Mohon tunggu...
Rullysyah
Rullysyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Belajar dan Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Peta Kekuatan Politik Jokowi Vs Prabowo Tahun 2019

28 Februari 2019   19:22 Diperbarui: 1 Maret 2019   07:55 5489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbedaan antara Pemilu Presiden dengan Pemilu Legislatif adalah Pemilu Presiden merupakan pemilu dengan proses memilih Ketokohan seseorang sementara Pemilu Legislatif adalah Proses Memilih dengan mempertimbangkan Tokohnya dan Partainya.

Dengan beda seperti itu maka bila ada 2 kandidat bertarung di Pilpres maka berapa banyak partai yang mendukung masing-masing calon tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur kekuatan dari capres-cawapres. Kondisi ini juga berlaku untuk Pilkada-pilkada yang ada.

Contoh pada Pilpres 2014 Jokowi didukung 3 Partai Besar dan Prabowo didukung 6 Partai besar. Faktanya Jokowi yang menang. Begitu juga dengan Pilkada-pilkada yang sudah terjadi. Calon Gubernur, calon Bupati yang didukung partai yang lebih banyak ditambah lagi didukung partai pemenang pemilu belum tentu akan menang.

Karena Pilgub, Pilbup dan Pilpres memang yang dipilih adalah Ketokohan Kontestannya sehingga mesin politik partai tidak akan bisa menjadi factor utama dari kekuatan politik Capres-cawapres. Malah saya asumsikan Mesin Parpol hanya efektif sekitar 20% untuk menambah perolehan suara Capres-cawapres.

Tapi harus diingat juga, mesin parpol akan menjadi kekuatan politik sebenarnya ketika Presiden sudah dilantik dimana Parpol-parpol yang mendukung akan berada di parlemen sehingga memperkuat posisi tawar eksekutif.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
ONE MAN ONE VOTE MEMBUAT PILPRES BERSIFAT SANGAT DINAMIS

Bisa dikatakan Pilpres Indonesia adalah Pilpres yang paling Demokratis diantara negara-negara demokrasi lainnya karena kondisi One Man One Vote-nya. Faktor inilah yang membuat Faktor Personal Branding menjadi Isu Paling Utama.

Pilpres 2014 adalah bukti kemenangan Personal Branding Jokowi terhadap Personal Branding Prabowo. Oleh sebab itu seperti yang sudah saya sampaikan di artikel-artikel sebelumnya, Media Sosial seharusnya menjadi Lapangan Pantau apakah Personal Branding seorang Capres memang tinggi atau rendah.

Selain Media Sosial tentu saja tolok ukur yang harus dipakai adalah Survey Elektabilitas. Sayangnya saya menduga dalam 2 tahun terakhir banyak pihak yang bermain di lembaga-lembaga survey sehingga hasil surveynya menjadi tidak akurat. 

Artikel saya yang terakhir sudah membahas fenomena itu dimana untuk Pilkada 2017 dan Pilkada 2018 banyak Lembaga Survey yang meleset hasil survey Elektabilitasnya mencapai angka 20% melesetnya dari Hasil Pengumuman KPUD.

Kembali ke isu One Man One Vote, Jokowi sebagai Petahana harus hati-hati. Personal Branding yang sudah terbangun untuk Jokowi pada tahun 2014 (sebagai contoh) adalah Bersih, Jujur, Merakyat dan Fokus Bekerja.

Dari 4 Sifat tersebut bila salah satunya kemudian cacat maka Personal Branding Jokowi akan jatuh begitu saja. Misalnya oleh Oposisi, Jokowi saat ini diopinikan sebagai Tukang Bohong dan Tidak Merakyat. Ini krusial sekali karena bisa menggerus Personal Branding yang sudah tertanam dibenak masyarakat.

Kondisi One Man one Vote membuat setiap pemilih berpotensi bisa membuat perbedaan dari hasil Pilpres jadi hal ini akan sulit dikontrol oleh Tim Sukses yang paling hebat sekalipun. Terlalu sulit untuk memperkirakan massa yang percaya pada Jokowi bisa berubah dalam sewaktu-waktu.

Bila Personal Branding Jokowi yang 4 sifat itu berkurang 2 maka Nilai Jual Jokowi turun sekitar 40%. Itulah tugasnya Tim Kampanye Jokowi mempertahankan Personal Branding dari Jokowi.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
PETA KEKUATAN SUARA DI PILPRES 2019 : JAWA-SUMATRA CENTER PERTARUNGAN

Dari Seluruh Indonesia kita bagi menjadi 6 Zona yaitu : Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Bali NTB-NTT, Kalimantan, Sulawesi, Maluku-Papua dan Luar negeri. Dan sesuai dengan table gambar yang ada, 6 zona itu memperlihatkan bahwa sejatinya Pilpres adalah Pertarungan Suara di pulau Jawa dan pulau Sumatra.

 Tabel di atas memperlihatkan hampir 60% perolehan suara disumbang dari Pulau Jawa dan hampir 20% suara disumbang dari Pulau Sumatra sementara wilayah lainnya hanya menyumbang sekitar 20% suara.

Banyak pendapat yang mengatakan kondisi ini tidak adil tetapi memang begitulah resiko One Man One Vote. Wilayah terpadat penduduknya yang terkondisikan untuk menentukan siapa yang menjadi Pemimpin Nasional. Makanya ada istilah yang bisa jadi Presiden Indonesia adalah orang dari suku Jawa.

Istilah ini hanya mencerminkan proporsi suara dalam Pilpres sementara faktanya BJ Habibie pernah menjadi Presiden RI dan tidak dikudeta oleh orang Jawa. :D

Mungkin di masa mendatang akan ada ide besar untuk merubah kondisi One Man One Vote, kita tunggu saja.

Berikutnya dari table kedua bisa kita lihat kekuatan Prabowo pada 6 zona tersebut pada tahun 2014.

Prabowo hanya menang di Pulau Sumatra saja. Sementara di 5 zona lainnya yaitu P. Jawa, Bali NTB-NTT, Kalimantan, Sulawesi, Malpalun menyatakan Jokowi unggul. Bahkan di Sulawesi dan Malpalun (Maluku-Papua dan Luar negeri) Jokowi unggul 20% dari Prabowo pada Pilpres 2014.

Pertanyaannya kemudian, apakah Jokowi akan bisa menang mudah pada Pilpres 2019? Jawabannya hanya mengatakan tergantung Personal Branding dari Jokowi saat ini.

PERBEDAAN ANTARA JOKOWI DENGAN SBY

Bukannya ingin mendewakan SBY tetapi fakta memang mengatakan selama pemerintahannya SBY mampu melakukan Keseimbangan secara konsisten. Prestasi SBY secara fisik mungkin kalah jauh dari Jokowi tetapi untuk stabilitas Politik dan Keamanan SBY lebih hebat (menurut saya). Begitu juga dengan Pertumbuhan Ekonomi terutama.

Berbeda dengan Pilpres 2004 yang waktu itu Megawati sebagai Petahana, pada Pilpres 2009 ketika SBY jadi Petahana ada pendapat yang mengatakan: SBY Dipasangkan Dengan Sendal Jepit saja Pasti Menang. Pendapat itu memang terbukti dan SBY menang telak di Pilpres 2009.

Itulah bukti keberhasilan SBY menjaga Personal Branding selama Periode Pertama Pemerintahannya. Tetapi akhirnya pada Periode Kedua Pemerintahannya pun berubah. Yang terkenal dari SBY adalah Politik Pencitraan. SBY dikritik dimana-mana bahkan sampai dibully. Saya sendiri termasuk Pengkritik keras SBY pada tahun 2012-2014. (Bisa dilihat di artikel-artikel saya pada tahun-tahun tersebut).

Untuk Jokowi sendiri atau tepatnya menjelang Pilpres 2019 ini hanya sedikit orang yang sangat yakin Jokowi pasti menang. Mungkin tahun lalu (2017) masih banyak orang yang cukup yakin Jokowi pasti menang. Tapi tidak untuk bulan-bulan terakhir ini.

Siapa yang paling bertanggung jawab dengan kondisi seperti ini, tentulah partai-partai pendukungnya. Merekalah yang selama 4 tahun ini mendapatkan keuntungan materil, keuntungan strategis dan lainnya tetapi kelihatannya mereka tidak perduli dengan untuk itu. Tidak terlihat mereka untuk tetap menjaga Personal Branding dari Presiden yang ada.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
JOKOWI HARUS MEWASPADAI HASIL POLLING YANG ADA

 Ketika Lembaga-lembaga survey tidak mampu memberikan kepastian Trend Elektabilitas dari Capres-Cawapres maka seharusnya Polling menjadi data yang harus dipertimbangkan. 

Survey Elektabilitas kalau memang dilakukan dengan cara yang baik dan benar secara maksimal bisa membuat hasil yang sangat akurat. Melesetnya hanya dibawah 2% dari Hasil Pilpres yang dikeluarkan KPU. Itu sudah terbukti di Pilpres 2014.

Sayangnya secara pribadi saat ini saya kurang mempercayai Hasil Survey yang ada karena faktanya 2 tahun terakhir (seperti dalam artikel sebelumnya) banyak lembaga survey yang meleset sampai 20%.

Sementara untuk Metode Polling sendiri, sepengamatan saya selama ini, Akurasi dari hasil sebuah Polling menyimpang dalam batas toleransi 5%. Dengan catatan polling tersebut dilakukan dengan cara yang baik dan benar.

Berikut saya sertakan Hasil Polling yang saya dapat di beberapa media. Ada beberapa polling yang tidak saya ambil sebagai data bukan karena pembuat polling tidak kredible tapi ada factor lainnya. Contoh, Polling yang dilakukan ILC TV One.

Disitu ada hasil 80% an untuk Prabowo sementara 20 % an untuk Jokowi.  Ini tidak mewakili karena saya pastikan pendukung Jokowi saat ini tidak suka kepada ILC dengan berbagai alasan.  Akhirnya saya mengambil hasil Polling yang dilakukan Pihak yang "tidak dibenci" oleh pendukung Jokowi sehingga mereka bersedia menjadi Respondennya.

Silahkan cermati tabelnya.

Dari 5 Polling yang ada bila kita rata-ratakan hasilnya mencapai posisi: Jokowi 39% dan Prabowo 61%.

Apakah data itu bisa valid dipakai, tentu jawaban saya belum bisa.

Kalau Polling itu benar maka trendnya harus sama. Harus semuanya memenangkan Jokowi atau semuanya memenangkan Prabowo.  Oleh sebab itu dengan hasil yang ada saya harus asumsikan Akurasi dari rata-rata Pooling itu meleset sekitar 8%. Ini angka yang saya asumsikan.

Jadi kira-kira gambaran untuk Polling sampai tanggal 19 Februari 2019 adalah : Jokowi 47% dan Prabowo 53%.

Angka ini bisa dijadikan PATOKAN SEMENTARA untuk angka Elektabilitas Jokowi Vs Prabowo tanpa memperhitungakan Undecided Voters. Dan BILA dikomparasi dengan Peta Kekuatan dalam table-tabel diatas tentu bisa diambil kesimpulan, bila Pilpres dilakukan hari ini maka Prabowo akan menjadi pemenangnya.

Masih ada waktu 45 hari lagi bagi TKN-Jokowi untuk membalikkan angka-angka ini. Masih bisa dan masih ada harapan tentunya.

Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun