Selain nasionalismenya yang tanpa batas, pelajaran terpenting dari Hatta adalah integritasnya yang tinggi. Tidak pernah ia bekerja untuk kepentingan pribadinya. Segala keputusannya adalah semata untuk kepentingan bangsa yang ia cintai.
Terlahir sebagai Mohammad Athar seratus empat tahun yang lalu, kiprahnya kelak seharum arti namanya. Setelah menempuh pendidikan di Sumatera Barat dan Batavia, Hatta lanjut ke Rotterdam mengambil jurusan ekonomi. Di negeri kincir angin ia aktif dalam organisasi "Perhimpunan Indonesia".
Lewat majalah "Indonesia Merdeka", dimana ia adalah pemimpin redaksinya, PI adalah kritikus paling tajam yang mengecam kolonialisme di Hindia Belanda. Rupanya Belanda sadar bahwa pena Hatta lebih tajam dibandingkan pedang Diponegoro Kalau Diponegoro gugur, terbukti perang akan padam. Namun tidak masalah kalau Hatta mati di ujung bedil, karena kader-kadernya telah siap untuk terus melanjutkan pemikirannya.
Atas dasar inilah Hatta bersama beberapa petinggi PI ditangkap di tahun 1927. Berada di balik jeruji besi tidak membuat Hatta gentar. Justru itu adalah kesempatan yang baik untuk membuka mata dunia akan tidak adilnya kolonialisme di tanah air. Di depan pengadilan, Hatta membaca pidatonya yang terkenal dengan judul "Indonesie Vrij" (Indonesia Merdeka). Sebuah pledoi yang kualitasnya setara dengan Indonesia Menggugat-nya Sukarno. Kelak pemikiran Hatta ini menjadi semacam buku putih bagi aktivis pergerakan di tanah air.
Hanya tiga tahun setelah kembali ke tanah air, Hatta kembali diciduk polisi. Tulisan-tulisan Hatta di bidang politik dan ekonomi meresahkan Belanda. Tahun 1935, Hatta, Syahrir dan beberapa pemimpin PNI-baru dibuang ke Boven Digoel, sebuah daerah malaria di Papua.
Sampai di pengasingan, dia ditawari untuk bekerja bagi pemerintah lokal dengan bayaran 40 sen gulden sehari, atau menjadi orang buangan yang menerima ransum makanan dalam jumlah terbatas, dan tanpa harapan untuk kembali mengirup kebebasan. Dengan tegas Hatta menjawab, "Kalau dulu saya menerima jabatan yang ditawarkan diBatavia, saya akan memperoleh gaji yang jauh lebih besar. Kalau itu memangtujuan saya, tidak perlu jauh-jauh saya pergi ke Boven Digoel untuk dibayar 40 sen sehari."
Setelah Indonesia merdeka, Perdana Menteri M. Hatta harus mengeluarkan beberapa kebijakan yang tidak populer, diantarnya adalah rasionalisasi angkatan bersenjatasaat masa perang kemerdekaan, dan bentuk konstitusi Republik Indonesia Serikat setelah Perundingan Meja Bundar di akhir tahun 1949. Namun ia bergeming, karena untuk saat itu, keputusan tersebut adalah terbaik bagi Indonesia yang masih bayi.
Dunia internasional pun mengakui kualitas Hatta yang tidak gampang disetir. Dalam masa perang dingin dimana banyak negara saling memihak blok barat atau timur, tahun 1948 ia menyampaikan pidatonya yang berjudul “Mengayuh di Antara Dua Batu”. Kelak ini menjadi dasar bagi politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
Jabatan selamanya tidak pernah menjadi tujuan utama Hatta. Saat DPR dan Konsituante hasil Pemilu pertama terbetuk, sang Proklamator mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden di tahun 1956. Menurutnya negara telah membuang-buang uang dengan membayar gajinya, karena dalam kabinet parlementer, praktis posisi wapres hanya seremonial. Selain itu, di masa itu Hatta makin tidak cocok dengan Sukarno yang makin otoriter dan dekat dengan unsur komunis.
Pengunduran diri Hatta menimbulkan kehebohan besar. Tidak kurang pemberontakan PRRI di Sumatera menuntut kembalinya duumvirate Sukarno-Hatta. Namun Hatta tidak pernah tertarik untuk kembali. Dia pensiun dalam kesederhanaannya. Dia berujar ke keluarganya, “Kalau mau, banyak posisi komisaris yang ditawarkan ke saya.
Tetapi saya sudah cukup mengantarkan bangsa ini ke kemerdekaan.” Dalam suatu kisah, saat masih menjadi wapres, isterinya mengeluh karena tabungannya tidak mencukupi lagi untuk membeli mesin jahit idamannya, setelah terjadi pemotongan nilai Oeang Republik Indonesia (ORI). Suaminya hanya menjawab bahwa tugas seorang abdi negara adalah memegang rahasia, dan meminta isterinya untuk bersabar. Sungguh sebuah integritas yang amat jarang ditemui saat ini.