - Arkeolog

Arkeolog dari Bandung tinggal di Makassar dan mengajar di Departemen Arkeologi Universitas Hasanuddin Makassar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelestarian Pasar Cinde sebagai Cagar Budaya

21 Agustus 2016   20:13 Diperbarui: 28 Oktober 2016   12:14 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasar Cinde yang terletak di Kota Palembang merupakan pasar tradisional yang bernilai sejarah bukan karena dari faktor usianya saja yang telah lebih dari 50 tahun, tapi karena telah menjadi bagian perjalanan panjang sejarah Palembang sebagai sebuah kota. Dalam literature sejarah ada yang mengatakan bahwa arsitek yang merancang bangunan Pasar Cinde adalah Thomas Karsten, salah seorang arsitek ternama yang memberikan banyak kontribusi dalam perkembangan ilmu rancang bangun dan desain bangunan di Indonesia.  Namun, berdasarkan penelusuran oleh Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia, ternyata Arsitek yang merancang Pasar Cinde adalah Abikusno Tjokrosuyoso lahir pada tanggal 16 Juni 1897 di Ponorogo. Ia merupakan ahli bangunan (arsitek), juga tokoh PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), serta pejuang kemerdekaan Indonesia (sumber: https://tirto.id/m/abikoesno-tjokrosuyoso-tB).  

Pembangunan Pasar Cinde yang baru dilakukan pada 1958 menjadikannya sebagai pasar tradisional lengkap yang pertama dibangun di Kota Palembang pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Selain itu, keberadaan Pasar Cinde terkait erat dengan jejak karya Tokoh Arsitek Awal Indonesia. Hal ini menjadikan Pasar Cinde bernilai sejarah terkait dengan identitas Kota Palembang yang pada masa lalu pernah dijuluki sebagai Kota Venesia dari Timur. Sebelum dibangun permanen pada 1958 tersebut, pasar ini dikenal dengan nama Pasar Lingkis. Nama pasar Lingkis berubah menjadi Cinde. Nama Lingkis sendiri kini diabadikan sebagai nama lorong di seberang pasar Cinde. Sedangkan nama Cinde, berasal dari makam Sultan Abdurahman, pendiri Kesultanan Palembang. Makam inilah yang disebut dengan Candi Welan/Walang. 

Dari kata candi ini juga, masyarakat menyebutnya dengan nama Cinde. Sehingga disebut dengan pasar Cinde. Dalam versi lain, nama cinde ini berasal dari kata cinde yang berarti cantik. Dan saat ini Pasar Cinde telah menjadi land mark kota Palembang dan selalu ramai dikunjungi orang, baik oleh  masyarakat Palembang sendiri maupun wisatawan yang datang ke Palembang. 

Itulah sebabnya, ketika bergulir rencana pembongkaran Pasar Cinde dalam rangka pembangunan Plaza Cinde Aldiron/Member of Aldiron Hero Group langsung menjadi pro dan kontra di masyarakat. Pemberitaan mengenai Pasar Cinde ini pun marak di berbagai media lokal dan nasional baik cetak maupun online. Bahkan berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam beragam komunitas, menyuarakan petisi online yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo untuk penyelamatan Pasar Cinde dari kehancuran.

Adanya keterikatan historis yang kuat antara masyarakat dengan Pasar Cinde menjadikan munculnya ketakutan masyarakat akan kehilangan identitas sejarah Kota Palembang jika Pasar Cinde dibongkar dan dibuatkan bangunan baru. Terkait dengan keberatan masyarakat terhadap rencana pembongkaran pasar ini, terlihat pada jumlah tanda tangan petisi online Save Pasar Cinde yang telah lebih dari 1600 tanda tangan (lihat). Petisi online ini didukung oleh 15 lembaga dan komunitas baik yang berlatar belakang profesi seperti Arkeolog, Arsitek, Antropolog, dan Sejarawan maupun kalangan akademisi serta para pelestari sajarah dan budaya. 

Keberpihakan masyarakat pada penyelamatan Pasar Cinde merupakan wujud nyata dari kepedulian mereka pada upaya pelestarian Pasar Cinde sebagai warisan budaya, penanda kota dan Cagar Budaya Kota Palembang, kebanggaan masyarakat Sumatera Selatan. Paradigma dalam pelestarian warisan budaya yang berkembang saat ini adalah bahwa pemilik syah dari warisan budaya adalah masyarakat, dengan demikian dalam kasus Pasar Cinde ini suara masyarakat harus menjadi pertimbangan utama dalam pelestarian Pasar Cinde. 

Berdasarkan paparan di atas, yang melatarbelakangi pentingnya kajian pelestarian Pasar Cinde perlu segera dilakukan. Terlebih adanya kepentingan lain berupa rencana pembangunan Plaza Cinde Aldiron/Member of Aldiron Hero Group yang tentu akan merubah bahkan menghilangkan Pasar Cinde. Hal inilah yang menjadi dasar pelunya kajian pelestarian Pasar Cinde. 

Kajian pelestarian yang mencoba mencari titik temu antara kepentingan pembangunan dan juga kepentingan pelestarian cagar budaya. Dalam konteks ini, pelestarian cagar budaya perlu dipahami sebagai sesuatu yang dinamis, dalam artian pelestarian dimaknai sebagai upaya memaknai cagar budaya dalam konteks kekinian. Pelestarian harus berwawasan penelitian dan berorientasi pada kepentingan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun